SAMARINDA, UINSI NEWS,— Upaya membangun kesadaran literasi kritis terhadap kesehatan mental digelar melalui forum webinar bertajuk “Kritik Filsafat terhadap Komodifikasi Psikologi”. Kegiatan ini menjadi ruang refleksi akademik sekaligus publik untuk menyoroti bagaimana psikologi, sebagai ilmu yang sejatinya berangkat dari nilai kemanusiaan, kini semakin berhadapan dengan logika pasar, industri, dan kapitalisme global, Senin (08/12/2025).
Webinar dibuka dengan opening speech oleh Dr. Badrut Tamam, M.Pd.I., Kepala Pusat Literasi dan Media Digital sekaligus dosen UIN Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda. Dalam pemaparannya, Badrut Tamam menyatakan bahwa psikologi di era modern tengah berada pada persimpangan yang mengkhawatirkan.
“Di era modern ini, psikologi—ilmu yang lahir untuk memahami, merawat, dan memanusiakan manusia—menghadapi tantangan serius. Ia perlahan digeser dari ruang empati dan etika menuju arena pasar industri dan komoditi,” ujarnya. Menurutnya, kesehatan mental yang seharusnya menjadi hak dasar kemanusiaan kini kerap direduksi menjadi sekadar produk, angka statistik, serta layanan berbayar yang diperdagangkan.
Ia menambahkan, fenomena inilah yang perlu direfleksikan secara serius melalui pendekatan filsafat. Filsafat, kata Badrut Tamam, mengingatkan bahwa manusia tidak boleh diposisikan sekadar sebagai objek ukur, target layanan, atau konsumen terapi. “Manusia adalah subjek bermakna—memiliki martabat, kehendak, dan tanggung jawab moral. Ketika psikologi semata diposisikan dalam logika kapital dan efisiensi, ada risiko besar: jiwa manusia disederhanakan, penderitaan direduksi, dan empati tergantikan oleh transaksi,” tegasnya.
Menurutnya, kritik filsafat menjadi titik penting untuk mengembalikan orientasi psikologi pada nilai etik, kemanusiaan, dan keberpihakan pada martabat manusia. Inilah, lanjutnya, titik kritis yang menuntut keberanian berpikir dan kejujuran etik, baik dari kalangan akademisi, praktisi, maupun pembuat kebijakan.
Pada sesi pertama, narasumber Novan Leany, S.Pd., M.A., mahasiswa Program Doktor Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, memaparkan kajian bertajuk Komodifikasi dalam filsafat, reduksi manusia dan krisis ontologis . Ia menjelaskan bahwa Market Islam bukanlah fenomena yang lahir secara alamiah dari tradisi keagamaan semata, melainkan hasil dari pertemuan kompleks antara proses global dan lokal.
“Market Islam merupakan produk integrasi antara antropologi globalisasi, reformasi spiritual, serta adopsi pengetahuan modern,” kata Novan. Ia menjelaskan bahwa dalam proses tersebut, manajemen Barat, psikologi populer, dan industri self-help diadopsi lalu diselaraskan dengan moral dan etika Islam.
Dalam kerangka ini, Islam tidak lagi diposisikan hanya sebagai ajaran ritual atau normatif, tetapi juga sebagai modal kultural dan spiritual. Modal inilah yang kemudian digunakan untuk membangun etos kerja, memacu motivasi individu, dan menopang praktik ekonomi yang dikenal sebagai ekonomi spiritual dan manajemen Islam. Tokoh-tokoh dan teori populer, mulai dari Dale Carnegie dan Robert Kiyosaki, hingga pemikiran akademik Asef Bayat, Talal Asad, dan Max Weber, menurut Novan, turut memberi legitimasi intelektual bagi transformasi tersebut.
Ia menegaskan bahwa Market Islam harus dipahami sebagai produk historis dan sosiologis yang tumbuh kuat dalam konteks pembangunan Orde Baru dan pasca-Orde Baru. “Pada fase ini, Islam bernegosiasi secara intens dengan kapitalisme, modernitas, dan globalisasi. Islam tidak hanya beradaptasi, tetapi juga direformulasi sebagai sumber makna spiritual yang kompatibel dengan logika pasar dan pembangunan,” jelasnya.
Sesi kedua diisi oleh Livi Husnia A.F., S.Sps., M.A., praktisi bimbingan dan konseling sekaligus pegiat isu kesehatan mental dan gender. Ia membawakan tema Self-Optimization and Psikologi Instan: Tinjauan Kritis. Dalam paparannya, Livi mengulas berbagai problem mental modern yang kian kompleks, mulai dari kecemasan kronis, tekanan produktivitas, hingga budaya kompetisi yang berlebihan.
Menurutnya, psikologi instan yang marak di ruang digital sering kali menawarkan solusi cepat dan simplistik, namun abai terhadap akar persoalan yang bersifat struktural dan sosial. “Problem mental modern tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, relasi kuasa, serta tekanan sistemik. Ketika semuanya direduksi menjadi urusan individu semata, maka manusia kembali ditempatkan sebagai objek,” ujarnya.
Livi menawarkan gagasan rehumanisasi psikologi sebagai pendekatan alternatif. Rehumanisasi ini menekankan prinsip empati dalam self-optimization, kepekaan terhadap konteks sosial, serta penguatan relasi kemanusiaan. Secara praktis, ia menyebutkan tiga langkah penting, yakni proses reflektif yang berkelanjutan, upaya menghindari komodifikasi layanan psikologi, serta keterlibatan aktif dalam advokasi kebijakan yang berpihak pada kesehatan mental publik.
Selain itu, ia menekankan urgensi pendidikan literasi psikologi di tengah banjir informasi dan narasi populer di media sosial. Masyarakat, menurutnya, perlu dibekali kemampuan kritis untuk menilai klaim-klaim psikologi instan, menguji validitas narasi populer, serta tetap menjadikan nilai kemanusiaan sebagai pijakan utama dalam memahami kesehatan mental.
Melalui forum ini, webinar tidak hanya menjadi ruang diskusi akademik, tetapi juga wahana literasi publik yang mendorong kesadaran kritis. Para peserta diajak untuk melihat kesehatan mental secara lebih utuh—bukan sebagai komoditas pasar, melainkan sebagai bagian tak terpisahkan dari martabat dan hak kemanusiaan. Webinar ini sekaligus menegaskan pentingnya peran filsafat, kajian sosial, dan literasi kritis dalam mengawal arah perkembangan psikologi di tengah tantangan zaman.#







