Skip to content

Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Kalimantan Timur Dengan Ajaran Islam Yang Aktif-Progresif Melalui Kampus Peradaban IAIN Samarinda

Keresahan atas kesejahteraan sosial di masyarakat selalu menjadi problem bagi bangsa Indonesia. Salah satunya yaitu masalah pengentasan kemiskinan. Banyak masyarakat yang masih terbelakang di wilayah ekonominya. Masyarakat tersebut banyak berada pada wilayah pedesaan (yang terisolir) dan pada masyarakat pinggiran kota. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah melalui program-program pemberdayaan masyarakat maupun program daerah tertinggal selalu bergulir. Namun sampai saat ini belum juga terastasi.

Ditambah lagi dengan adanya pandemi yang sangat berdampak pada seluruh sektor dan seluruh lapisan kelas sosial masyarakat. Yang mana keresahan perihal kesejahteraan semakin menjadi berat dan masyarakat semakin terpuruk terutama pada wilayah ekonominya. Hal tersebut dikarenakan adanya pembatasan aktivitas sosial berskala besar dan dilakukan dengan waktu yang panjang, mulai dari bulan Februari sampai sekarang.

Dari hasil data Badan Pusat Statistik (BPS) yang di upload dalam websitenya pada bulan Juli 2020, persentase penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 9,78 persen, meningkat 0,56 persen poin terhadap September 2019 dan meningkat 0,37 persen poin terhadap Maret 2019. Sedangkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang, meningkat 1,63 juta orang terhadap September 2019 dan meningkat 1,28 juta orang terhadap Maret 2019. Dan persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada September 2019 sebesar 6,56 persen, naik menjadi 7,38 persen pada Maret 2020. Sementara persentase penduduk miskin di daerah perdesaan pada September 2019 sebesar 12,60 persen, naik menjadi 12,82 persen pada Maret 2020.

Dibanding pada September 2019, jumlah penduduk miskin Maret 2020 di daerah perkotaan naik sebanyak 1,3 juta orang (dari 9,86 juta orang pada September 2019 menjadi 11,16 juta orang pada Maret 2020). Sementara itu, daerah perdesaan naik sebanyak 333,9 ribu orang (dari 14,93 juta orang pada September 2019 menjadi 15,26 juta orang pada Maret 2020). Hal ini menyebabkan Garis Kemiskinan pada Maret 2020 tercatat sebesar Rp454.652,-/ kapita/bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp335.793,- (73,86 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp118.859,- (26,14 persen). Untuk itu Pada Maret 2020, secara rata-rata rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,66 orang anggota rumah tangga. Dengan demikian, besarnya Garis Kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.118.678,-/rumah tangga miskin/bulan.

Sedangkan Untuk wilayah Kalimantan Timur menurut BPS, Jumlah penduduk miskin di Kalimantan Timur pada Maret 2020 sebanyak 230,26 ribu (6,10 persen). Pada September 2019 sebanyak 220,91 ribu (5,91 persen), berarti jumlah penduduk miskin secara absolut bertambah 9,35 ribu orang (secara persentase naik 0,19 persen poin). Hal tersebut dikarenakan selama September 2019 – Maret 2020, Garis Kemiskinan naik sebesar 3,70 persen, yaitu dari Rp. 638.690 per kapita per bulan pada September 2019 menjadi Rp. 662.302 per kapita per bulan pada Maret 2020. Dan pada periode September 2019 – Maret 2020, Indeks Kedalaman Kemiskinan naik dari 0,991 pada keadaan September 2019 menjadi 1,015 pada keadaan Maret 2020. Sedangkan Indeks Keparahan Kemiskinan turun dari 0,242 menjadi 0,240 pada periode yang sama. Serta pada Maret 2020, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk yang diukur oleh Gini Ratio tercatat sebesar 0,328. Angka ini turun sebesar 0,007 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2019. Dan juga di sisi lain pada Maret 2020, distribusi pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah adalah sebesar 20,73 persen. Artinya pengeluaran penduduk masih berada pada kategori tingkat ketimpangan rendah.

Hal tersebut masih menjadi PR besar bagi pemerintah Kalimantan Timur untuk meminimalkan angka kemiskinan. Sedangkan sumber alam yang dimiliki seharusnya mampu mengentaskan kemiskinan jika kita lihat dari segi eksploitasinya yang secara besar-besaran dalam dekade terakhir ini. Nyatanya pembukaan perusahaan yang sangat besar-besaran tersebut belum mampu untuk mengentaskan masyarakat dari problem ekonominya.

