Menjaga Marwah Santri di Tengah Gelombang Stigma Media

Oleh: WAHDATUN NISA

Clifford Geertz, seorang antropolog dalam karya terkenalnya “The Religion of Java” menyebutkan santri merupakan salah satu dari tiga tipologi utama masyarakat Jawa, bersama dengan priyayi dan abangan. Santri, adalah kelompok masyarakat yang berorientasi kuat pada ajaran Islam, menempuh pendidikan agama di pesantren di bawah asuhan para Kyai. Tipologi ini memberikan gambaran tentang peran penting santri sebagai penjaga nilai-nilai keislaman yang taat dan konsisten. Seiring waktu, peran dan posisi santri berkembang secara signifikan. Dalam konteks kekinian, santri bukan hanya bagian dari warisan budaya Jawa, tetapi telah menjadi elemen penting dalam lanskap kebangsaan Indonesia yang majemuk dan dinamis.
Posisi santri sebagai penjaga tradisi keagamaan ini telah lama menjadi bagian penting dari identitas budaya dan spiritual Indonesia. Namun, di era digital saat ini, marwah santri kerap kali tercoreng oleh gelombang stigma negatif yang tersebar melalui media sosial dan pemberitaan media. Narasi yang tidak adil dan generalisasi atas kasus-kasus tertentu dapat mengikis kepercayaan masyarakat dan mengancam citra santri secara keseluruhan. Oleh karena itu, menjaga kehormatan dan martabat santri menjadi sebuah keharusan, agar nilai-nilai luhur yang mereka bawa tetap hidup dan dihargai dalam keragaman bangsa.

Makna Santri dan historisnya
Secara etimologis, kata santri tidak berasal dari bahasa Arab, melainkan diyakini sebagai istilah lokal Nusantara yang terpengaruh budaya Islam. Ada yang mengaitkannya dengan bahasa Tamil shastri, artinya orang yang memahami kitab suci. Di Indonesia, santri merujuk pada murid yang menimba ilmu agama Islam kepada Kyai, terutama di lingkungan pesantren.
Dalam sejarahnya, keberadaan santri tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan pesantren yang telah ada jauh sebelum masa kolonial. Pesantren adalah institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia, yang menjadi pusat penyebaran agama Islam sejak abad ke-13. Dalam lingkungan pesantren inilah santri tumbuh, belajar, dan menjalani pembentukan karakter melalui proses panjang: dari mengaji kitab kuning, khidmah kepada Kyai, hingga menempa diri dengan kedisiplinan dan kesederhanaan.
Santri juga memiliki jejak historis dalam pergerakan nasional. Pada masa penjajahan Belanda, banyak santri dan kiai yang turut aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Puncaknya terlihat dalam Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, yang digagas oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyaripendiri Nahdlatul Ulama. Resolusi ini menjadi dasar moral bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang kemudian dikenang sebagai Hari Santri Nasional.
Kini dengan lebih dari 5 juta santri di 42.000 pesantren identitas santri terus berkembang. Dahulu identik dengan dunia pesantren yang tradisional, kini santri hadir dalam berbagai bentuk. Mereka masuk ke kampus-kampus, ruang politik, dunia bisnis, teknologi, hingga media sosial. Namun di mana pun mereka berada, ruh kesantrian tetap menjadi ciri khas: akhlak, adab, semangat belajar, dan pengabdian kepada umat. Dengan akar historis yang kuat dan nilai-nilai luhur yang terus dijaga, santri bukan hanya bagian dari masa lalu Indonesia tetapi juga pilar penting bagi masa depan bangsa.

