Integrasi Ilmu Sebagai Paradigma Baru UIN-SI (Sulthan Aji Muhammad Idris) Dengan Mengusung Epistemologi Sarang Lebah Madu

Oleh: Akhmad Muhyin Ghozali (Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah)

Perubahan alih status IAIN Samarinda untuk menjadi Universitas Islam Negeri akan berdampak pada pengembangan paradigma baru keilmuan yaitu mengenai Integrasi Ilmu. Integrasi Ilmu merupakan paradigma baru yang menjadi konsep atau model pengembangan keilmuan dalam sebuah pendidikan di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Beberapa PTKIN yang sudah beralih status dari STAIN atau IAIN menjadi UIN telah membawa konsep integrasi ilmu ini. Walupun secara model dan konsep pengembangan ilmu berbeda-beda, namun secara subtansi tetap pada paradigma yang sama.

Awal mula gagasan integrasi ilmu ini dikemukakan oleh Muhammad Iqbal pada tahun 30-an. Menurut Iqbal bahwa “ilmu pengetahuan modern harus dikonversikan”, sebab ilmu yang dikembangkan oleh barat itu bersifat eteistik, sekuler sehingga hal tersebut dianggap akan mempengaruhi aqidah tauhid umat islam. Namun Iqbal tidak melakukan tindak lanjut mengenai konsep islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer tersebut.

Selanjutnya, Integrasi ilmu atau islamisasi ilmu pengetahuan dibawa kembali oleh cendekiawan muslim yaitu Syeed Hossein Nasr (SHN). SHN mengungkapkan gagasannya mengenai konsep sains islam yang terdapat pada karyanya “Science and Civilizationin Islam (1968) dan Islamic Science (1976)”. Dilajutkan lagi islamisasi ilmu diperkenalkan ke dunia pada sebuah konferensi mengenai Pendidikan Islam yang pertama kali diselenggarakan di Makkah pada tahun 1977, yang mana pertemuan tersebut atas tindak lanjut mengenai proyek islamisai ilmu. Dalam pertemuan tersebut Islamisasi Ilmu menjadi daya tarik dan perbincangan dunia Islam.

Kala itu gagasan mengenai Islamisasi dikembangkan dan dikupas oleh Syeed Muhammad Naquib Al-Attas, dengan mengusung pentingnya islamisasi pendidikan, islamisasi sains dan islamisasi ilmu. Serta para tokoh cendekiawan muslim lainya seperti Ismail Raji Al-Faruqi, Ziauddin Sardar juga ikut serta memformulasikan mengenai Islamisasi Ilmu tersebut.

Pada tahun 1978 Indonesia menyambut hasil dari kesepakatan pertemuan yang diadakan di Makkah tersebut untuk mengangkat mengenai islamisasi ilmu. Lantas menteri agama mengambil langkah untuk mengimplementasikan rekomendasi islamisasi ilmu pada pendidikan dengan membuat kurikulum baru yaitu memasukkan ajaran agama islam di lembaga pendidikan mulai dari jenjang dasar hingga perguruan tinggi. Namun di sisi lain wewenang atas pendidikan ialah ranah dari menteri pendidikan dan kebudayaan. Sehingga pada tahun 1980 muncul kesepakatan baru antara menteri agama dengan menteri pendidikan dan kebudayaan bahwa agama masuk di dalam kurikulum pada semua jenjang pendidikan.

Namun anggapan di tengah masyarakat mengenai agama dan ilmu pengetahuan (ilmu umum) itu merupakan wilayah yang berbeda. Hal ini terlihat bahwa pandangan masyarakat mengenai madrasah dengan sekolah adalah sebuah jalur yang tak searah, madrasah ialah tempat untuk menimba ilmu agama dan sekolah untuk menimba ilmu umum. Ilmu umum hanyalah berbicara mengenai keduniawian yang bersifat materil, sedangkan agama lebih mengarah kepada akhirat. Dikotomi ini menyebabkan pemahaman yang sekuler mengenai ilmu dan agama. Begitu juga kedua hal tersebut mempunyai wilayah yang berbeda, baik dari segi pembahasan ilmu, objek keilmuan, tujuan, kebenaran, teori bahkan sampai pada institusi penyelenggara pendidikan tersebut.