Lantas apa yang menyebabkan garis kemiskinan ini belum usai teratasi secara keseluruhan oleh Pemerintah, dan apakah hanya pemerintah saja yang harus bertanggung jawab untuk pengentasan kemiskinan tersebut. Atau dari pihak perusahaan yang berada pada wilayah Kalimantan Timur yang harus ikut andil besar dalam menuntaskan kemiskinan ini. Bahkan bagaimana peranan agama Islam sendiri dalam mewujudkan kesejahteraan sosial.

Kita harus sadari bahwa pengentasan kemiskinan ini sudah dijalankan oleh pemerintah, namun hal tersebut belum sepenuhnya teratasi. Bahkan bukan hanya menjadi program pemerintah Indonesia saja perihal pengentasan kemiskinan ini. PBB dalam komitmennya yang disepakati oleh 189 negara termasuk Indonesia, yaitu melalui program MDG’s (Millennium Development Goals) di New York pada Bulan September Tahun 2000. Namun pencapaian akhir MDG’s ini di Indonesia Tahun 2015 belum mampu tercapai dalam bidang kemiskinan, hanya sekitar 11,13% per September 2015. Bahkan banyak program yang dijalankan pemerintah untuk mengentas kemiskinan tersebut antara lain Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Masyarakat (BLM), Beras Miskin, Bantuan Siswa Miskin (BSM), PNPM Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR) dll.

Kelanjutan dari pembangunan MDG’s adalah SDG’s (Sustainable Development Goals) yang lebih kompleks dan dianggap lebih baik dari MDG’s. SDG’s ini pun di sepakati oleh seluruh negara anggota PBB pada petemuan 2 Agustus 2015 dan dilanjutkan dengan pertemuan pertama agenda ini pada 25-27 September 2015 di New York untuk melanjutkan program pembangunan berkelanjutan. Target SDGs tersebut meliputi 17 Tujuan (tanpa kemiskinan; tanpa kelaparan; kehidupan sehat dan sejahtera; pendidikan berkualitas; kesetaraan gender; air bersih dan sanitasi layak; energi bersih dan terjangkau, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi; industri, inovasi dan infrastruktur; berkurangnya kesenjangan; kota dan pemukiman yang berkelanjutan; konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab; penanganan perubahan iklim; ekosistem laut; ekosistem darat; perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh; kemitraan untuk mencapai tujuan) dan 169 pencapaian. Maka daripada itu, penyusunan RPJMN maupun RPJMD harus sejalan dengan 17 tujuan dari program SDG’s yang telah disepakati

Dari program-program tersebut, Pemerintah sendiri seharusnya memformulasikan secara obyektif dan cermat untuk membuat sebuah sistem pada masyarakat. Karena setiap wilayah, problem yang dihadapi berbeda-beda. Formula yang di gunakan setiap daerah seharusnya berbeda pula dengan daerah lainya. Dan banyak faktor lainya yang menjadi penghambat program tersebut. Semisal faktor psikologis pada masyarakat seharusnya perlu di perhatikan. Sebab selama ini pengentasan kemiskinan selalu identik dengan menjadikan masyarakat sebagai obyek, bukan menjadikan masyarakat sebagai subyek. Hal ini perlu digaris bawahi, karena ketika masyarakat hanya dijadikan obyek, yang ada masyarakat seperti halnya cuma harus mengikuti program yang dilakukan oleh pemerintah. Dan itu kurang efektif sehingga tidak membuahkan hasil yang begitu memuaskan.

Begitu pula penggalian potensi masyarakat di suatu daerah seharusnya dilakukan dan menjadikan masyarakat tersebut sebagai instrumen sendiri dalam pengentasan kemiskinan. Hal tersebut perlu juga adanya pendekatan yang intens untuk pendampingan dan mengetahui psikologis masyarakat. Dari situ kita akan mengetahui keinginan dan problem yang terjadi di tengah masyarakat.

Ketika potensi dan keinginan pada masyarakat setiap daerah sudah diketahui, pola pemberdayaan dan sistem akan bisa di formulasikan secara baik. Memang sampai saat ini hal tersebut dijalankan, namun hanya beberapa wilayah sebagai sampel untuk memformulasikan pada keseluruhan wilayah di Indonesia. Tentunya akan bertolak belakang dengan wilayah lainnya, yang mengalami masalah berbeda.

Selain pemerintah, para korporasi atau perusahaan swasta yang hadir dari beberapa sektor seperti Sawit, Batu Bara, Minyak dll. mereka pula harus menyiapkan program bagi masyarakat sekitar sebagai pendukung untuk mampu mendorong kesejahteraan melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). Namun kenyataan yang didapat sampai saat ini program CSR dari banyaknya perusahaan yang ada di wilayah Kalimantan Timur belum mampu untuk menuntaskan permasalahan kesejahteraan masyarakat. Sebab, banyak perusahaan yang kurang efektif maupun aktif dalam melakukan program tersebut.

