Oleh: Dr. Mursyid, M.Si.
Dosen FEBI UINSI Samarinda
Tema ini bukan hanya ajakan untuk memperingati jasa para santri, tetapi refleksi mendalam atas tanggung jawab santri masa kini—bukan lagi mengusir penjajah bersenjata, tetapi melawan penjajahan gaya hidup, kemiskinan, ketergantungan ekonomi, dan krisis moral.
Hari Santri berakar dari sejarah heroik Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dicetuskan KH. Hasyim Asy’ari. Seruan itu menegaskan kewajiban membela tanah air sebagai bagian dari iman. Namun setelah merdeka, perjuangan kaum santri tidak berhenti: mereka bertransformasi dari pejuang fisik menjadi pejuang moral, pendidikan, dan ekonomi.
Kemandirian ekonomi adalah ruh penting dalam peradaban Islam. Islam tidak mengenal sistem ekonomi kapitalistik yang menindas, ataupun sosialistik yang meniadakan kepemilikan. Islam menegakkan ekonomi di atas tiga pilar: keadilan (‘adl), keseimbangan (tawazun), dan keberkahan (barakah).
Pesantren memiliki potensi luar biasa menjadi pelaku ekonomi berbasis syariah—karena ia memiliki sumber daya manusia yang berakhlak, jaringan sosial luas, serta kepercayaan masyarakat tinggi.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pesantren yang bertransformasi menjadi pusat kegiatan ekonomi produktif. Contohnya, pesantren yang membangun koperasi syariah, membuka minimarket berbasis wakaf, mendirikan unit usaha pertanian, peternakan, hingga digital startup berbasis nilai halal.
Gerakan seperti Pesantren Preneur, Santripreneur, dan One Pesantren One Product (OPOP) merupakan bentuk nyata implementasi ekonomi syariah di lingkungan pendidikan keagamaan.
Sistem ekonomi syariah berdiri di atas prinsip keadilan distributif dan etika muamalah. Dalam sistem ini, harta bukan untuk menimbun, tetapi untuk memberdayakan. Prinsip-prinsip seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf produktif merupakan instrumen pemerataan yang khas Islam. Pesantren adalah laboratorium nyata penerapan prinsip tersebut melalui koperasi pesantren, lembaga keuangan mikro syariah, dan Baitul Maal wat Tamwil (BMT).
Kemandirian ekonomi pesantren bukan semata urusan finansial, melainkan bagian dari ekosistem peradaban Islam. Ekonomi syariah tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan pendidikan, spiritualitas, dan sosial. Santri yang belajar akidah dan fikih muamalah tidak hanya memahami hukum halal-haram, tetapi juga belajar mengelola bisnis halal dan berdagang dengan amanah.
Viralnya #BoikotTrans7 baru-baru ini menjadi pelajaran penting dalam dinamika media dan pesantren. Tayangan yang dinilai melecehkan marwah dunia pesantren memicu gelombang protes digital dari kalangan santri dan masyarakat luas. Namun di balik peristiwa itu, tampak satu hal positif: santri kini memiliki kemandirian narasi. Mereka tidak lagi diam saat nilai-nilai pesantren direduksi oleh media. Mereka bersuara, menulis, mengoreksi, dan menegur dengan cara yang beradab.
Santri juga perlu hadir di sektor ekonomi kreatif halal: media, konten digital, desain, dan aplikasi berbasis syariah. Fenomena influencer dakwah dan santri content creator adalah aset ekonomi baru berbasis spiritual. Pesantren tidak lagi hanya dikenal sebagai tempat belajar agama, tetapi juga pusat inovasi ekonomi bernilai spiritual.
Apel Hari Santri 2025 dan semangat ekonomi kemandirian pesantren adalah dua wajah dari satu cita-cita: membangun Indonesia yang berperadaban, mandiri, dan bermartabat. Di lapangan, santri berdiri tegap dengan sarung dan peci; di dunia maya, mereka berdiri gagah dengan tagar dan teknologi.
Ketika spiritualitas, ekonomi, dan ilmu berpadu, maka lahirlah peradaban yang utuh: peradaban yang mengakar pada iman, berbuah kesejahteraan, dan memberi keteduhan bagi dunia.
Selama masih ada santri yang ikhlas belajar dan bekerja, Indonesia tidak akan kekurangan penjaga peradaban. Karena dari bilik kecil pesantrenlah, cahaya besar peradaban itu terus menyala.