SAMARINDA, UINSI NEWS,- Tantangan dunia pendidikan tinggi tidak lagi berhenti pada capaian akademik semata. Mahasiswa dituntut mampu berpikir kritis, adaptif, dan mandiri secara ekonomi di tengah perubahan sosial yang kian cepat. Menjawab tantangan tersebut, Seminar Pendidikan bertajuk “Literasi Akademik dan Kewirausahaan: Kiat Menjadi Mahasiswa Kreatif dan Mandiri” digelar sebagai ruang refleksi sekaligus penguatan kapasitas mahasiswa.
Seminar ini menghadirkan Dr. Badrut Tamam, M.Pd.I, Kepala Pusat Literasi dan Media Digital sekaligus dosen UIN Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda, sebagai pembicara pembuka (opening speech). Sementara narasumber utama adalah Dian Arif Noor Pratama, M.Pd, dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) yang berpengalaman dalam penguatan literasi akademik serta pengembangan jiwa kewirausahaan mahasiswa. Diskusi dipandu oleh Cindy, mahasiswa Program Studi Manajemen.
Dalam sambutannya, Badrut Tamam menegaskan bahwa literasi akademik memiliki makna yang jauh lebih luas dibanding sekadar kemampuan membaca dan menulis. Literasi, menurutnya, merupakan kecakapan berpikir kritis, analitis, dan bertanggung jawab dalam mengelola ilmu pengetahuan.
“Literasi akademik bukan hanya soal memahami teks, tetapi bagaimana mahasiswa mampu mengolah pengetahuan secara kritis, mengujinya dengan data, dan menggunakannya secara etis untuk kemaslahatan,” ujar Badrut Tamam.
Ia menambahkan, kewirausahaan juga tidak dapat dipisahkan dari dunia akademik. Kewirausahaan merupakan ikhtiar nyata untuk mengubah pengetahuan dan kreativitas menjadi nilai tambah, kemandirian, serta kebermanfaatan sosial. Kedua aspek tersebut, tegasnya, bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan saling menguatkan.
“Literasi akademik membentuk fondasi intelektual, sementara kewirausahaan menjadi jalan aktualisasi. Keduanya bertemu dalam karakter mahasiswa yang unggul secara intelektual dan mandiri secara ekonomi,” katanya.
Ia juga menyinggung perspektif Islam yang menempatkan literasi dan ilmu pengetahuan pada posisi yang sangat mulia. Perintah membaca dalam wahyu pertama, menurutnya, menjadi penegasan bahwa penguasaan ilmu harus diiringi dengan tanggung jawab moral dan sosial. Oleh karena itu, seminar ini dirancang sebagai upaya meningkatkan literasi akademik sekaligus menumbuhkan jiwa kewirausahaan mahasiswa agar mampu menjawab tantangan zaman.
“Melalui seminar ini, kita berharap mahasiswa tidak hanya cerdas secara teori, tetapi juga kreatif, inovatif, dan mandiri. Literasi harus menjadi kekuatan intelektual, dan kewirausahaan menjadi jalan pengabdian serta pemberdayaan,” ujarnya.
Sementara itu, narasumber utama Dian Arif Noor Pratama dalam pemaparannya, menekankan bahwa dunia kerja saat ini membutuhkan lulusan yang adaptif dan berpikir kritis, bukan sekadar pemegang ijazah. Ia menyebut, perguruan tinggi Islam memiliki mandat strategis untuk mencetak lulusan berkarakter ulul albab, yakni insan yang utuh secara intelektual, spiritual, dan sosial.
“Ilmu tidak boleh berhenti sebagai syarat wisuda. Ilmu harus menjadi modal hidup,” kata Dian Arif Noor Pratama.
Ia memaparkan data Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 yang menunjukkan bahwa kemampuan literasi membaca Indonesia masih berada pada peringkat sekitar 69–72 dari lebih 80 negara yang disurvei. Skor literasi membaca Indonesia tercatat sekitar 359 poin, yang menggambarkan keterbatasan dalam memahami teks kompleks dan melakukan interpretasi data. Meski mengalami sedikit perbaikan dibandingkan 2018, capaian tersebut masih berada di bawah rata-rata internasional.