Pemerintah tidak hanya memasukan pelajaran ke kurikulum saja, namun pemerintah pula membuat kebijakan atas peralihan status di Perguruan Tinggi Keislaman (PTKI) yang berada di bawah Kementrian Agama untuk bertransformasi ke Universitas Islam. Seperti adanya transformasi dari IAIN ke UIN yang sebagaimana di lakukan pertama kali oleh IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2002 melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 31 Tahun 2002 dan disusul oleh kampus-kampus lainnya yang dibawah Kementrian Agama. Sehingga dengan adanya integralistik antara agama dan ilmu pengetahuan, maka IAIN atau UIN dapat membuka program studi baru yaitu ilmu eksakta dan ilmu-ilmu humaniora seperti yang ada pada Perguruan Tinggi Umum (PTU).

Akhirnya Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) untuk bertransformasi ke Universitas harus memformulasikan sebuah model pengembangan integrasi ilmu dengan konsep epistemologi keilmuan. Sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa Universitas Islam Negeri (UIN) yang ada di Indonesia, seperti UIN Syarif Hidayatullah yang mempunyai model “integrasi-interkoneksi”, UIN Sunan Ampel Surabaya dengan model “Twins Tower”, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan model “Pohon Ilmu”, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan “Jaring Laba-laba”, dan semua UIN lainnya yang ada di Indonesia.

Tidak hanya sekedar model pengembangan semata yang dibawa oleh Perguruan Tinggi tersebut, namun harus pada sebuah konsep yang matang untuk memformulasikan keilmuan-keilmuan agar bisa menjadi sebuah keilmuan yang relevan untuk peradaban saat ini. Tentunya untuk itu semua harus menentukan ontologi, epistemologi, dan aksiologi melalui konsep atau model pengembangan keilmuan agar mendapatkan sebuah kebenaran ilmiah yang mempunyai nilai. Sebab, sebuah keilmuan dalam agama saat ini kurang relevan lagi jika hanya menggunakan pendekatan dogmatif-normatif saja, atau juga hanya dengan pendekatan sosio-historis. Namun keilmuan islam juga harus bersifat rasional-filosofis dan juga aktif-progresif.

Oleh karena itu, transformasi IAIN Samarinda menjadi Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UIN-SI) Menentukan sebuah model pengembangan ilmu yang mempunyai paradigma integrasi ilmu, sebagaimana syarat untuk transformasi IAIN Ke Universitas. Maka untuk itu, UIN-SI mengusung epistemologi keilmuan dengan konsep “Sarang Lebah Madu” (SLM) Tentunya, dalam menerapkan kerangka epistemologi sarang lebah madu harus membangun kerangka teori maupun asumsi dasar sebagai bangunan keilmuan agar mengetahui sebuah implikasi maupun konsekuensi pada wilayah praksis sosial-keagamaan.

Pengambilan model SLM ini untuk membuat kerangka keilmuan yang mempunyai paradigma integrasi ilmu dan sebagai model pengembangan keilmuan atau juga sebagai epistemologi keilmuan yang ada di UIN-SI nantinya. Secara filosofis kerangka yang dibangun dengan SLM memiliki makna yang begitu dalam. Sebagaimana lebah diabadikan dalam Al-qur’an untuk kita (umat manusia) agar mengambil pelajaran padanya, yaitu terdapat pada surah An-Nahl ayat 68-69:

“Dan Rabbmu mengilhamkan kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.’ (68) Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Rabbmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Rabb) bagi orang-orang yang memikirkan. (69)”

Dari tafsir Al-Iklil yang di tulis oleh KH. Misbah bin Zainil Mustofa Bangilan Tuban (saudara se-ayah dari KH Bisri Mustofa Rembang sebagai ayah dari KH. Mustofa Bisri atau dikenal Gus Mus) ayat ini ditujukkan kepada Nabi Muhammad SAW dan semua umat manusia yang sehat secara akal dan yang mampu memikirkan tentang kebesaran Allah SWT. Pengertian wahyu menurut Kyai Misbah ada dua macam, yaitu wahyu yang diturunkan kepada para Rasul berupa peraturan atau hukum syari’at dan wahyu yang berupa ilham yang mempunyai makna memberi petunjuk sebagaimana kata wahyu pada ayat ini.

