Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) merupakan salah satu bentuk syiar Islam yang telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Indonesia. Tujuan utamanya adalah membumikan Al-Qur’an, menumbuhkan kecintaan umat terhadap kitab suci, serta mencetak generasi Qur’ani yang mampu membaca, memahami, dan mengamalkan isi Al-Qur’an dalam kehidupan.
Sejak digelar pertama kali secara nasional pada tahun 1968 di Makassar, MTQ berkembang pesat dan menjadi agenda rutin dua tahunan. Bukan hanya ajang lomba, MTQ telah menjadi instrumen pendidikan, dakwah, sekaligus penguatan identitas keislaman bangsa. Dalam setiap penyelenggaraannya, MTQ tidak pernah lepas dari sambutan meriah masyarakat dan dukungan penuh pemerintah.
Namun seiring waktu, di balik nilai-nilai luhur yang diusungnya, MTQ juga mulai membawa warna lain: menjadi ajang gengsi dan prestise bagi daerah yang menjadi tuan rumah.
Ketika Menjadi Tuan Rumah adalah Kebanggaan
Tidak sedikit pemerintah daerah yang berlomba-lomba menjadi tuan rumah MTQ tingkat provinsi maupun nasional. Keinginan itu bukan tanpa alasan. Menjadi tuan rumah MTQ dianggap sebagai pengakuan atas kapasitas keagamaan dan kemajuan daerah, sekaligus peluang emas untuk tampil di mata publik nasional.
Inilah yang kemudian membuat MTQ tidak hanya menjadi ajang kegiatan keagamaan, tapi juga panggung gengsi dan prestise. Gengsi ini terlihat dari:
- Pembangunan arena MTQ yang megah, bahkan kadang melebihi anggaran pembangunan lainnya.
- Acara pembukaan berskala besar, lengkap dengan parade budaya dan pertunjukan teknologi.
- Publikasi besar-besaran, termasuk baliho, media sosial, hingga live streaming profesional.
- Harapan tinggi untuk meraih juara umum, seolah menjadi simbol kesuksesan daerah.
MTQ pun menjadi “ajang unjuk diri” antar daerah, bukan hanya dalam hal kemampuan qari-qariah, tapi juga dari sisi infrastruktur, pelayanan, dan kemasan acara.
Antara Gengsi dan Syiar
Fenomena ini tentu membawa dua sisi. Di satu sisi, gengsi tuan rumah bisa menjadi energi positif. Semangat ingin tampil maksimal mendorong banyak daerah untuk:
- Meningkatkan kualitas pendidikan Al-Qur’an di TPQ, madrasah, dan pesantren.
- Menyediakan pelatihan intensif bagi calon peserta MTQ.
- Membangun fasilitas publik yang lebih layak dan ramah pengunjung.
- Mempromosikan wisata religius dan kearifan lokal berbasis budaya Islam.
Dengan kata lain, gengsi bisa menjadi daya dorong untuk membangun infrastruktur keagamaan dan membangkitkan semangat Qur’ani masyarakat luas.
Namun di sisi lain, jika gengsi menjadi tujuan utama, maka nilai-nilai suci MTQ bisa terdistorsi. Beberapa fenomena yang perlu diwaspadai antara lain:
- MTQ berubah menjadi ajang seremonial mewah, tapi minim pembinaan lanjutan.
- Pencarian “pemain bayaran” dari luar daerah untuk mengejar juara, bukan kader lokal binaan.
- Dana besar yang digelontorkan lebih banyak untuk fisik acara, bukan pada pendidikan Al-Qur’an.
- MTQ menjadi ajang pencitraan politik jangka pendek.
Padahal, MTQ seharusnya menjadi bentuk pengabdian kepada Al-Qur’an dan upaya membentuk generasi berakhlak mulia.
Menjaga Niat, Mengokohkan Makna
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hijr ayat 9:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya.”
Ayat ini menjadi pengingat bahwa keberlangsungan nilai Al-Qur’an bukan hanya dengan lomba, tapi juga dengan niat yang tulus dan komitmen jangka panjang untuk menjaganya dalam kehidupan umat. Dalam semangat itu, menjadi tuan rumah MTQ haruslah dimaknai sebagai amanah, bukan sekadar prestise. Momen ini harus dimanfaatkan untuk menanamkan nilai Al-Qur’an dalam kebijakan, pendidikan, dan perilaku masyarakat. Gengsi boleh ada, tapi harus disalurkan ke arah gengsi yang membangun umat.
Penutup
MTQ adalah panggung kemuliaan, bukan semata panggung pertunjukan. Maka, ketika daerah mendapat kesempatan menjadi tuan rumah, jadikan itu media untuk memuliakan wahyu, bukan ajang adu pamor semata. Prestise yang sejati dalam MTQ bukan terletak pada megahnya arena atau semaraknya acara pembukaan, tetapi pada seberapa dalam Al-Qur’an mengakar dalam jiwa masyarakat setelah MTQ usai.
Akhirnya, kita semua berharap semoga MTQ bukan hanya menjadi ajang seremonial tahunan, tetapi benar-benar menjadi wasilah turunnya berkah, rahmat, dan hidayah Allah SWT ke setiap sudut negeri ini. Untuk para panitia yang telah bekerja keras, semoga lelahmu menjadi lillah. Untuk dewan hakim yang memikul amanah mulia, semoga Allah menjaga kejujuranmu dan melapangkan hatimu agar menilai dengan adil, objektif, dan penuh integritas.
Kita memohon, semoga Allah SWT menanamkan keikhlasan dalam setiap niat, membersihkan dari kepentingan duniawi, dan mengaruniakan hidayah dan keberanian untuk berlaku benar, meski tak selalu populer. Karena sejatinya, keberhasilan MTQ bukan hanya diukur dari megahnya panggung atau banyaknya pujian, tetapi dari seberapa dalam Al-Qur’an hidup dalam diri kita setelah semua tirai acara ditutup.
Ya Allah, jadikan kami penjaga Kalam-Mu yang jujur, rendah hati, dan istiqamah. Aamiin.
Wallahu A’lam
Penulis: Dr. Wahdatun Nisa, M.A. (Wakil Dekan III FEBI UINSI Samarinda)