BALI, UINSI NEWS,- Dr. Muhammad Yusuf Qardlawi, M.A., dosen FUAD UINSI Samarinda tampil sebagai salah satu pembicara pada sesi panel The 21th AICIS Tahun 2022 “Future Religion in G20: Digital Transformation, Knowledge Management and Social Resilience” di Hotel Four Points by Sheraton Bali, Kamis (3/11).
Pada sesi panel yang dilangsungkan di Room 5 Padang-Padang tersebut, Dosen yang baru saja menyelesaikan Pelatihan Dasar (LATSAR) CPNS Angkatan XLI Golongan III Tahun 2022 ini membahas tentang Produksi Otoritas dan Framing Tafsir “Khalifah Ajaran Islam” di Media Sosial.
Media sosial menjadi bagian dari transformasi digital yang sudah tak asing lagi. Seiring perkembangan jaman, media sosial tak hanya menjadi wadah pertukaran informasi, namun ikut berkembang menjadi sarana penyebarluasan suatu paham hingga ideologi tertentu.
Melihat Fenomena ini, Yusuf Qardlawi lakukan penelitian terkait penyebaran paham khalifah di media sosial yang sempat menjadi perbincangan hangat di masyarakat Indonesia.
“Artikel ini menjelaskan tentang adanya pembentukan otoritas dan framing terhadap penafsiran Al-Qur’an tentang ‘khilafah ajaran Islam’ melalui media sosial. Otoritas Penafsiran di media sosial tidak hanya terkait tentang tafsir itu sendiri, tetapi juga ada upaya framing untuk penguatan dan penyebarluasan tafsir ideologi tersebut,” ucapnya.
Dalam upaya memahami produksi otoritas dan framing tafsir “khilafah ajaran Islam” melalui media sosial, Yusuf mengkaji bagaimana otoritas tafsir dan bagaimana framing tafsir “khilafah ajaran Islam” tersebut dapat dibentuk dengan mengamati akun intagram milik Felix Siauw.
Menurut Yusuf, Felix Siauw yang memiliki jumlah pengikut lebih dari 5 juta pada akun instagramnya tersebut adalah seorang aktivitas eks-HTI yang secara aktif menyebarluaskan doktrin khilafah ajaran Islam.
“Berdasarkan hasil penelitian yang saya lakukan tersebut menunjukkan bahwa otoritas tafsir dibentuk melalui popularitas dan banyaknya massa yang mengikuti suatu media sosial, istilahnya subsribers atau followers serta tim admin media sosial mereka,” ucap Yusuf.
Lebih lanjut, Yusus sebut untuk terbentuk suatu otoritas, framing tafsir “khilafah ajaran Islam” ini dilakukan dengan cara konsisten dan terus menerus melakukan penyebarluasan paham tersebut di intagram atau sosial media lain.
Selain itu, tersedianya kelompok pendukung yang ikut menyebarluaskan paham-paham khilafah dan selalu melawan kelompok yang berbeda pendapat menyebabkan terbentuknya otoritas ini.
“Akhirnya, penelitian ini berkesimpulan bahwa otoritas tafsir di media sosial tidak selalu dibangun berbasis keilmuan Islam yang mendalam, tapi dapat dipengaruhi oleh banyaknya massa yang mengikuti figur atau akun media sosial figur yang menyebarkan pemahaman tertentu,” jelasnya. (humas, ns)