BALI, UINSI NEWS,- Ibnu Khaldun, M.IRKH., dosen FUAD UINSI Samarinda tampil sebagai salah satu pembicara pada sesi panel The 21th AICIS Tahun 2022 “Future Religion in G20: Digital Transformation, Knowledge Management and Social Resilience” di Hotel Four Points by Sheraton Bali, Kamis (3/11).
Pada sesi panel yang dilangsungkan di Room 3 Bala Ngan tersebut, Dosen yang juga menjabat sebagai Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir FUAD UINSI Samarinda ini membahas tentang Redefining The Ahl Al-Kitab: In Search of The New Model of Kalimatun Sawa’.
Makna “Ahl” dan “Al-Kitab” menjadi bahan pembahasan yang Ibnu sampaikan diawal pemaparan materinya.
Ibnu sebut makna “Ahl” sebagai orang yang tinggal bersama dalam satu tempat tertentu atau bisa diartikan sebagai masyarakat atau komunitas. Kata “Ahl” disebut sebanyak 125 kali dalam Al-Qur’an dan dapat ditemukan pada beberapa surat seperti Q.S. Al-Ahzab dan Q.S. Hud dengan arti keluarga, pada Q.S. Al-Qashas dengan arti penduduk, dan Q.S. Al-Baqarah dengan arti penganut suatu paham dan pemilik ajaran tertentu.
Lebih lanjut, Ibnu jelaskan makna “Al-Kitab” sebagai tulisan (rangkaian huruf), firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul atau Al-Qur’an.
“Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Ahl Al Kitab dapat kita maknai sebagai suatu komunitas atau kelompok golongan pemeluk suatu ajaran yang memiliki Kitab Suci yang diwahyukan Allah kepada Nabi dan Rasul-Nya,” jelas Ibnu Khaldun.
Selain itu, Ibnu Khaldun juga berikan pemahaman tentang hubungan Ahl-Kitab dengan Kalimatun Sawa’. Apa itu Kalimatun Sawa’?
Kalimatun Sawa’ secara harafiah dapat diartikan sebagai “kata yang sama”, “kata sepakat” atau “titik temu”.
Lebih lanjut, istilah Kalimatun Sawa’ bisa dimaknai sebagai satu pernyataan atau keyakinan yang mempertemukan berbagai perbedaan.
Dalam konteks keyakinan beragama dengan makna Kalimatun Sawa’ sebagai kata yang sama dan kata sepakat, Ibnu berikan contoh kalimat pada Q.S. Ali Imran Ayat 64.
“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang Muslim.” (Q.S. Ali Imran:64).
Dalam konteks makna Kalimatun Sawa’ sebagai titik temu dalam perbedaan, Ibnu berikan contoh kalimat pada Q.S. Al-Ankabut Ayat 46.
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan katakanlah, “kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu; dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.” (Q.S. Al-Ankabut: 46)
“Kata Al kitab pada Q.S. Al-Ankabut ayat 46 tersebut adalah mufrad, sebuah kosa kata tunggal, sedangkan al kitab sebenarnya bisa memiliki makna jamak, seperti kitab Taurat, Zabur, Injil, Suhuf Ibrahim, atau Suhuf Musa sebagai kitab Suci, lalu kenapa ditulis dalam bentuk mufrad?” ucap Ibnu.
“Mungkin hal ini bisa dimaknai bahwa setiap individu atau golongan ditekankan untuk hanya memiliki 1 kepercayaan, agar tidak ada dualisme kepercayaan pada 1 individu. Hal ini selaras dengan dasar negara kita, Pancasila sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,” jelasnya.
“Dari dua ayat tersebut kita bisa ambil kesimpulan bahwa Kalimatan Sawa’ berdasarkan konteks Ahl Al-Kitab menunjukan bahwa Al-Qur’an mengajarkan tauhid sekaligus toleransi dan ajarkan umat menyikapi perbedaan dengan adil serta beradab,” tambahnya.
Ibnu juga sebut Islam sebagai kelanjutan dari ajaran-ajaran agama sebelumnya menegaskan kalimatun sawa’ sebagai konsep toleransi atau kesepakatan ditengah perbedaan keyakinan. Hal ini juga menjadi bukti bahwa Al-Qur’an sudah menjelaskan keberagaman merupakan suatu keniscayaan dan menegaskan tidak ada paksaan dalam beragama. (humas, ns)