SAMARINDA, UINSI NEWS,- Fakultas Syariah (FASYA) UINSI Samarinda selenggarakan Kuliah Umum Moderasi Beragama dengan tema “Untuk Sivitas Akademika yang Berilmu Amaliah dan Beramal Ilmiah Berbasis Pluralitas Keindonesiaan” yang menghadirkan Dr. K.H. Reza Ahmad Zahid, Lc., M.A., Rektor IAI Tribakti Lirboyo Kediri sebagai narasumber di Aula Lt. 3 Kampus 2 Rektorat UINSI Samarinda, Senin (28/3).
Pada kesempatan tersebut, Ketua Panitia, Abdul Syakur, Lc., M.A. yang juga merupakan Dosen FASYA UINSI Samarinda berikan penguatan moderasi beragama sebagai ice breaking sebelum dimulainya acara utama.
Menurutnya, istilah beragama tidak sama dengan agama.
“Agama adalah sesuatu yang sudah ditentukan dan sudah ada aturannya, tidak bisa diotak-atik. Hanya yang perlu kita pahami adalah bagaimana cara menjalankan agama tersebut. Hal yang perlu di moderasi bukanlah agamanya, tapi tata cara beragamanya,” jelasnya.
Kuliah umum yang dilakukan secara blended (online dan offline) itu dihadiri oleh mahasiswa FASYA UINSI Samarinda dan beberapa mahasiswa dari Perguruan Tinggi Islam lain.
Usai menyambut kedatangan Rektor IAI Tribakti Lirboyo yang akrab disapa Gus Reza itu, Wakil Rektor III UINSI Samarinda, Dr. H. M. Abzar Duraesa, M.Ag. mewakili Rektor UINSI sampaikan sambutan sekaligus membuka secara resmi Kuliah Umum Moderasi Beragama tersebut.
“Moderasi beragama memang sudah sering kita bahas. Namun, bukan berarti moderasi beragama adalah tema yang usang untuk diperbincangkan.”
“Moderasi ini penting sekali untuk selalu didiskusikan karena kita tidak hanya cukup sekedar memahami, tapi kita dituntut menjadi orang yang terdpan dalam mensosialisasikan, apalagi kita selaku sivitas akademika di PTKI dituntut dan punya tanggungjawab untuk melakukan kampanye tentang moderasi beragama ke masyarakat,” jelasnya.
“Saya mewakili pimpinan dan Rektor berterima kasih atas kehadiran Gus Reza dan insyaallah bisa menjadi berkah untuk kita semua,” tutupnya.
Guz Reza yang juga dikenal sebagai Katib PBNU ini memulai Kuliah Umum nya dengan menyampaikan makna perbedaan.
“Allah sengaja menjadikan kita berbeda-beda, sengaja menjadikan kita berbeda agama, suku, dan bangsa. Akan tetapi perbedaan yang ada dalam diri kita bukanlah sifat yang negatif atau menunjukan hal yang kurang dari sifat agungnya Allah Swt.”
“Jikalau Allah mau menjadikan kita 1 umat, tentunya Allah mampu. Akan tetapi Allah sengaja mendesign ini semuanya sehingga kita berbeda-beda, misal ada laki-laki dan ada perempuan. Tujuannya apa? Agar kita bisa saling mengenal antara satu dengan yang lainnya. Ini mungkin sesuatu yang selalu kita dengar dan pelajari di kelas. Tapi ada satu hal yang harus diingat bahwa kita semua keturunan Nabi Adam,” jelasnya.
“Ulama sepakat kalau Nabi Adam dibuat Allah dari tanah liat, akan tetapi ulama berbeda pendapat dari tanah liat sebelah mana beliau dibuat,” tambahnya.
“Kepala Nabi Adam dibuat dari tanah liat di Ka’bah, sehingga ketika sujud kita menuju Ka’bah. Dadanya terbuat dari tanah barat dan timur, maksudnya kita harus bisa menerima perbedaan berlapang dada seluas wilayah barat dan timur. Perutnya terbuat dari tanah yang diambil dari India, maksudnya segala bentuk masakan lengkap ada di India sehingga kalau masalah perut semuanya bisa masuk, ketika hewan lain hanya herbivora atau karnivora, tapi manusia bisa memakan segala.”