Dalam ayat ini Allah SWT memberi petunjuk kepada lebah untuk apa yang menjadi tujuan dirinya (lebah) diciptakan dan diberi petunjuk mengenai bagaimana dalam menjalani hidup, agar manusia mengambil pelajaran darinya sebagai cara hidup di dunia ini. Lebah tersebut mampu membuat rumah dengan bentuk diagonal (segi enam) yang saling berkaitan antara satu dan yang lainnya dengan ukuran yang sama hingga menjadi sebuah bangunan yang satu.

Allah SWT memberikan ilham agar mengangkat satu lebah menjadi ratu (pemimpin) yang mempunyai badan yang besar dan agar ditaati oleh semua lebah yang berada di bangunan rumah tersebut, serta ratu tersebut berada dalam sarang yang tidak pernah keluar dan dijaga agar lebah yang lainya tidak bisa masuk pada sarang ratu tersebut. Sementara itu, lebah lainya mencari nektar dari bunga/buah disekelilingnya. Walaupun seberapa jauh mereka mencari makan namun selalu ingat jalan untuk pulang, tentunya Allah-lah yang memberikan mereka sebuah petunjuk agar tidak tersesat sejauh mana mereka pergi. Begitu pula apa yang menjadi makanan bagi mereka entah dari buah/bunga yang mempunyai rasa manis maupun pahit tetap akan menghasilkan madu yang manis dan harum. Serta terdapat begitu banyak manfaatnya dari madu tersebut untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit.

Dari ayat dan tafsir di atas yang ditulis oleh KH Misbah bin Zainil Mustofa kita dapat mengambil pelajaran yang terkandung dari sebuah lebah untuk kita fikirkan kembali mengenai kekuasaan dan kebesaran Allah SWT. lantas bagaimana nilai filosofis yang terkandung dari SLM untuk dijadikan sebuah kerangka atau model pengembangan integrasi ilmu di UIN-SI. Tentunya penulis akan mengkaji secara filosofis dan menjadikan konsep yang relevan untuk pola pengembangan integrasi ilmu di UIN-SI.

Dari tiga komponen yaitu sarang, lebah, dan madu mempunyai makna secara filososfis, yaitu:

1. Sarang menggambarkan bentuk diagonal melambangkan dari sisi 6 keilmuan yaitu Ushuluddin (Humaniora), Dakwah dan komunikasi (sosial), Tarbiyah (pendidikan), Syari’ah (Hukum), Ekonomi dan bisnis, serta sains dan teknologi yang menjadi basic keilmuan yang ada di UIN-SI. Begitu pula antara masing-masing diagonal tadi saling melekat antara satu dengan yang lainnya sebagai interkoneksi keilmuan dan mempunyai ruang yang berbeda namun menjadi sebuah bentuk bangun kesatuan. Dalam hal ini bahwa keilmuan yang ada di UIN-SI nantinya akan diintegralkan melalui sebuah konsep sarang lebah madu ini.

