Batalkah Puasaku? Ustadz Kholil Muqqorobien Bahas Fenomena Vaksin, Operasi, hingga Donor Darah

Berita, Kegiatan12,506 views

SAMARINDA, UINSI NEWS,- Dosen Fakultas Syariah (FASYA) UINSI Samarinda, Muhammad Kholil Muqorrobien, Lc., M.A. menjadi narasumber pada episode menjelang bulan Ramadhan siaran program dialog interaktif “Lentera Ilmu” dengan tema “ Batalkah puasaku? ” yang bekerja sama dengan TV Islamic Center Kalimantan Timur, Rabu (30/3).

 

“Insyaallah kita akan membahas tentang batalkah puasaku. Seperti yang kita ketahui sebentar lagi kita akan menjalani ibadah puasa Ramadhan, jadi saya rasa perlu untuk kita lebih mempelajari tentang ibadah puasa, namun hari ini saya akan memfokuskan pembahasan kita tentang hal-hal yang membatalkan puasa,” jelasnya.

Pada kesempatan tersebut, Ustadz Kholil jelaskan secara bahasa puasa bermakna menahan diri dari segala sesuatu. Hal ini berdasarkan Q.S Maryam ayat 26, yang mana makna “as-shaum” disitu adalah menahan diri dari berbicara, bukan merujuk kepada makna istilah dalam fiqh islam.

Adapun puasa secara istilah adalah “menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar (azan subuh) sampai terbenam matahari (azan maghrib)”.

“Kemudian, hal-hal yang membatalkan puasa secara umum dapat di kategorikan menjadi dua,” ucapnya.

“Hal yang membatalkan pahala puasa akan tetapi tidak membatalkan puasa itu sendiri (yang diistilahkan ulama sebagai muhbitat) seperti ghibah, adu domba, dusta, melihat hal-hal yang tidak dibenarkan dengan syahwat, sumpah palsu, mengumpat, atau perbuatan tercela. Kemudian, hal-hal yang membatalkan puasa sekaligus pahalanya (yang diistilahkan ulama sebagai mufattirot), seperti makan, minum, dan lain-lain,” jelasnya.

Lebih lanjut, Ustadz Kholil sebutkan ada 8 hal yang bisa dikategorikan dapat membatalkan ibadah puasa, yaitu murtad; haid, nifas, melahirkan walaupun sesaat; gila walau sesaat; pingsan dan mabuk; berhubungan intim secara sengaja di waktu berpuasa; masuknya zat yang berfisik ( ‘ain ) dari rongga yang terbuka ke bagian dalam tubuh ( al-jauf ); mengeluarkan mani secara sengaja; dan muntah secara sengaja.

“Setelah kita mengetahui hal-hal yang membatalkan puasa secara umum, kita juga perlu mengetahui bahwa hal-hal yang membatalkan puasa itu ada yang disepakati ulama dan ada yang diperselisihkan,” ucapnya.

Sengaja mengeluarkan mani, berdasarkan mazhab hanafiyah, malikiyah, syafi’iyah, dan hanabilah (jumhur ulama) menyampaikan batal puasa tersebut. Namun, mazhab zahiriyah menyampaikan tidak batal puasa seseorang jika mengeluarkan mani, namun perlu diperhatikan ada hal-hal rinci dalam konteks mengeluarkan mani yang diperselisihkan oleh jumhur, jadi kesepakatan jumhur tidak berlaku secara mutlak.

“Semisal dalam isu mengeluarkan mani secara sengaja, dalam mazhab syafi’i bisa membatalkan puasa ketika dalam 2 keadaan: ketika mengeluarkan mani menggunakan anggota tubuh sendiri (onani), atau ada orang lain yang mengeluarkannya dengan tanpa penghalang (kain, kaos tangan, dsb.), Akan tetapi tidak batal dalam 2 keadaan: pertama, jika keluarnya dengan tanpa sentuhan, semisal dengan melihat atau berimajinasi, kedua, orang lain mengeluarkannya dengan sentuhan akan tetapi menggunakan penghalang,” jelasnya.

Kemudian, Ustadz Kholil jelaskan mengeluarkan darah secara sengaja dengan cara berbekam menurut mazhab hanafiyah, malikiyah, syafi’iyah, dan zahiriyah tidak membatalkan puasa. Namun, dalam mazhab hanabillah berbekam dapat membatalkan puasa.

Perdebatan lain muncul adalah mengenai isu masuknya zat yang berfisik (‘ain) dari rongga yang terbuka ke bagian dalam tubuh (al-jauf) melalui jalur selain mulut. Dijelaskan pada siaran sore itu, menurut mazhab hanafiyah, malikiyah, syafi’iyah, dan hanabillah (jumhur ulama), hal ini dapat membatalkan puasa. Namun, menurut mazhab Zahiriyah tidak membatalkan puasa kecuali hal-hal yang disebutkan didalam nash (Al-qur’an dan hadis).