Data tersebut, menurut Dian, sejalan dengan hasil Survei Tingkat Kegemaran Membaca Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2024. Dalam survei tersebut, Daerah Istimewa Yogyakarta menempati kategori tinggi dengan skor 79,99, sementara rata-rata nasional berada di kisaran 72. Adapun Kalimantan Timur mencatat skor 69,53, masuk kategori sedang.
“Artinya, masih ada ruang besar untuk bertumbuh. Literasi bukan hanya persoalan individu, tetapi juga ekosistem akademik dan budaya belajar,” ujarnya.
Ia menjelaskan, rendahnya literasi akademik kerap terlihat dari kebiasaan mahasiswa yang cenderung menghafal, tetapi kesulitan menganalisis. Banyak gagasan kreatif, lanjutnya, gagal berkembang karena tidak berbasis data dan argumentasi yang kuat. Padahal, dunia kerja dan dunia usaha menuntut kemampuan memecahkan masalah, beradaptasi, serta berinovasi.
“Literasi yang rendah akan membuat seseorang sulit beradaptasi dan tertinggal dalam kompetisi,” kata Dian Arif Noor Pratama yang juga merupakan Konsultan Lembaga Pendidikan Yogyakarta.
Dalam konteks kewirausahaan, Dian Arif Noor Pratama menekankan bahwa literasi akademik justru dapat menjadi fondasi lahirnya ide-ide bisnis yang berkelanjutan. Ia mencontohkan sejumlah peluang usaha berbasis literasi, seperti edukasi digital dan pelatihan daring, jasa penulisan ilmiah dan konten edukatif, hingga pendampingan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk dalam bidang keuangan syariah.
Menurutnya, integrasi literasi dan kewirausahaan akan melahirkan mahasiswa ulul albab yang mandiri. Literasi membentuk ketajaman intelektual dan moral, sementara kewirausahaan menjadi kendaraan kebermanfaatan ilmu di tengah masyarakat.
“Ilmu harus hadir di tengah masyarakat. Ketika literasi dan kewirausahaan bertemu, di situlah nilai kebermanfaatan lahir,” ujarnya.
Dian Arif Noor Pratama yang juga merupakan praktisi kewirausahaan mengajak mahasiswa untuk memulai perubahan dari diri sendiri melalui pendekatan self-improvement. Upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas diri, katanya, menjadi kunci agar mahasiswa mampu tumbuh sebagai pribadi yang kreatif dan mandiri.
Ia memperkenalkan konsep The Power of Tiny Gains dan Identity-Based Habits sebagaimana dikemukakan James Clear. Menurut konsep ini, identitas yang diyakini seseorang akan membentuk kebiasaan yang dilakukan, dan kebiasaan yang dilakukan secara konsisten pada akhirnya membentuk identitas diri.
“Perubahan besar selalu berawal dari langkah kecil yang dilakukan terus-menerus,” kata Dian Arif Noor Pratama.
Seminar ini ditutup dengan sesi diskusi dan tanya jawab yang berlangsung antusias. Peserta tidak hanya berasal dari mahasiswa UINSI Samarinda, tetapi juga dihadiri mahasiswa dari Politeknik Negeri Samarinda (Polnes), STAI Samarinda, dan sejumlah perguruan tinggi lainnya. Beragam pertanyaan mengemuka, mulai dari strategi membangun kebiasaan literasi, pengembangan ide bisnis berbasis keilmuan, hingga tantangan menyeimbangkan akademik dan kewirausahaan.
Melalui forum ini, Ketua panitia Nur Habibah didampingi Endah Khairunnisa berharap seminar tidak berhenti sebagai kegiatan seremonial, tetapi menjadi titik awal lahirnya budaya literasi akademik dan kewirausahaan yang berkelanjutan di kalangan mahasiswa. Di tengah tantangan zaman, mahasiswa diharapkan mampu berdiri sebagai insan pembelajar sepanjang hayat yang kreatif, mandiri, dan berdaya guna bagi masyarakat.#