2. Lebah merupakan hewan yang mempunyai 3 komponen struktur tubuh dari sisi eksternal, yaitu kepala, dada dan perut. Dalam perutnya lebah menyimpan madu dan racun, keduanya terpisah. Hal ini membuktikan bahwa keburukan dan kebaikan tidak pernah bisa bersatu, kebaikan ila al-yaumi al-kiyamah tetap menjadi kebaikan dan kebaikan sangat mudah dikenali oleh manusia. Sedangkan pada hal yang lain keutamaan lebah mampu mencari makan dengan menempuh jarak yang sangat jauh serta mampu kembali ke sarang untuk memproduksi madu tersebut. Dalam mencari makan atau proses untuk menghisap nektar pada bunga, ia tidak pernah merusak ranting maupun bunga tersebut atau bisa dikatakan ia mampu menyeimbangkan dirinya pada apa yang ia pijak tanpa menyakiti sekelilingnya. Hal ini dimaknai bahwa proses belajar atau penggalian keilmuan di kampus UIN-SI nantinya mampu membuka cakrawala (worldview) sejauh mungkin dan mampu menelusuri keilmuan untuk diproses dan dikembangkan di kampus serta dalam proses penggalian ilmu tersebut tidak ada pihak yang dirugikan atau hasil atas keilmuan tersebut bersifat Tawasuth, Tasamuh, Tawazun dan Ta’adul serta mempunyai tujuan sebagaimana untuk kemajuan keilmuan dan juga mengedepankan tujuan syari’at (al-maqashid al-syari’ah).

3. Madu yang dihasilkan lebah mempunyai rasa manis dan mempunyai khasiat luar biasa seperti untuk pengobatan serta bisa dikonsumsi oleh seluruh umat dan tidak ada efek sampingnya. Diharapkan keilmuan yang ada pada UIN-SI bisa menjadi sebuah obat (solusi) atas persoalan-persoalan di tengah masyarakat Kalimantan Timur dan sekelilingnya, serta bisa dinikmati oleh semua golongan.

Dari makna filosofis SLM tersebut bisa dikatakan bahwa konsep keilmuan yang ada di UIN-SI mengusung filosofis keilmuan yang:

1. Mengitegralkan antara ilmu agama dan sains atau ilmu modern yang nantinya untuk menumbuh dan kembangkan sebuah keilmuan sehingga tidak adanya dikotomi keilmuan;

2. Menjadikan Sarang Lebah Madu sebagai bangun keilmuan yang nantinya Sarang (pada sisi-sisinya) menggambarkan sebagai interkoneksi antara keilmuan-keilmuan yang ada di fakultas, Lebah sebagai metodologi kajian keilmuan yang mampu membuka worldview yang luas dalam memandang sebuah pengetahuan, dan Madu sebagai hasil atau sari dari keilmuan yang telah di validasi keabsahannya dan bisa dikonsumsi oleh khalayak; dan,

3. Sebagai pusat kajian peradaban ilmu keislaman yang secara aspek metodologi sangat mengutamakan literasi-literasi maupun khazanah keilmuan Islam (klasik) dan modern sebagai proses penggalian keilmuan yang secara luas dan mendalam sehingga membuahkan hasil yang bisa dinikmati oleh semua golongan masyarakat luas tanpa adanya diskriminasi maupun intoleransi atau tidak ada pihak yang dirugikan.

Tentunya dari nilai filosofis penamaan dan filosofis keilmuan yang terkandung dalam SLM nantinya bisa menentukan arah pendekatan keilmuan yang cenderung untuk mengatasi problem-problem sosial masyarakat dan pengembangan SDM. Apabila kita amati dari nilai filosofis penamaan SLM dan filosofis keilmuan SLM, pendekatan yang lebih cocok untuk menentukan arah kebijakan kurikulum di UIN-SI nantinya ialah menggunakan Kurikulum Rekonstruksi Sosial. Sebab pada kurikulum ini lebih bersifat menghadapkan mahasiswa kepada sebuah ancaman, tantangan, peluang, strategi, maupun permasalahan yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Sehingga Mahasiswa dituntut untuk melihat segala aspek permasalahan sosial mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial, hukum, budaya dan pengetahuan alam.

Kurikulum ini akan lebih bersifat pada aspek-aspek sosial sebagaimana tujuan dari Perguruan Tinggi atau Tri Dharma Perguruan Tinggi ialah Pendidikan; Pengembangan dan Penelitian; dan Pengabdian Masyarakat. Sehingga penggunaan kurikulum rekonstruksi sosial ini juga bertujuan agar tercapainya SDM yang kompeten dan unggul serta mampu memberi kontribusi di masyarakat. Lantas metode apa yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut?

