PBAK DALAM BINGKAI KURIKULUM CINTA : MENYAMBUT MAHASISWA DENGAN EMPATI

Setiap tahun, ribuan mahasiswa baru menjejakkan kaki mereka di gerbang kampus termasuk Universitas Islam Negeri (UIN) dengan semangat dan harapan besar. Di tengah transisi dari lingkungan sekolah menengah ke dunia akademik yang lebih kompleks, mereka menjalani sebuah tahapan penting: Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK).

Bagi mahasiswa baru, memasuki dunia kampus adalah pengalaman yang kompleks, penuh semangat, harapan, tetapi juga kecemasan. Tak sedikit dari mereka datang dengan perasaan asing, bingung, dan bahkan takut menghadapi lingkungan yang benar-benar baru. Di sinilah peran PBAK (Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan) menjadi sangat krusial, PBAK bukan sekadar kegiatan awal yang wajib diikuti, tetapi titik awal pembentukan relasi antara mahasiswa, kampus, dan nilai-nilai pendidikan yang ingin dibangun.

PBAK bukan sekadar seremoni formal atau ajang pengenalan kampus biasa. Di UIN, PBAK semestinya menjadi cerminan dari nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin, penuh kasih, inklusif, dan memanusiakan. Inilah yang menjadi relevan ketika kita membingkai PBAK dalam konsep besar yang kini tengah diperjuangkan oleh Kementerian Agama, yaitu Kurikulum Cinta.

Menggeser Paradigma PBAK
Dalam sejarahnya, PBAK (sebelumnya dikenal dengan istilah ospek) sering kali diasosiasikan dengan kegiatan yang kaku, hierarkis, bahkan menekan. Mahasiswa baru diwajibkan memakai atribut aneh, mengikuti perintah tanpa diskusi, dan mengalami tekanan fisik atau mental yang disebut-sebut sebagai “bentuk pembentukan mental.” Padahal, pendekatan semacam ini sudah banyak ditinggalkan dalam dunia pendidikan modern karena terbukti kontraproduktif dan justru bisa merusak mental mahasiswa baru.

PBAK bukan hanya soal mengenalkan gedung kampus, struktur organisasi, atau sistem akademik. Lebih dari itu, PBAK adalah pintu pertama bagi mahasiswa baru dalam mengenal budaya berpikir kritis, etika akademik, dan nilai-nilai kehidupan kampus. Ia adalah momentum awal pembentukan identitas sebagai insan akademik yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga berjiwa sosial dan penuh kepedulian.

UIN, sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam, memikul tanggung jawab lebih dari sekadar mencetak lulusan sarjana. UIN harus melahirkan intelektual Muslim yang cakap secara keilmuan, matang secara spiritual, dan halus secara sosial. Namun kenyataannya, kegiatan PBAK di beberapa kampus Islam masih menyisakan pola pikir lama: hierarki kaku, tekanan verbal, bahkan praktik yang tidak mencerminkan nilai-nilai keislaman seperti kasih sayang, kelembutan, dan keadilan. Ini tentu ironis jika dibandingkan dengan visi Islam sebagai agama yang membawa cinta, bukan ketakutan.

Selama bertahun-tahun, PBAK sering kali kehilangan makna. Alih-alih menjadi ruang penyambutan yang membangun, ia berubah menjadi ajang “inisiasi” yang menekan. PBAK yang keras tidak akan membentuk karakter kuat. Ia hanya menciptakan relasi kuasa yang kaku antara senior dan junior, antara pengelola dan peserta. Padahal, yang dibutuhkan mahasiswa baru justru adalah ruang aman untuk tumbuh, belajar, dan dikenali sebagai individu utuh.
Kampus yang visioner sudah mulai sadar orientasi yang keras tidak pernah membentuk karakter yang kuat. Justru, pendekatan yang ramah, suportif, dan penuh empati jauh lebih efektif dalam mempersiapkan mahasiswa menghadapi dunia perkuliahan yang kompleks. Jika kita ingin menciptakan kampus sebagai ruang belajar yang sehat, maka orientasi mahasiswa harus menjadi ruang perkenalan yang hangat, mendukung, dan membangun rasa aman. Bukan hanya mengenalkan aturan akademik, tapi juga menanamkan nilai-nilai seperti kepedulian, inklusivitas, dan solidaritas sosial.

PBAK sebagai Wujud Nyata Kurikulum Cinta Kementerian Agama RI mencetuskan Kurikulum Cinta, sebuah paradigma baru dalam pendidikan Islam yang mengedepankan cinta, empati, dan kasih sayang sebagai roh dari proses pendidikan.