Peran semua unsur masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dari wilayah ekonominya. Semangat sosial untuk membangun atau men-support masyarakat lainya berpotensi untuk mendongkrak dan meningkatkan nilai kesadaran. Berarti tugas semua masyarakat saling gotong royong untuk membangun dan menciptakan mental masyarakat yg lainya tumbuh. Bilamana semua pihak aktif dalam hal ini, tentunya kemiskinan akan lebih cepat teratasi.

Selain dari pada tanggung jawab semua kalangan, agama Islam juga menjadi pendorong yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Baik dalam segi ekonomi, pendidikan maupun kesehatan. Karena Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang mana dalam ajaran syariatnya untuk kemaslahatan umat. Kemaslahatan disini bisa diartikan pula untuk kesejahteraan umat. Sebagai mana konsep tersebut dikemukakan oleh imam asy-syatibi dalam maqasid asy-syari’ah-nya. 

Ada 5 hal yang terdapat dalam maqasid asy-syari’ah atau tujuan ajaran syariat Islam yang juga disebut dengan khulliyat al-khamsah yaitu hifdzu din (menjaga agama), hifdzu nafs (menjaga jiwa), hifdzu aql (menjaga akal), hifdzu mal (menjaga harta) dan hifdzu nasab (untuk melindungi keturunan). Dari tujuan tersebut bahwa bisa disimpulkan ajaran syari’at Islam itu bukan berupa ajaran yang bersifat vertikal atau bicara soal hubungan manusia dengan tuhannya. Akan tetapi hubungan antara manusia dengan manusia lainnya (hubungan secara horizontal) yang berguna untuk saling menguatkan dalam segi kehidupan. Bahkan segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia seperti menjaga kelestarian alam dan lingkungan (hubungan dengan alam).

Sebagaimana pemikir islam pada abad modern yang gencar mengkampanyekan bahwa kesejahteraan sosial merupakan misi dari syari’at Islam. Tokoh-tokoh yang andil besar dalam memikirkan kesejahteraan sosial dari kalangan umat muslim antara lain yaitu Asghar Ali Engineer, Farid Esack, Hasan Hanafi, Ali Syari’ati dll. Bahkan dari Indonesia pula yang masif dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dari golongan Ulama Pesantren dan seorang warga nahdliyin yaitu KH Sahal Mahfud yang menuangkan gagasan “Fiqih Sosial”.

Sekilas kita akan melihat bagaimana peranan agama dalam mewujudkan kesejahteraan sosial melalui gagasan yang dibawa oleh KH Sahal Mahfudz untuk menjawab tantangan pengentasan kemiskinan untuk bisa di realisasikan ke wilayah Kalimantan Timur. Tentunya kita juga sadari bahwa faktor geografi dan demografi yang menjadi lahirnya gagasan Fiqih Sosial ini berbeda pula dengan wilayah dan masyarakat Kalimantan Timur. Namun disisi lain kita akan mengambil spirit dan peranan syari’at Islam tersebut untuk kita akumulasikan pada konteks wilayah Kalimantan Timur.

Perlu kita ketahui gagasan Fiqih Sosial KH Sahal Mahfud ini merupakan akumulasi dari segenap keilmuan, pengalaman, analisis dan kemauan untuk melakukan proses transformasi sosial melalui elemen fiqih. Kyai Sahal menjadi salah satu tokoh agama dalam masyarakat Kajen (khususnya) haruslah menjadi agent of social change (agen perubahan sosial). Sebab seorang tokoh masyarakat menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat itu sendiri dan menjadi instrumen yang sangat erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat terutama masyarakat yang masih berada pada lingkungan pedesaan. Sedangkan masyarakat kajen sendiri pada masa itu mengalami banyak problem dalam kesejahteraan sehingga Kyai Sahal harus mampu membawa perubahan. Akhirnya perumusan gagasan dari ajaran fiqih yang lebih aktif-progresif dilakukan dengan dakwah bil hal oleh Kyai Sahal untuk mewujudkan kesejahteraan sosial pada masyarakat disekitarnya.

Desa Kajen, Pati, Jawa Tengah, tempat tinggal Kyai Sahal yang masih tertinggal secara ekonomi dan sosial pada tahun 1980-an, menurut Kyai Sahal perlu menjadi fokus perhatian fiqih yang menawarkan solusi kongkret dalam memperbaiki kesejahteraan warganya. Karena kesadaran kritis sebagai paradigma untuk mendorong tumbuhnya kesadaran melakukan usaha-usaha mengemansipasi diri dari ketidakberdayaan. Serta dengan upaya peningkatan kemampuan dan potensi masyarakat desa, sehingga masyarakat mampu bersaing dengan masyarakat lainya untuk meningkatkan taraf hidup serta bisa mengembangkan kemampuan mereka secara baik di bidang ekonomi, pendidikan, sosial, agama, dan budaya.