Untuk menerapakan kurikulum tersebut guna mendapatan SDM atau lulusan yang berkompeten dan mampu berkontribusi untuk masyarakat, tentunya dibarengi dengan pengembangan SDM di lingkungan kampus UIN-SI. Comunity Development atau pengembangan komunitas harus ditingkatkan. Pengembangan ini akan tercapai apabila seluruh stoke holder yang ada di lingkungan kampus harus

(1) berpartisipasi untuk membuat, menentukan dan menjalankan rencana strategis jangka pendek maupun jangka panjang. (2) Pemberdayaan pada segenap civitas akademika khususnya dosen dan mahasiswa agar dijadikan sebagai subyek pengembangan. Sebab dalam teori pemberdayaan masyarakat, angka keberhasilan setelah aktivitas pemberdayaan tersebut sangat kecil. Jika sesorang dijadikan subyek, maka pencapaian kemandirian akan lebih meningkat dibanding menjadikan mereka obyek dari pemberdayaan tersebut. (3) Modal sosial juga harus menjadi hal yang penting diperhatikan dalam pengembangan SDM. Modal sosial ini bisa berupa relasi internal maupun eksternal. Relasi internal yaitu saling bekerjasama dalam mencapai sebuah rencana strategis yang dibangun bagi seluruh civitas akademik yang ada di dalam lingkungan kampus. Sedangkan relasi eksternal yaitu meningkatkan kerjasama pada instansi-instansi di luar guna mendapat dukungan maupun sumbangsih terhadap pengembangan SDM UIN-SI nantinya.

Untuk membangun kurikulum rekonstruksi sosial dan mengembangkan SDM UIN-SI (Comunity Development) harus melalui sebuah pengkajian yang mendalam melalui keilmuan modern dan keilmuan islam agar integrasi ilmu yang diharapkan terwujud. Serta merumuskan indikator keberhasilan dalam integrasi ilmu dan SDM atau lulusan yang berkompeten dan juga sampai mana kontribusi Perguruan Tinggi bagi masyarakat sekitar dan masyarakat luas yang mempunyai soft skill dan hard skill sebagaimana telah termuat dalam kurikulum Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang telah ditetapkan melalui Perpres No. 08 Tahun 2012. Untuk mencapai hal tersebut hal pertama yang harus dilakukan ialah menetapkan sebuah kerangka epistemologi keilmuan. Sebab kurikulum nantinya yang akan menjadi pedoman dalam kegiatan belajar dan mengajar yang dihasilkan dari sebuah epistomologi yang tepat dalam membangunnya.

Epistemologi sendiri merupakan cara untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah mengenai suatu ilmu atau bisa dikatakan pula dengan teori pengetahuan (theory of knowledge). Untuk mencapai kebenaran jalan yang ditempuh sangatlah panjang, yaitu harus menggali sumber-sumber kebenaran, metodologi yang digunakan, serta validitas kebenaran untuk memperoleh ilmu tersebut.

Sumber-sumber kebenaran dalam epistemologi SLM seharusnya lebih mengedepankan pada sumber ilmu yang berupa wahyu (sumber utama dalam islam yang bersifat absolute) dan teks-teks keilmuan (hadharah al-nash/qauliyah) lainya. Sedangkan pada sisi lain menyeimbangkan dengan sumber pada masyarakat dan alam (kauniyah al-ijma’iyah/hadharah al-‘ilm) agar mampu selaras dengan kebutuhan dan relevansi masa sekarang sebagaimana yang terdapat pada kurikulum rekonstruksi sosial. Sehingga dalam menggali sumber keilmuan adanya integralistik antara teks dan realitas alam maupun masyarakat, guna mendapatkan sebuah keilmuan yang seimbang dan relevan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan saat ini.

Pada wilayah metodologi keilmuan dibutuhkan konsep maupun kerangka yang matang guna mampu memahami cara mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan.

