Santri Melek Digital, Penjaga Akhlak di Era AI

Oleh: Dr. Hj. Titi Kadi, M.Pd.I

Era Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) menandai babak baru dalam peradaban manusia. Perkembangan teknologi digital kini tidak hanya mengubah cara manusia bekerja dan belajar, tetapi juga memengaruhi cara berpikir, berinteraksi, bahkan beriman. Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi muslim terbesar di dunia tidak bisa menutup mata terhadap gelombang transformasi digital ini. Di tengah derasnya arus digitalisasi, santri—sebagai penjaga nilai, moral, dan akhlak bangsa—memiliki tanggung jawab ganda: tidak hanya menjaga tradisi keilmuan Islam yang berakar kuat, tetapi juga beradaptasi dengan kemajuan teknologi tanpa kehilangan jati diri keislaman.

Menurut laporan We Are Social (2024), pengguna internet di Indonesia mencapai 224 juta orang atau sekitar 80% dari total populasi, dengan rata-rata waktu penggunaan internet mencapai 7 jam 42 menit per hari. Sementara itu, lebih dari 191 juta orang aktif di media sosial. Angka ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dunia digital terhadap pola pikir dan perilaku masyarakat Indonesia.

Dalam konteks ini, santri yang selama ini identik dengan kesederhanaan, kedalaman ilmu agama, dan kedisiplinan spiritual, kini dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana menjadi generasi yang melek digital tanpa kehilangan akar moralitasnya.

Media sosial, misalnya, menawarkan kebebasan berekspresi tanpa batas, namun sekaligus membuka peluang besar bagi penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan degradasi moral. Fenomena ini menuntut santri untuk tidak hanya mampu membaca kitab kuning, tetapi juga “kitab digital”—yakni memahami algoritma, literasi informasi, dan etika bermedia.

Pesantren kini mulai bertransformasi menjadi smart pesantren—memadukan nilai-nilai tradisional Islam dengan kemampuan digital. Berdasarkan data Kementerian Agama (2023), terdapat lebih dari 36.000 pesantren di Indonesia dengan jumlah santri mencapai 5 juta orang. Jika separuh saja dari jumlah itu memiliki kemampuan literasi digital yang baik, maka pesantren dapat menjadi kekuatan moral dan intelektual baru di ruang digital nasional.

Beberapa pesantren telah menjadi pionir dalam hal ini. Pesantren Tebuireng, Gontor, dan Al-Amien misalnya, telah mengembangkan program digital literacy training bagi santrinya. Selain itu, sejumlah pesantren di Jawa Timur dan Yogyakarta juga telah membentuk cyber dakwah team yang berfokus pada penyebaran dakwah melalui media sosial secara santun dan moderat.

Transformasi ini menegaskan bahwa santri bukan hanya pewaris ilmu agama, tetapi juga aktor strategis dalam membentuk peradaban digital yang beretika.

Kecerdasan buatan membawa efisiensi luar biasa dalam berbagai bidang, namun juga menimbulkan moral gap. Mesin belajar dari data, bukan dari nilai. AI dapat meniru perilaku manusia, tetapi tidak bisa meniru akhlak.

Sebagai contoh, penggunaan deepfake untuk manipulasi wajah tokoh publik, algoritma yang mendorong polarisasi politik, hingga chatbot yang bisa menghasilkan konten palsu—semua ini menunjukkan betapa teknologi tanpa moral bisa menjadi ancaman serius bagi kemanusiaan.

Di sinilah peran santri menjadi signifikan. Santri memahami bahwa ilmu tidak pernah bebas nilai. Dalam tradisi Islam, ilmu (‘ilm) selalu harus disertai dengan adab (akhlaq). Maka, ketika dunia modern mengagungkan efisiensi dan kecepatan, santri justru menghadirkan keseimbangan berupa kebijaksanaan dan tanggung jawab etis.

Santri yang melek digital bisa menjadi “penyaring moral” di tengah banjir informasi. Mereka tidak hanya mampu menilai benar-salah secara teknis, tetapi juga baik-buruk secara etik. Dengan kemampuan literasi digital yang baik, santri dapat menandingi narasi destruktif di ruang siber dengan dakwah yang santun, konten edukatif, dan kritik sosial yang berlandaskan akhlakul karimah.

Islam sejatinya telah lama menekankan pentingnya penggunaan ilmu dengan tanggung jawab moral. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS. Al-Isra: 36)

Ayat ini menjadi dasar bagi etika bermedia di era digital. Setiap klik, share, dan comment adalah bagian dari amal dan tanggung jawab moral. Maka, santri yang memahami nilai-nilai ini memiliki modal etik untuk menjadi “penjaga peradaban digital”.

Pesantren dapat memainkan peran sentral dengan mengintegrasikan kurikulum literasi digital berbasis nilai Islam. Materi seperti etika bermedia sosial, literasi informasi, keamanan digital, hingga pemanfaatan AI untuk dakwah dan riset keislaman bisa menjadi bagian dari kurikulum pembelajaran abad ke-21 di pesantren.

Agar santri benar-benar menjadi garda terdepan penjaga akhlak di era AI, ada beberapa langkah strategis yang bisa diambil:

  1. Integrasi Literasi Digital dalam Kurikulum Pesantren.
    Literasi digital bukan hanya tentang kemampuan teknis, tetapi juga tentang etika, keamanan, dan tanggung jawab sosial.
  2. Kolaborasi Pesantren dengan Dunia Teknologi.
    Pesantren bisa menjalin kemitraan dengan startup edukasi, platform AI, dan lembaga riset untuk memperluas cakrawala santri terhadap teknologi.
  3. Pendidikan Akhlak di Dunia Digital.
    Pesantren perlu mengajarkan fiqh al-ijtima’i digital — yakni fiqh sosial yang mengatur perilaku etis dalam dunia maya.
  4. Gerakan Dakwah Digital Moderat.
    Santri harus hadir di ruang digital dengan narasi Islam yang menyejukkan, bukan memecah belah. Dakwah digital berbasis konten kreatif, literer, dan visual perlu dikembangkan.
  5. Pemanfaatan AI untuk Keilmuan Islam.
    AI dapat digunakan untuk analisis teks kitab klasik (tura>ts), penerjemahan digital, hingga pengembangan aplikasi dakwah. Namun, nilai etik Islam harus tetap menjadi pagar utama dalam penggunaannya.

Santri adalah wajah moral bangsa. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan kemajuan AI yang nyaris tanpa batas, santri melek digital adalah harapan baru peradaban. Mereka bukan hanya penerus tradisi keilmuan Islam, tetapi juga penjaga etika, pembimbing moral, dan pelurus arah teknologi agar tetap berpihak kepada kemanusiaan.

Jika para santri mampu menguasai teknologi tanpa kehilangan adab, maka masa depan Indonesia di era AI akan tetap berakar pada nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Karena pada akhirnya, teknologi boleh canggih, tapi peradaban hanya akan bertahan jika dijaga oleh akhlak.#

 

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»