Oleh: Oleh: Agung Wicaksono, S.H., M.H. (Alumni Pascasarjana UINSI Samarinda)
Kalau kita mendengar kata “advokat”, yang langsung terbayang biasanya seseorang dengan toga hitam, duduk di ruang sidang, beradu argumen dengan jaksa, lalu membela kliennya sekuat tenaga. Gambaran itu tidak salah, tapi terlalu sempit. Padahal, di balik toga dan tumpukan berkas perkara, ada sisi lain dari seorang advokat yang sering terlupakan yaitu advokat jugalah seorang pendidik masyarakat.
Advokat sejati bukan hanya mereka yang pandai bicara di depan hakim, tetapi juga mampu membuat masyarakat paham tentang hukum. Mereka tidak hanya hadir saat terjadi masalah, tetapi juga berperan mencegah masalah hukum itu terjadi. Di sinilah nilai seorang advokat benar-benar terlihat dan bukan hanya sebagai “pembela”, tapi juga “penyadar hukum”.
Sebagai alumni Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda yang juga berprofesi sebagai advokat, saya sering merenungkan hal ini. Ilmu hukum yang kita pelajari di kampus bukan sekadar teori, tapi bekal untuk membimbing masyarakat agar lebih sadar akan hak dan kewajibannya. Hukum yang baik itu bukan hanya yang ditegakkan di pengadilan, tapi juga yang dipahami oleh masyarakat.
Kenyataannya, banyak masyarakat masih minim literasi hukum. Misalnya, dalam kasus keluarga seperti perceraian, hak asuh anak, pembagian waris, atau kekerasan dalam rumah tangga. Banyak orang salah langkah bukan karena mereka ingin melanggar hukum, tetapi karena mereka tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Di sinilah peran advokat sebagai pendidik menjadi sangat penting.
Dalam pandangan Islam, tugas seorang advokat tidak berhenti pada memenangkan perkara. Ia juga membawa tanggung jawab moral untuk menegakkan keadilan dengan cara yang benar. Allah berfirman dalam QS. An-Nahl ayat 90: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” Ayat ini menjadi pengingat bahwa profesi advokat bukan sekadar pekerjaan, tapi amanah.
Menjadi advokat tidak hanya menegakkan keadilan, tapi juga menjaga martabat manusia. Seorang advokat yang baik tidak hanya memikirkan kliennya, tapi juga masyarakat di sekitarnya. Ia harus mampu menjelaskan hukum dengan bahasa yang sederhana agar masyarakat tidak salah paham. Kadang, peran seperti ini lebih besar dampaknya dibanding seribu pledoi di ruang sidang.
Sekarang, banyak advokat muda yang mulai menyesuaikan diri dengan zaman. Mereka tidak hanya aktif di pengadilan, tapi juga di dunia digital. Ada yang membuat konten edukasi hukum di media sosial, membuka konsultasi hukum gratis, atau ikut memberikan penyuluhan ke masyarakat. Langkah seperti ini patut diapresiasi. Karena lewat cara inilah masyarakat bisa belajar hukum dengan cara yang lebih ringan dan mudah diterima.
Sayangnya masih ada juga yang menganggap profesi advokat hanya tentang “menang atau kalah”. Mereka lupa bahwa di balik setiap perkara, ada nilai-nilai kemanusiaan yang harus dijaga. Seorang advokat bisa saja menang dalam perkara, tapi kalah dalam nurani jika tidak menegakkan keadilan secara jujur.
Di sinilah mahasiswa hukum perlu mulai menanamkan nilai idealisme sejak dini. Belajar hukum bukan hanya untuk mencari gelar atau gengsi, tapi untuk benar-benar memahami makna keadilan. Seorang mahasiswa hukum harus mulai terbiasa berbicara dengan bahasa yang bisa dimengerti masyarakat, bukan sekadar bahasa pasal. Karena nanti, ketika menjadi advokat, kemampuan berempati dan berkomunikasi jauh lebih penting daripada hafalan undang-undang.
Bayangkan kalau setiap advokat di Indonesia punya semangat untuk “mendidik sebelum membela”. Mungkin banyak masalah hukum bisa dicegah sebelum sampai ke meja hijau. Banyak keluarga bisa diselamatkan sebelum berakhir di pengadilan. Banyak anak bisa memahami haknya sebelum menjadi korban. Itulah kekuatan dari advokat yang mendidik dan juga membangun kesadaran hukum, bukan sekadar menegakkan hukum.
UINSI sebagai kampus Islam sebenarnya sudah memberi pondasi kuat untuk hal ini. Nilai-nilai keilmuan dan keislaman yang kita pelajari bisa menjadi pedoman dalam menjalani profesi hukum. Kita diajarkan bahwa hukum tidak hanya soal teks, tapi juga niat, moral, dan kemaslahatan. Maka mahasiswa hukum UINSI seharusnya bisa menjadi calon advokat yang bukan hanya profesional, tapi juga punya misi dakwah dan menebar keadilan dengan cara yang manusiawi.
Menjadi advokat yang mendidik juga berarti punya keberanian untuk menyuarakan kebenaran, bahkan ketika itu tidak populer. Advokat yang mendidik tidak mencari sensasi, tapi mencari solusi. Ia tahu bahwa setiap kata yang diucapkan di ruang sidang, di media sosial, atau di tengah masyarakat bisa menjadi pelajaran bagi banyak orang.
Dan jangan lupa, mendidik itu tidak selalu berarti menggurui. Kadang, cukup dengan memberi contoh, bersikap jujur, dan tidak menakut-nakuti masyarakat dengan bahasa hukum yang rumit. Mendidik bisa lewat senyum, lewat kesabaran menjelaskan, atau lewat konten sederhana yang membuka wawasan.
Jadi, buat teman-teman mahasiswa hukum, jangan tunggu nanti jadi advokat baru belajar mendidik. Mulailah dari sekarang. Jelaskan hukum dengan cara yang ringan ke teman-teman, keluarga, atau masyarakat sekitar. Tulis opini, buat video edukasi, atau ikut kegiatan penyuluhan. Karena di setiap langkah kecil itu, kalian sedang membentuk diri menjadi advokat sejati dimana advokat yang tidak hanya membela, tapi juga mencerdaskan bangsa.
Pada akhirnya, profesi advokat bukan hanya tentang pasal dan perkara, tapi juga tentang pengabdian dan kemanusiaan. Seorang advokat sejati tahu bahwa hukum yang paling tinggi bukan hanya tertulis didalam Undang-Undang saja, tetapi yang hidup di hati nurani manusia. Oleh karena itu jadilah advokat yang mendidik, bukan sekadar membela. Karena membela mungkin bisa membuatmu menang hari ini, tapi mendidik akan membuatmu dikenang selamanya.