SAMARINDA, UINSI NEWS,- Riska Dwi Agustin, M.A., Dosen Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah (FUAD) UINSI Samarinda mengikuti program Global Exchange on Religion in Society (GERIS) yang diinisiasi oleh Particip GmBH dan didukung oleh EEAS (European External Action Service) di Afrika Selatan selama 1 minggu mulai tanggal 3 s.d. 10 April 2022.
Kegiatan ini merupakan bantuan teknis penelitian selama 2 tahun yang diperuntukan kepada akademisi, aktifis, stakeholder dan penggiat keagamaan dari berbagai negara.
Selain itu, kegiatan ini juga untuk memberikan pengalaman yang positif bagi peserta dalam hal toleransi dan merawat keberagaman.Menurut Riska, kegiatan ini merupakan kesempatan untuk menambah pengalaman internasional sebanyak-banyaknya.
Lebih lanjut, dosen FUAD itu menilai kegiatan internasional sebagai sebuah tantangan untuk membawa diri membaur dalam keberagaman.
“Ketika kita mengikuti acara internasional seperti ini dan pesertanya terdiri dari berbagai macam negara dan latar belakang kemudian duduk bersama dalam 1 forum melakukan kegiatan bersama, maka pasti disana akan kita rasakan muncul keberagaman dari masing-masing peserta. Nah, kemudian tantangannya adalah bagaimana kita harus membawa perilaku yang humble, yang ramah, kemudian harus mempersiapkan pola pikir yang open minded, mengingat kita disini juga membawa nama lembaga dan negara,” jelasnya.
Keberagaman merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan sehingga perlu ada pemahaman agar terbiasa dan bisa menyikapi keberagaman tersebut dengan bijak.
Riska juga menambahkan bahwa keberagaman tidak hanya ada di Indonesia, namun juga ada di setiap belahan dunia. Hal ini lah yang menjadi salah satu motivasi Riska untuk mengikuti GERIS, yaitu agar dapat lebih mengenal keberagaman tersebut.
“Selama ini mungkin kita terbiasa dengan keberagaman lokal yang ada di Indonesia, tapi kemudian tentu akan jauh berbeda dengan ketika kita harus menghadapi keberagaman yang lebih luas, apa lagi lingkup internasional, dan itu saya jadikan motivasi untuk mengikuti acara-acara seperti ini,” ucapnya.
Dosen FUAD yang juga aktif sebagai pemerhati perempuan dan kekerasan seksual ini mengikuti pertukaran tersebut bersama 125 peserta lain yang berasal dari negara US, UK, Indonesia, Ghana, Norwegia, Belanda, Nigeria, dan Belgia.
Lebih lanjut, kegiatan study exchange ini dilakukan di 6 negara yaitu dengan tujuan Bosnia, Herzegovina, Belgium, Maroko, Afrika Selatan dan Indonesia.
Selain untuk lebih mengenal keberagaman yang ada di belahan dunia, kegiatan ini akan menawarkan bantuan dana bagi para peserta yang merupakan dosen atau tenaga pendidik di negara masing-masing untuk melakukan penelitian.
“Nah kegiatan ini juga menawarkan kepada kami untuk diberikan dana dengan output berupa penelitian. Ketika kita sudah menemukan suatu negara dan melakukan kunjungan selama 1 minggu seperti yang saat ini saya lakukan, kemudian kita akan mem-breakdown isu-isu apa saja sih yang akan kita jadikan topik penelitian,” jelasnya.
“Berarti setelah selesai acara, kita tidak berhenti begitu saja. Tapi kita dituntut untuk melakukan penelitian dan publikasi,” tambahnya.
Berdasarkan hasil observasi Riska beberapa hari terakhir, isu-isu di Afrika Selatan saat ini memang masih didominasi seputar imigran yang sangat plural. Dalam konteks keberagaman di Indonesian, tentu Indonesia juga sangat plural, tapi Riska menjelaskan bahwa keberagaman yang ada di Indonesia menurutnya masih seputar perbedaan suku atau agama, meskipun tetap ada imigran dari luar yang menetap di Indonesia tapi tidak sebanyak di Afrika Selatan.
“Afrika Selatan ini didominasi oleh pendatang yang menetap. Selain itu, kita tahu dulu sebelum tahun 1994 ada politik pembedaan warna kulit yang sangat keras. Jadi mereka melakukan diskriminasi melalui warna kulit. Meskipun isu itu sudah diselesaikan saat Nelson Mandela naik menjadi presiden, namun sampai sekarang isu itu masih ada dan masih terasa dampaknya,” jelasnya.
Meski secara umum politik pembedaan warna kulit tersebut sudah berakhir, Riska menjelaskan bahwa dulu ketika politik ini masih ada, pembedaan ini bahkan dijadikan sebagai kebijakan resmi pemerintah dan menjadi semacam sistem negara. Kebijakan pemerintah yang terpengaruh oleh politik pembedaan warna kulit waktu itu, menyebabkan adanya diskriminasi pada warga lokal Afrika Selatan.
“Saat ini politik tersebut memang sudah tidak ada, tapi bias-bias nya masih terasa. Bahkan orang asli sini masih mengalami ketakutan dengan pendatang karena ada stereotype tertentu dan membuat mereka menjadi takut. Menurut saya hal ini merupakan salah satu isu yang dapat dibahas terkait keberagaman, namun isu yang ingin saya angkat akan lebih terkait pada gender yang kemudian dikaitkan dengan keberagaman dan keagamaan,” jelasnya.
Sejak menginjakan kaki pertama kali di Afrika Selatan sebagai peserta GERIS, Riska tercatat sudah mengunjungi beberapa lokasi penting yang berhubungan dengan keberagaman di Afrika Selatan, diantaranya Lawyers for Human Rights, Constitution Hill Human Right Precinct, The Consortium for Refugees and Migrants in South Africa (CoRMSA), Khulisa Social Solutions, People Against Suffering Oppression and Poverty (PASSOP), Cape Development and Dialogue Centre Trust, hingga Ibu Kota Afrika Selatan yaitu Cape Town.
Untuk memperdalam observasinya terkait gender dengan keberagaman dan keagamaan, Riska rencananya masih akan terus menggali informasi untuk mencari benang merah bagaimana gender berperan dalam siklus keagamaan di Afrika Selatan, khususnya di kota Johannesburg dan Cape Town.
“Selanjutnya masih ada beberapa tempat yang ingin saya kunjungi untuk bertemu dengan Non-Govermental Organization (NGO) lokal, agar lebih memahami isu tentang gender di sini. Hal ini tentu merupakan pengalaman berharga yang luar biasa, karena bagi saya pengalaman is the best teacher,” tutupnya.
(Humas, Ns)