Metodologi dalam islam untuk mendapatkan keilmuan saat ini hanya berkutat pada metode bayani dan irfani. Padahal kalau kita masuk pada epistemologi islam, ada empat metodologi menurut Abid Al-Jabiri, Mulyadi Kartanegara dan Murtadha Muthahari yaitu bayani, burhani, irfani dan tajribi. Sebab keilmuan islam kurang masuk pada wilayah kosmologi, sosiologi dan teknologi. Sehingga burhani sebagai langkah observasi dan tajribi sebagai langkah eksperimen kurang dikembangkan dan digunakan. Hal ini berbeda dengan metodologi barat yang mengembangkan keilmuan tadi ke wilayah kosmologi sosiologi, dan teknologi. Sehingga barat dalam metodologi lebih sering menggunakan tajribi dan burhani. Maka untuk mengintegralkan keilmuan dalam paradigma integrasi ilmu atau islamisasi ilmu, UIN-SI untuk kedepan alangkah baiknya mengambil sebuah metodologi keilmuan dengan menyatukan ke empat metodologi tersebut, guna mendapatkan hasil keilmuan yang benar-benar ilmiah dan mampu menyediakan keilmuan yang relevan untuk kebutuhan masyarakat.

Sedangkan untuk mengukur sebuah kebenaran ilmu pengetahuan atau bisa dikatakan uji valid atau tidaknya keilmuan tersebut, langkah yang diterapkan yaitu melalui verifikasi dan falsifikasi. Verifikasi keilmuan tadi mempunyai sebuah prinsip untuk melakukan uji kebenaran dan relevansinya sebuah ilmu yang diperoleh. Jika hasil dari pengetahuan tadi bisa untuk diterapkan maka bisa pula langsung direalisasikan. Sedangkan ketika mengalami ketidak relevanan (false) sebuah ilmu tersebut, maka bisa ditampung untuk di uji kembali atau dikelompokkan pada wilayah tidak relevannya suatu ilmu.

Epistemologi SLM bisa dikatakan menganut prinsip bahwa mengintergralkan seluruh keilmuan yang ada di setiap bidang keilmuan (fakultas) seperti bentuk diagonal yang setiap sisinya saling melekat dan tidak terpisah. Pada setiap ruang-ruang tempat lebah bersarang berguna untuk menampung dan memproses sebuah madu segar (ilmu) yang dibawa oleh lebah dari hasil penghisapan nektar bunga yang berada di sekelilingnya.

Sedangkan untuk subyek penggalian keilmuan ( mahasiswa atau dosen) tidak lepas pada metodologi penggalian ilmu. Yaitu, harus mempunyai paradigma fundamental mengenai sebuah keilmuan yang digali, mulai dari aspek ontologi maupun sumber-sumber keilmuan. Sehingga pada wilayah epistemologi mampu menyesuaikan dan menggabungkan keempat metodologi tersebut (bayani, burhani, irfani dan tajribi) sebagai langkah memproses ilmu pengetahuan.

Kesimpulan dari bahasan diatas ialah (1) Adanya Kurikulum yang tepat untuk mengaplikasikan integrasi ilmu, dan kurikulum yang penulis anggap tepat ialah kurikulum rekonstruksi sosial yang mengarah pada kontribusi kepada masyarakat, serta tidak lepas juga dari subtansi kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah mengenai Kerangka Kualifikasi Nasional (KKNI). (2) Comunity Development untuk meningkatkan SDM yang ada di lingkungan kampus agar mampu meng-implementasikan integrasi ilmu dan output dari integrasi ilmu ialah kontribusi terhadap masyarakat. (3) Sebelum melakukan langkah pembuatan kurikulum terlebih dahulu menetapkan sebuah epistomologi keilmuan yang nantinya akan mengarah kepada penggalian, pengkajian, dan validitas kebenaran keilmuan menjadi sebuah kebenaran ilmiah. (4) Menjadikan SLM sebagai epistemologi keilmuan yang ada di UIN-SI untuk meng-integralkan keilmuan Islam dan keilmuan modern.

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»