“Perlu diperhatikan dikalangan jumhur sendiri terdapat perbedaan didalam kasus-kasus tertentu yang membutuhkan perincian penjelasan, jadi kesepakatan ini hanya secara umum,” tambahnya.

Pada kesempatan tersebut, Ustadz Kholil juga jelaskan tentang makna “al-jauf” yang secara umum memiliki tiga makna, pertama, bagian dalam tubuh yang memiliki fungsi untuk mencerna makanan dan obat-obatan, seperti usus dan lambung; kedua, bagian dalam tubuh yang berfungsi hanya untuk mencerna obat-obatan, seperti rongga kepala, atau tidak memiliki fungsi mencerna makanan maupun obat-obatan namun bisa membatalkan puasa, seperti tenggorokan.

“Perbedaan ulama dalam memaknai al-jauf juga yang mendasari perbedaan dalam hal-hal yang membatalkan puasa.”

“Ulama kontemporer menyebutkan operasi tidak membatalkan puasa selama tidak menyentuh wilayah yang disebut “al-jauf”, tapi ada juga yang menyebutkan, tetap batal karena walau tidak menyentuh langsung saluran jauf tapi tetap menyentuh bagian-bagian yang terhubung dengan jauf tersebut,” jelasnya.

Lalu bagaimana dengan vaksin?

“Ada 2 jenis injeksi, yaitu melalui saluran nadi (injeksi intravena) dan injeksi melalui otot (injeksi intramuskular). Vaksin umumnya menggunakan injeksi melalui otot. Menurut fatwa dari MUI dan ulama-ulama dunia, vaksin itu diperbolehkan karena penyuntikan nya tidak melalui saluran dalam tubuh yang sampai kepada “al-jauf” akan tetapi melalui otot dan injeksi dalam vaksin bukan merupakan nutrisi melainkan obat-obatan, sehingga jika mengikuti pendapat ulama yang mengatakan injeksi dengan tujuan pengobatan tidak membatalkan puasa, maka vaksin tidak membatalkan puasa,” jelasnya.

“Berbeda dengan infus yang memasukan jarum melalui pembuluh vena. Ulama berbeda pendapat, ada yang menyebutkan tidak membatalkan puasa karena infus tidak masuk melalui rongga yang terbuka dari tubuh, tapi ada juga yang berpendapat infus bisa membatalkan puasa karena dia melalui jalur urat nadi yg mana merupakan “al-jauf”, dan umumnya berupa nutrisi. Intinya ada perbedaan pendapat di kalangan ulama modern tentang isu itu,” tambahnya.

Menjawab pertanyaan dari pemirsa terkait gibah, Ustadz Kholil tegaskan bahwa gibah tidak membatalkan dasar puasa tapi menghilangkan pahala puasa.

“Hal yang membatalkan pahala puasa salah satunya gibah. Bagaimana hukumnya jika hanya mendengarkan? yang mengucapkan gibah akan hilang pahalanya, tapi yang mendengarkan tidak. Namun berbeda cerita jika kita ikut merespon atau nimbrung maka bisa membatalkan pahala puasa,” jawabnya.

Lebih lanjut, Ustadz Kholil juga jelaskan hukum berpuasa bagi yang mengalami pingsan.

“Berkenaan dengan orang yang pingsan pendapat Imam Ar-Romly kalau orang itu pingsan dan terjadi sepanjang waktu puasa, tapi sempat sadar sebentar puasanya masih sah. Pendapat Imam Ibnu Hajar pingsan membatalkan jika disengaja walaupun sebentar, ada juga pendapatan lain yang mengatakan bahwa pingsan hanya membatalkan jika terjadi sepanjang waktu puasa walau sempat sadar.”

Pada kesempatan tersebut, Ustadz Kholil juga menjawab tentang pertanyaan terkait donor darah.

Menurut Ustadz Kholil, donor darah tidak batal puasanya, namun bagi yang menerima darah kebanyakan ulama sepakat batal puasanya.

“Sama seperti orang yang mengeluarkan darah untuk bekam atau medical check-up, orang yang melakukan donor darah tidak batal puasanya. Namun, bagi yang menerima donor darah membatalkan puasa karena ada zat yang masuk kedalam tubuh sampai ke jauf, sehingga batal puasanya,” jelasnya.

Dialog interaktif yang ditayangkan secara live melalui siaran youtube Islamic Center ini dapat disaksikan secara lengkap melalui link

https://www.youtube.com/watch?v=kkLsq-cMCL0

(Humas)

Related Posts

Don't Miss