Oleh: Arsinah Sadar, M.SI
(Dosen FTIK UINSI Samarinda)
Peringatan Hari Guru Nasional setiap 25 November bukan sekadar seremoni, melainkan momentum untuk merefleksikan peran strategis guru dalam membentuk peradaban bangsa. Dalam konteks perkembangan global yang semakin kompleks, peran guru kini tidak lagi terbatas sebagai penyampai materi pelajaran, tetapi meluas sebagai pengelola pendidikan yang utuh, meliputi pembinaan intelektual, penguatan karakter, pendampingan emosional, hingga penanaman nilai-nilai kemanusiaan.
Di tengah dinamika sosial yang cepat berubah, muncul satu pendekatan yang semakin relevan dan layak dihidupkan kembali: pendidikan berbasis cinta. Ini bukan sekadar konsep romantik, tetapi landasan filosofis yang telah ditekankan oleh banyak tokoh pendidikan dunia, termasuk tokoh-tokoh pendidikan nasional Indonesia.
Ki Hajar Dewantara dalam banyak tulisannya menegaskan bahwa “Pendidikan adalah upaya memajukan budi pekerti, pikiran, dan jasmani anak agar mencapai kesempurnaan hidup.” Pada hakikatnya, kata budi pekerti merangkum seluruh nilai kasih sayang, penghormatan, dan kemanusiaan yang menjadi inti dari pendidikan berbasis cinta. Ki Hajar percaya bahwa hanya dengan pendekatan yang memanusiakan, pendidikan mampu melahirkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batin.
Dalam semangat itulah artikel ini disusun, sebagai ajakan reflektif, sekaligus penghargaan bagi para guru yang dengan cinta terus menyalakan cahaya peradaban.
Pendidikan berbasis cinta menempatkan guru sebagai teladan pertama dan utama dalam kehidupan siswa. Keteladanan ini tidak sekadar diwujudkan melalui kata-kata, tetapi melalui sikap, perlakuan, dan interaksi sehari-hari di ruang kelas.
Seorang guru yang mengelola pendidikan dengan cinta akan menunjukkan kesabaran, ketulusan, integritas, serta penghargaan terhadap martabat murid. Ia memahami bahwa hubungan emosional yang sehat antara guru dan murid adalah kunci keberhasilan pembelajaran.
Ki Hajar Dewantara menegaskan prinsip ing ngarso sung tulodo, di depan, guru memberi teladan. Prinsip ini menjadi sangat relevan ketika pendidikan menghadapi persoalan karakter di era digital, di mana anak-anak terpapar informasi tanpa batas namun minim bimbingan moral.
Keteladanan seorang guru yang penuh cinta menumbuhkan keyakinan pada diri murid bahwa belajar bukan bentuk tekanan, tetapi ruang tumbuh. Ketika murid merasakan penghargaan yang tulus, ia belajar bukan karena takut dihukum atau mengejar nilai, melainkan karena dorongan batin dan rasa bahagia terhadap proses belajar itu sendiri.
Ruang kelas adalah jantung dari proses pendidikan. Di dalamnya, guru berperan sebagai pengelola lingkungan sosial dan emosional yang menentukan kualitas interaksi belajar. Dalam pendidikan berbasis cinta, ruang kelas dipahami sebagai lingkungan yang ramah, hangat, dan inklusif.
Guru memastikan:
Tidak ada murid yang merasa terasingkan
Tidak ada intimidasi atau tekanan
Tidak ada perlakuan diskriminatif
Setiap murid dihargai dengan potensi dan keunikannya
Pendekatan ini sejalan dengan pemikiran Nurcholish Madjid, yang menekankan bahwa pendidikan harus “membebaskan manusia, memanusiakan manusia, dan mempersaudarakan manusia.” Dalam konteks pembelajaran, pembebasan berarti memberikan ruang bagi siswa untuk menemukan jati dirinya, memanusiakan berarti memperlakukan siswa secara etis dan penuh cinta, dan mempersaudarakan berarti menciptakan budaya saling menghormati di antara mereka.
Sebaliknya, pendidikan yang dilakukan dalam suasana tegang dan penuh tekanan mudah melahirkan kecemasan, trauma, bahkan penolakan terhadap proses belajar. Pendidikan berbasis cinta mengubah ruang kelas menjadi tempat tumbuh, bukan tempat takut.
Di tengah era digital, tantangan generasi muda tidak hanya pada persoalan akademik, tetapi juga pada kesehatan mental dan emosional. Paparan media sosial, kompetisi akademik, tekanan keluarga, hingga masalah perundungan membuat murid semakin rentan.