Menteri Agama, Nasaruddin Umar, menyatakan bahwa pendidikan keagamaan tidak boleh lagi memproduksi kebencian, intoleransi, atau eksklusivisme. Sebaliknya, pendidikan harus menjadi ruang pembentukan manusia yang menyebarkan kasih, merawat bumi, dan mencintai sesama. Lebih jauh lagi, pendekatan kurikulum cinta juga menciptakan mahasiswa yang bukan hanya cerdas, tapi juga peduli dan sadar sosial. Mereka tidak hanya mengejar IPK, tetapi juga belajar menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.

Kurikulum ini resmi diluncurkan pada Juli 2025 oleh Kemenag dalam bentuk dokumen Kurikulum Berbasis Cinta (KBC), dan akan mulai diintegrasikan dalam sistem pendidikan Islam di madrasah dan perguruan tinggi keagamaan. Sebagai bagian dari keluarga besar pendidikan Islam, UIN adalah lokus yang ideal untuk menjadi pelopor penerapan kurikulum cinta dalam skala perguruan tinggi.
Kurikulum Cinta bertumpu pada empat pilar utama yang selaras dengan nilai-nilai Islam dan sangat mungkin diterapkan dalam kegiatan PBAK di UIN:
Cinta kepada Allah (Hablumminallah), PBAK harus memperkenalkan relasi spiritual yang sehat: bukan sekadar ritualitas, tetapi pengalaman iman yang menyentuh hati. Misalnya melalui sesi spiritual reflektif, dzikir bersama, atau dialog iman yang inklusif.

Cinta kepada sesama (Hablumminannas), Islam memuliakan sesama manusia, tanpa memandang latar belakang. PBAK bisa menjadi ruang untuk membangun solidaritas, mengenal keberagaman, dan menanamkan nilai anti diskriminasi.
Cinta kepada Lingkungan (Hablum Bil Bi’ah), Islam adalah agama yang sangat ekologis. PBAK bisa diisi dengan aksi simbolik seperti green campus tour, penanaman pohon, atau edukasi pengelolaan sampah.

Cinta kepada Tanah Air (Hubbul Wathan)Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, UIN perlu menanamkan rasa nasionalisme religius. PBAK dapat mengangkat tema keislaman yang membumi: Islam Nusantara, Islam yang damai dan mencintai negeri.
Lalu, bagaimana mewujudkan PBAK di UIN yang selaras dengan semangat Kurikulum Cinta? Berikut beberapa pendekatan praktis:
Sambutan yang Memanusiakan, Mulailah PBAK dengan kalimat yang menyambut, bukan mengancam. Perkenalkan kampus sebagai rumah kedua, tempat mereka bisa tumbuh tanpa takut dihakimi.
Panitia sebagai Kakak, Bukan Komandan,Berikan ruang untuk tanya jawab, refleksi kelompok, atau forum mahasiswa baru menyuarakan harapan dan ketakutannya. Inilah bentuk dari empati struktural dalam kegiatan akademik.

Penekanan pada Nilai-nilai Islam Humanis, Isi PBAK dengan sesi tentang Islam sebagai agama rahmah, bukan marah. Ajak mereka memahami Islam yang penuh kasih, terbuka, dan berpihak pada yang lemah.

Penutup: Dari Kampus, Cinta Dimulai
Kampus UIN harus menjadi rumah bagi semua. Bukan ruang yang menakutkan, tetapi taman yang menyuburkan, dan itu dimulai dari hari pertama mereka datang dari bagaimana mereka disambut, dikenalkan, dan diperlakukan.
Maka, mari kita jadikan PBAK di UIN sebagai wajah awal dari pendidikan Islam yang berakar pada cinta, berpuncak pada kebaikan, dan berujung pada kemanusiaan. PBAK bukan sekadar agenda tahunan. Ia adalah pesan pertama kampus kepada mahasiswa: bahwa di sini, kamu berharga. Bahwa di sini, kamu dicintai. Bahwa di sini, kamu akan tumbuh bukan dalam ketakutan, tetapi dalam kasih.
Sudah saatnya kampus-kampus di Indonesia meninggalkan cara-cara usang dan memulai PBAK yang berpijak pada empati, bukan ego. Menyambut mahasiswa baru bukan hanya tugas panitia, tapi tanggung jawab moral seluruh sivitas akademika. Dan seperti cinta yang sejati, sambutan yang tulus akan membekas dan membentuk karakter. Karena dalam dunia pendidikan, cinta bukan sekadar perasaan, cinta adalah kurikulum.

Selamat datang MAHASISWA BARU di KAMPUS UINSI SAMARINDA tahun 2025

Penulis : Wahdatun Nisa

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»