“Tanah liat memiliki karakter yang berbeda-beda, ada tanah liat yang subur, ada yang perlu pakai pupuk, disiram air, ada juga yang tandus dan tidak bisa tumbuh. Manusia juga seperti itu,” tambahnya.
Menurut Ketua Komisi Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat MUI Jawa Timur ini, filosofi tersebut menggambarkan manusia sebagai ciptaan Allah Swt. yang terbuat dari tanah liat dengan karakter yang berbeda-beda dan perbedaan adalah suatu keniscayaan.
“Lalu bagaimana kita menghadapi perbedaan tersebut?” tanyanya.
“Saling mengenal. Perbedaan itu indah, seperti pelangi. Semakin banyak warnanya semakin indah penampakannya. Yang menjadi tugas kita adalah bagaimana kita melakukan manajemen perbedaan tersebut. Kalau kita mengelolanya dengan baik tentu indah, tapi jika kita tidak bisa me-manage maka akan chaos.”
Lebih lanjut, Gus Reza sampaikan Allah Swt. menjadikan manusia sebagai ummatan wasathan agar manusia bisa menjadi saksi bagaimana muslim menjadi orang yang bijak, dapat mengetahui apa yang ada di kanan dan kirinya.
“Untuk menjadi umat yang moderat butuh perjuangan, bukan suatu hal yang instan. Kalau ingin menjadi orang yang sebelah kanan atau kiri, mudah. Tapi, untuk menjadi orang yang ada ditengah harus mengetahui karakter orang yang ada dikanan dan kirinya.”
Tak hanya itu, Gus Reza juga menjelaskan bahwa akal menjadi pengikat manusia agar tidak melakukan hal-hal yang melenceng dari agama. Orang yang mampu mengikat akalnya agar tidak keluar dari jalur syariat.
“Liberal dan radikal hanya berbekal sedikit pengetahuan kemudian ditambah dengan pikiran-pikiran dan logikanyanya sendiri tanpa adanya akal untuk mengikat perilakunya sehingga cenderung berperilaku sesuai dengan apa yang dia mau dan anggap benar saja,” jelasnya.
“Semakin luas ilmu seseorang, pasti amalnya akan lebih luas. Kalau dia memiliki pengamalan dan pengalaman yang luas pasti dadanya akan luas. Sehingga, orang yang paling banyak ingkar pada perbedaan tanda bahwa ilmu orang tersebut masih sedikit. Sehingga selain ilmu kita juga perlu akal untuk menyeimbangkannya.”
Pada kesempatan tersebut, Gus Reza juga menceritakan kisah yang membuktikan Islam sebagai agama yang moderat.
“Di zaman era agama Yahudi, ada satu ajaran mereka yang namanya najis tidak bisa disucikan bahkan oleh air, sehingga apapun yang terkena najis tersebut langsung dibuang. Bayangkan jika kita memiliki syariat seperti ini. Bahkan ketika ada anggota tubuh kita terkena najis, maka anggota tubuh tersebut harus dipotong. Hal ini diriwayatkan terjadi pada jaman Nabi Musa,” ujarnya.
“Hal tersebut berbeda dengan ajaran agama Islam. Kita diberi kemudahan dan keleluasaan oleh Allah Swt., najis apa saja bisa disucikan. Jadi masyaallah agama kita adalah agama yang tengah-tengah. Nah sudahnya agama kita tengah-tengah, tapi kalian tidak tengah-tengah, tidak bisa menerima perbedaan dan tidak bisa menyikapi perkara dengan adil, artinya kalian mengingkari kodrat agama kita sendiri, agama Islam.”
Kuliah umum yang berlangsung hingga siang hari itu dilanjutkan dengan sesi diskusi dan tanya jawab yang disambut antusias oleh para peserta Kuliah Umum Moderasi beragama.
(Humas, Ns, Rh)