Dalam situasi ini, guru berperan sebagai pendamping sosial-emosional. Ia tidak hanya mengajar, tetapi juga mendengarkan, memahami, dan memvalidasi perasaan murid. Pendekatan cinta memungkinkan guru untuk:
Mengidentifikasi perubahan perilaku murid
Memberikan penguatan ketika murid gagal
Membantu murid mengelola emosi negatif
Menjadi tempat bertanya ketika murid kehilangan arah
Buya Hamka pernah menegaskan bahwa “Tugas seorang guru bukan hanya mengajar, tetapi mendidik dengan sepenuh hati.” Pendidikan yang mendidik berarti menyentuh aspek batin anak, memberi ruang bagi kesedihan, kegembiraan, kecemasan, dan harapan mereka.
Pendampingan sosial-emosional yang dilakukan dengan cinta menciptakan murid yang memiliki ketahanan mental, empati, dan kecerdasan emosional. Ketiganya adalah modal penting untuk menghadapi tantangan kehidupan di masa depan.
Perkembangan teknologi dan kecerdasan buatan membuat akses informasi semakin mudah. Namun, pengetahuan tanpa nilai kemanusiaan tidak akan menghasilkan kebaikan. Di sinilah guru memainkan peran penting: menghubungkan ilmu dengan nilai.
Guru mengelola pendidikan berbasis cinta dengan cara menyisipkan nilai-nilai dalam setiap pelajaran seperti:
Kejujuran dalam mengerjakan soal
Toleransi terhadap perbedaan pendapat
Kerja sama dalam tugas kelompok
Empati terhadap teman yang tertinggal
Integritas dalam setiap tindakan
Nilai-nilai ini tidak bisa dipelajari dari mesin atau internet; hanya dapat ditanamkan melalui relasi manusiawi antara guru dan siswa. Dengan pendekatan cinta, pembelajaran bukan hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga membentuk manusia berkarakter.
Salah satu tantangan pendidikan hari ini adalah kurangnya keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam mendukung proses belajar. Padahal pendidikan adalah kerja bersama, sebagaimana ditegaskan Ki Hajar Dewantara melalui prinsip tri pusat pendidikan: keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Guru berperan sebagai penggerak kolaborasi tersebut. Dengan bahasa cinta, guru dapat membangun komunikasi yang baik dengan orang tua dan menciptakan sinergi positif, sehingga pendidikan anak berjalan selaras di rumah dan di sekolah.
Kolaborasi berbasis cinta memastikan bahwa nilai-nilai yang diajarkan tidak hanya berhenti di ruang kelas, tetapi diteruskan dalam kehidupan sehari-hari anak. Lingkungan sosial pun menjadi lebih suportif dan kondusif bagi pertumbuhan anak.
Dalam pendidikan berbasis cinta, guru bukan hanya profesi, tetapi panggilan jiwa. Mereka bekerja dalam senyap, tanpa sorotan, namun dampaknya jauh melebihi apa pun yang bisa diukur. Di tangan guru, terletak masa depan bangsa. Di bawah bimbingan mereka, karakter generasi mendatang dibentuk dalam cara berpikir, berperilaku, dan berkontribusi bagi bangsa.
Sebagaimana kata-kata Ki Hajar Dewantara:
“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”
Namun guru sejati tetaplah mereka yang setiap hari berdiri di depan kelas dengan hati yang tulus, menanamkan cinta, harapan, dan cahaya kepada anak-anak.
Hari Guru Nasional mengingatkan kita bahwa guru tidak hanya bekerja mengajar, tetapi menciptakan masa depan. Pendidikan berbasis cinta menunjukkan bahwa setiap langkah guru dari cara menyapa murid hingga cara menegur, membawa nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa.
Memuliakan guru adalah memuliakan peradaban. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menempatkan guru pada posisi terhormat. Dan bangsa yang maju adalah bangsa yang membangun sistem pendidikan berdasarkan cinta, kemanusiaan, dan penghargaan terhadap martabat anak-anaknya.
Di tengah segala tantangan dan perubahan zaman, cinta tetap menjadi kekuatan yang tak tergantikan. Para guru telah membuktikan hal itu setiap hari.
Selamat Hari Guru Nasional.
Terima kasih kepada seluruh guru Indonesia yang terus menebarkan cinta, membimbing generasi, dan menjaga nyala peradaban.#




