Oleh: M. Ridho Muttaqin, M.Pd.(Kepala Pusat Informasi & Seleksi PMB LP2M)
Ketika lonceng sekolah berbunyi menandakan Hari Guru, kita tentu memberikan penghormatan tulus kepada para pahlawan tanpa tanda jasa di kelas. Namun, sebelum kita mengenal guru-guru hebat di sekolah, ada satu sosok yang telah mendidik kita secara intensif sejak hari pertama kehidupan, Ibu. Mengangkat peran Ibu sebagai guru pertama bukanlah sekadar ungkapan romantis di Hari Guru, melainkan sebuah pengakuan terhadap fondasi pendidikan yang tak tergantikan. Rumah kita adalah “Sekolah” pertama, dan Ibu adalah pembimbingnya. Beliau bukan hanya mengajar membaca atau berhitung, Ibu mengajari kita bagaimana cara menjadi manusia. Dari Ibu, kita menyerap bahasa ibu kita, menyusun kata hingga menjadi kalimat yang utuh. Secara akademik, kemampuan berbahasa ini adalah blueprint bagi semua kemampuan berpikir dan bernalar di masa depan. Tanpa landasan komunikasi yang kuat ini, proses belajar formal di sekolah tidak akan berjalan optimal.
Selanjutnya, Ibu adalah pelatih utama dalam urusan hati, atau yang sering kita sebut Kecerdasan Emosional (EQ). Jauh sebelum kita mempelajari teori psikologi di bangku kuliah, Ibu sudah mengajarkan kita cara mengenali perasaan saat sedih, marah, atau gembira dan yang lebih penting, bagaimana mengelolanya. Sentuhan, tatapan mata, dan nada suara Ibu menciptakan ikatan (atau attachment) yang kuat, yang oleh para ahli pendidikan dianggap sebagai landasan rasa aman. Rasa aman ini sangat vital, sebab ia memberi kita keberanian untuk mengambil risiko, mencoba hal baru, dan bangkit saat gagal semua adalah keterampilan metodologis yang dibutuhkan dalam proses belajar. Tanpa dasar emosional yang kokoh ini, kecerdasan otak (IQ) saja tidak akan cukup membawa kita pada kesuksesan yang sesungguhnya.
Pendidikan yang diberikan Ibu bersifat holistik menyeluruh, tidak terkotak-kotak seperti mata pelajaran. Beliau adalah fasilitator yang menjembatani apa yang belum bisa kita lakukan menjadi bisa, sebuah konsep yang mirip dengan Zona Perkembangan Proksimal dalam psikologi pendidikan. Ibu mengajarkan kita tentang etika, disiplin, dan tanggung jawab melalui rutinitas harian di rumah, seperti merapikan mainan atau makan tepat waktu. Ini adalah pendidikan karakter yang sesungguhnya. Ketika kita menghadapi kegagalan kecil, Ibu mengajarkan kita untuk bangkit, menumbuhkan ketahanan (resilience) yang sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan hidup. Intinya, Ibu bukan hanya mengisi kepala kita dengan pengetahuan, tetapi juga mengisi hati kita dengan nilai-nilai, serta membekali kita dengan “alat” untuk bertahan dan berkembang.
Maka, di momen peringatan Hari Guru ini, mari kita luaskan makna apresiasi kita. Guru-guru di sekolah adalah arsitek yang luar biasa, membangun struktur ilmu yang megah. Namun, Ibu adalah insinyur yang memastikan fondasi bangunan itu kokoh dan tak tergoyahkan. Mari kita kenang jasa mereka, para pendidik formal, sekaligus merayakan Ibu sebagai guru pertama yang mengajar dengan kurikulum kasih sayang, yang dampaknya terasa seumur hidup. Tanpa “sekolah rumah” yang hangat itu, kita tidak akan siap menerima setiap pelajaran berharga yang diberikan oleh guru-guru kita di sekolah. Penghargaan tertinggi kita pada Hari Guru adalah pengakuan bahwa di balik setiap kecerdasan, selalu ada sentuhan pertama dari seorang Ibu.