Menurut Kyai Sahal dalam konteks sosial yang ada, ajaran syari’at yang tertuang dalam fiqih sering terlihat tidak searah dengan bentuk kehidupan yang praktis sehari-hari. Hal ini disebabkan oleh pandangan fiqih yang terlalu formalistik dan fiqih selama ini menjadi sebuah ajaran yang bersifat dogmatif-normatif. Sehingga kyai Sahal sampai pada perumusan awal Fiqih Sosial, bahwa fiqih harus dijadikan sebuah ajaran yang bersifat aktif-progresif dan berpijak pada pandangan mengatasi masalah sosial yang kompleks seperti kemiskinan, pendidikan, lingkunan dll. dan semua itu merupakan misi dari syari’at Islam. Begitu juga banyak dalam tulisannya bahwa fiqih merupakan hasil perolehan (muktasab) pergulatan pemikiran yang bisa menjadi efektif pada zamannya, namun tidak lagi relevan dengan perkembangan kekinian.

Hasil dari pengambilan dalil, kyai Sahal berpijak pada salah satu hadist yang menjelaskan bahwa, “kesusahan mendekatkan kepada kekufuran”. Jika kita lihat dalam hadist tersebut yang menjadi salah satu pondasi dari gagasan Kyai Sahal, bahwa kesusahan seseorang disebabkan karena kurang sejahtera dalam kehidupannya. Yang akan berdampak pada tipis dan menghilangnya nilai spiritual dalam diri seseorang. Sehingga menyebabkan kurang bersyukurnya atas anugerah hidup dan juga dapat menggelapkan hati dan pikiran untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak sejalan dengan ajaran syari’at Islam maupun pelanggaran secara hukum untuk mendapatkan penghidupan yang dianggap sejahtera melalui jalan pintas.

Jika kita bawa gagasan tersebut pada wilayah Kalimantan Timur, maka yang bisa diambil ialah spirit dakwah bil hal dalam pengentasan kemiskinan ini. Dan mewujudkan kesejahteraan bisa teratasi dengan melakukan penyadaran-penyadaran kepada masyarakat mengenai bagaimana ajaran syari’at islam sebagai pendorong dari sisi internal umat. Tentunya hal ini harus adanya komitmen yang kuat oleh para tokoh agama Islam pada setiap lingkungannya masing-masing. Sebab, para tokoh agama Islam sendiri merupakan agent of social change bagi umat Islam. Begitu juga ajaran perihal konsep sabar, ikhlas dan tawakkal harus dikembalikan lagi sebagai ruh atau spirit dari sebuah amal perbuatan, bukan dijadikan sebagai ajaran untuk berdiam diri dan pasrah atas suatu keadaan. 

Tentunya juga untuk mencetak generasi yang mampu untuk mewujudkan perubahan sosial dan mengembalikan spirit Islam di tengah masyarakat, peran Perguruan Tinggi yang ada di wilayah Kalimantan Timur seharusnya ikut andil besar untuk mencetak para agent of social change. Jika kita amati, IAIN Samarinda ialah satu-satunya kampus yang mengusung misi sebagai “Kampus Peradaban Islam di Kalimantan Timur” (Sebagaimana saat ini juga sedang dalam proses bertranformasi untuk menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Hal ini menurut hemat penulis, akan sangat berdampak besar bagi wilayah Kalimantan Timur untuk mampu mendongkrak dan menyebarkan misi syari’at Islam guna mewujudkan kesejahteraan dan distribusi para agen-agen perubahan ke seluruh wilayah yang ada di Kalimantan Timur.

Maka daripada pembahasan diatas, kita bisa menyimpulkan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial pada masyarakat Kalimantan Timur khususnya pada sektor ekonomi, harus ada kolaborasi dan komitmen yang kuat dari segenap stakeholder. Stakeholder disini harus menjalankan fungsinya masing-masing dan ikut mendorong dari setiap lini, yaitu pemerintah berperan sebagai pembuat sistem, tokoh agama berperan sebagai pendongkrak spirit dan memberikan ajaran yang lebih aktif-progresif dari sisi agama, para korporasi sebagai pendukung program pengembangan, serta masyarakat itu sendiri sebagai subyek untuk mengemansipasi dirinya dari ketidakberdayaan atau bisa dikatakan masyarakat-lah yang menjadi subyek dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Selain hal tersebut, Perguruan Tinggi Islam yang ada di wilayah Kalimantan Timur seperti IAIN Samarinda yang sebentar lagi akan bertranformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) tentunya peranannya sangat diharapkan untuk membawa peradaban Islam dan harus menjadi pusat pengkajian kesejahteraan sosial dari wilayah ekonomi khususnya.

#Oleh Ahmad Muhyin Gozali merupakan salah satu Mahasiswa FUAD IAIN Samarinda

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»