Jangan Tunggu Sampai 2026, Mulailah Memahami KUHP Baru Sekarang

Oleh: Agung Wicaksono, S.H., M.H. (Advokat) (Alumni Pascasarjana UINSI Samarinda Jurusan Hukum Keluarga)

Banyak orang mungkin masih santai menghadapi rencana pemberlakuan KUHP baru yang akan efektif pada Januari 2026. Alasannya sederhana, mereka merasa masih ada waktu. Padahal sekarang kita sudah berada di bulan September 2025, artinya tinggal empat bulan lagi sebelum aturan ini benar-benar berlaku.

Waktu yang singkat ini justru harus membuat kita lebih serius mempersiapkan diri. KUHP baru bukan sekadar pengganti kitab hukum lama, melainkan wajah baru hukum pidana Indonesia yang akan mengubah cara kita memahami keadilan, cara aparat penegak hukum bekerja, dan cara masyarakat berhubungan dengan hukum. Menunda untuk mempelajarinya sama dengan menunda kesiapan menghadapi perubahan besar.

Sebagai seorang advokat yang juga alumni Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda, saya bisa merasakan betapa pentingnya pembaruan ini. Selama lebih dari satu abad, kita menggunakan KUHP warisan kolonial Belanda, Wetboek van Strafrecht. Bayangkan, aturan yang lahir tahun 1918 masih kita pakai hingga kini.

KUHP baru yang disahkan pada tahun 2023 adalah tonggak bersejarah, karena untuk pertama kalinya bangsa ini memiliki hukum pidana nasional yang lahir dari hasil perdebatan panjang antara akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan. Mahasiswa hukum, termasuk yang baru masuk semester satu, perlu melihat momentum ini sebagai kesempatan emas untuk belajar hukum dari sumber yang benar-benar relevan dengan zaman mereka.

Di dalam KUHP baru ada banyak hal yang menarik untuk dipelajari. Misalnya konsep restorative justice, di mana penyelesaian perkara tidak melulu lewat hukuman penjara, tetapi juga bisa melalui perdamaian atau pemulihan keadaan. Ada juga aturan-aturan yang langsung berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Beberapa contohnya bisa dilihat dari perbandingan pasal-pasal berikut:

Pertama, soal penghinaan terhadap presiden. Dalam KUHP lama pada Pasal 134–137 aturan ini sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Tetapi dalam KUHP baru, aturan itu kembali dimunculkan dalam Pasal 218, meski dengan syarat hanya bisa diproses jika ada aduan langsung dari presiden atau wakil presiden. Artinya, hukum ingin tetap melindungi martabat kepala negara, tetapi dengan mekanisme yang lebih ketat agar tidak mudah disalahgunakan.

Kedua, soal kohabitasi atau hidup bersama tanpa ikatan perkawinan. KUHP lama sama sekali tidak mengatur hal ini. Di KUHP baru, Pasal 412 mengatur bahwa laki-laki dan perempuan yang hidup bersama sebagai suami istri tanpa ikatan pernikahan bisa dipidana, tetapi juga dengan syarat hanya berlaku jika ada aduan dari pihak keluarga terdekat. Ini menunjukkan adanya penyesuaian hukum dengan nilai sosial dan moral yang hidup di masyarakat.

Ketiga, soal zina. Dalam KUHP lama Pasal 284, zina hanya terbatas pada salah satu pihak yang sudah menikah. Di KUHP baru, Pasal 411 memperluas definisi zina menjadi hubungan seksual di luar perkawinan, baik dilakukan oleh orang yang sudah menikah maupun yang belum. Sama halnya dengan pasal kohabitasi, delik ini juga bersifat aduan, sehingga tetap ada kontrol dari pihak keluarga atau yang merasa dirugikan.

Dari tiga contoh tadi, terlihat jelas bahwa KUHP baru membawa banyak pergeseran. Ada pasal yang dihidupkan kembali, ada pasal yang diperluas maknanya, ada juga pasal baru yang sama sekali tidak pernah diatur sebelumnya. Semua ini akan berpengaruh pada cara aparat penegak hukum bekerja, dan lebih jauh lagi, pada cara masyarakat memahami batas-batas hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Lalu apa yang bisa dilakukan mahasiswa sekarang? Tidak perlu langsung menelan ribuan pasal, cukup mulai dari yang sederhana. Bacalah pasal-pasal yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari, lalu diskusikan dengan teman sekelas atau dosen. Buatlah catatan kecil, atau tulislah opini singkat. Dengan begitu, pengetahuan akan terbentuk sedikit demi sedikit. Mahasiswa hukum juga bisa turun ke masyarakat, misalnya membuat penyuluhan hukum sederhana tentang KUHP baru. Tidak harus muluk-muluk, cukup menjelaskan perbedaan mendasar antara KUHP lama dan yang baru. Dari situ, mahasiswa belajar berbicara dengan bahasa yang lebih mudah dipahami orang awam dan juga sebagai bahan judicial review di Mahkamah Konstitusi apabila dikemudian hari terdapat implementasi pasal yang bermasalah.

Peran alumni, akademisi dan praktisi hukum juga penting dalam transisi ini. Mahasiswa membutuhkan jembatan antara teori yang mereka pelajari di kelas dengan praktik yang terjadi di ruang sidang. Alumni yang sudah bekerja di dunia hukum bisa berbagi pengalaman nyata, sekaligus memberi gambaran bagaimana pasal-pasal KUHP baru akan diterapkan. Kampus pun bisa menjadi ruang pertemuan antara teori dan praktik itu. Dengan cara ini, implementasi KUHP baru tidak akan mengejutkan, melainkan berjalan lebih mulus karena sudah dipersiapkan sejak dini.

Kepada adik-adik mahasiswa, jangan pernah merasa terlalu dini untuk mempelajari KUHP baru. Justru kalian yang masuk kuliah hukum di era transisi ini sedang berada pada posisi istimewa. Kalian bisa menjadi generasi pertama yang tumbuh bersama KUHP nasional, bukan sekadar belajar dari kitab warisan kolonial. Kalau sejak semester satu sudah terbiasa membaca dan memahami pasal-pasal baru, maka ketika lulus kalian akan jauh lebih siap menghadapi tantangan sebagai advokat, jaksa, hakim, polisi atau akademisi.

Hukum selalu bergerak lebih cepat dari perkiraan kita. Kalau menunggu sampai 2026, kita hanya akan jadi penonton yang kebingungan. Ingatlah bahwa sekarang tinggal empat bulan lagi. Mulailah membaca dari sekarang, berdiskusi dari sekarang, dan menulis dari sekarang.

KUHP baru bukan hanya dokumen hukum, melainkan juga cermin perubahan sosial, politik, dan budaya bangsa. Dengan mempelajarinya lebih awal, kita ikut terlibat dalam membentuk masa depan hukum Indonesia, bukan sekadar mengikuti arusnya.
Maka saya ingin menegaskan, jangan tunggu sampai 2026 untuk memahami KUHP baru. Mulailah sekarang. Bagi mahasiswa hukum, ini adalah bekal masa depan.

Bagi kampus, ini adalah kesempatan untuk memperkuat perannya sebagai pusat ilmu dan pengabdian. Bagi para praktisi hukum, akademisi dan alumni, ini adalah panggilan untuk berbagi pengalaman. Implementasi KUHP baru tinggal hitungan bulan, dan lebih baik kita menyambutnya dengan kesiapan, daripada terkejut dengan perubahan yang sudah pasti akan mengguncang wajah hukum pidana di negeri ini.

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»