Marwah Santri: Antara Kehormatan dan Stigma Media

Dalam konteks Islam, marwah bermakna kehormatan atau kemuliaan yang melekat pada pribadi seorang Muslim. Marwah bukan sekadar citra luar, melainkan kehormatan yang bersumber dari keimanan, akhlak, ilmu, dan pengabdian. Di pesantren, marwah adalah hasil dari proses panjang pembentukan karakter. Ia muncul dari kedisiplinan belajar, kesungguhan dalam berkhidmah, dan kesantunan dalam berinteraksi. Marwah santri bukan milik individu semata. Ia juga melekat pada lembaga pesantren, pada para kiai, dan pada tradisi keilmuan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, menjaga marwah santri berarti menjaga wibawa pesantren, menjaga nama baik para guru, dan memastikan nilai-nilai luhur pesantren tetap hidup dan relevan di tengah masyarakat.
Namun tantangan terbesar hari ini adalah bagaimana marwah tersebut dipertahankan di era digital di mana citra bisa hancur hanya karena satu potong video yang dipotong konteks, atau satu berita clickbait yang disebarkan tanpa verifikasi.
Di era informasi yang serba cepat ini, media memiliki peran besar dalam membentuk persepsi publik. Sayangnya, dalam banyak kasus, narasi tentang santri tidak selalu ditampilkan secara utuh. Beberapa insiden yang melibatkan individu dengan latar belakang pendidikan agama sering langsung dikaitkan dengan seluruh komunitas santri atau pesantren. Tanpa disadari, hal ini membentuk stigma kolektif yang berbahaya.
Stereotip negatif pun bermunculan. Santri dianggap ketinggalan zaman, tertutup terhadap perubahan, bahkan dalam kasus ekstrem, diasosiasikan dengan paham kekerasan. Padahal, stigma ini tidak hanya keliru, tapi juga mengabaikan fakta bahwa justru dari kalangan pesantrenlah banyak muncul tokoh-tokoh moderat, pemikir besar, dan pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan.
Media sosial memperparah situasi ini. Di sana, siapa pun bisa menjadi “wartawan”, menyebarkan informasi yang belum tentu benar, menciptakan opini publik tanpa dasar. Meme, video pendek, atau potongan ceramah bisa disalahartikan, lalu diviralkan tanpa klarifikasi. Di sinilah marwah santri menghadapi ujian terbesarnya.

Strategi Menjaga Marwah di Era Digital

Menjaga marwah santri hari ini tidak cukup hanya dengan mengandalkan kesalehan pribadi. Diperlukan pendekatan baru yang adaptif terhadap zaman, tanpa kehilangan ruh tradisi. Beberapa langkah penting di antaranya:
Meningkatkan literasi media di lingkungan pesantren. Santri harus diajak memahami bagaimana media bekerja, bagaimana hoaks tersebar, dan bagaimana membedakan antara kritik dan fitnah. Literasi ini penting agar santri tidak menjadi korban, tetapi pelaku aktif dalam membentuk narasi positif.
Mendorong santri untuk terlibat di ruang digital. Banyak santri muda hari ini yang mulai menulis blog, membuat podcast, mengelola akun edukatif di media sosial, dan mengisi ruang diskusi publik. Ini langkah strategis untuk membangun citra santri yang terbuka, kreatif, dan mampu berdialog dengan zaman
Menampilkan kisah-kisah inspiratif dari kalangan santri. Publik perlu diperkenalkan pada figur-figur santri yang sukses di berbagai bidang: sains, pendidikan, teknologi, seni, bahkan bisnis. Bahwa santri tidak hanya bisa mengaji, tapi juga bisa menjadi inovator dan pemimpin yang membumi.
Memperkuat jejaring santri lintas pesantren dan profesi. Santri yang kini berada di luar pesantren, baik sebagai profesional, akademisi, maupun aktivis, perlu terhubung kembali dengan akar pesantrennya. Dengan begitu, marwah santri tetap terjaga dan terus diperkuat melalui berbagai kontribusi nyata.

Penutup: Dari Pesantren ke Ruang Publik
Marwah santri adalah cerminan dari nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para ulama: ilmu yang beradab, sikap yang rendah hati, dan pengabdian yang tulus. Di tengah gelombang stigma media yang kerap membingkai santri secara negatif, tugas besar kita adalah mengembalikan narasi itu ke jalur yang benar.
Santri harus terus hadir di ruang-ruang publik dengan wajah yang ramah, pikiran yang terbuka, dan hati yang lapang. Bukan untuk membantah setiap tuduhan dengan amarah, tetapi untuk menjawabnya dengan karya dan keteladanan. Sebab pada akhirnya, marwah bukan sekadar dijaga dengan kata-kata, melainkan ditunjukkan melalui tindakan.

Selamat Hari santri 2025 Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»