Reinterpretasi Sumpah Pemuda di Tengah Fenomena Deepfake

Oleh : Wahdatun Nisa

Kami, putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.

Kami, putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Kami, putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Tiga kalimat itu bergema pada 28 Oktober 1928, yang kemudian diabadikan menjadi Hari Sumpah Pemuda. Sebuah momentum historis menandai lahirnya kesadaran nasional dan semangat persatuan dimana para pemuda berikrar melampaui sekat suku, bahasa, dan daerah. Sumpah Pemuda memiliki makna yang sangat mendalam bagi bangsa Indonesia karena lahir dari semangat kebangsaan para pemuda Indonesia yang tumbuh di bawah tekanan penjajahan Belanda pada awal abad ke-20. Peristiwa ini menandai titik balik perjuangan bangsa dari yang bersifat lokal menuju perjuangan nasional, sekaligus menumbuhkan rasa cinta tanah air, semangat kebangsaan, dan komitmen untuk menjaga keutuhan Indonesia.

Hampir satu abad setelah lahirnya Sumpah Pemuda, generasi muda Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan baru yang tidak lagi berwujud penjajahan fisik, melainkan bentuk penjajahan digital yang lebih halus dan kompleks. Ruang maya kini menjadi arena kontestasi informasi, di mana arus data bergerak dengan kecepatan yang melampaui kemampuan nalar manusia untuk memilah kebenaran.

Ditengah dinamika tersebut, muncul fenomena deepfaketeknologi berbasis kecerdasan buatan yang mampu memanipulasi wajah, suara, serta gerak tubuh manusia secara realistis. Teknologi ini membawa konsekuensi ganda: di satu sisi memberikan peluang inovasi dan hiburan, namun di sisi lain menimbulkan ancaman serius terhadap keaslian informasi dan integritas sosial.

Diera ketika kebenaran dapat direkayasa dengan kecerdasan buatan, semangat Sumpah Pemuda perlu direinterpretasikan kembali sebagai ajakan untuk bersatu dalam kesadaran digital dan etika bermedia. Persatuan pada masa kini tidak lagi terbatas pada kesamaan bangsa dan bahasa, tetapi juga pada komitmen kolektif untuk menegakkan kebenaran, melawan penyebaran hoaks, dan menjaga integritas informasi. Reinterpretasi ini menuntut generasi muda untuk menjadi digital citizens yang kritis, beretika, serta mampu memanfaatkan teknologi secara bertanggung jawab.

Dengan demikian, Sumpah Pemuda di era deepfake dapat dipahami sebagai simbol perjuangan baru: bukan lagi melawan penjajahan fisik, melainkan melawan manipulasi digital yang mengancam keaslian informasi dan keutuhan moral bangsa. Semangat persatuan, kejujuran, dan tanggung jawab yang diwariskan para pemuda 1928 harus menjadi fondasi bagi generasi masa kini dalam menjaga martabat Indonesia di tengah arus globalisasi teknologi dan informasi.

Deepfake dan Krisis Kebenaran

Fenomena deepfake merujuk pada penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI), khususnya deep learning, untuk memanipulasi atau menciptakan konten visual dan audio yang tampak sangat realistis, tetapi sebenarnya palsu. Istilah deepfake” berasal dari gabungan kata deep learning dan fake. Teknologi ini bekerja dengan memanfaatkan jaringan saraf tiruan (neural networks) untuk mempelajari pola wajah, suara, dan gerak seseorang, lalu menggabungkannya dengan data lain agar tercipta hasil yang menyerupai kenyataan. Akibatnya, seseorang dapat tampak berkata atau melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi.

Deepfake mulai muncul sekitar tahun 2017, ketika komunitas daring mulai menggunakan algoritma deep learning untuk mengedit video secara ekstrem realistis. Awalnya, teknologi ini dikembangkan untuk tujuan penelitian dan hiburan, seperti dalam industri film atau permainan video. Namun, seiring kemajuan teknologi dan kemudahan akses ke perangkat lunak pembuat deepfake, penggunaannya meluas ke bidang yang lebih sensitif, termasuk politik, pornografi non-konsensual, dan disinformasi.

Perkembangan ini menimbulkan kekhawatiran global karena sulitnya membedakan antara konten asli dan hasil manipulasi digital, Bayangkan jika ada video yang memperlihatkan seorang tokoh publik mengatakan hal yang tidak pernah ia ucapkan. Dalam hitungan menit, video itu bisa menyebar, menimbulkan kebencian, bahkan kerusuhan sosial. Hal ini mengancam kepercayaan publik terhadap media dan kebenaran informasi.

Dalam konteks masyarakat Indonesia yang masih menghadapi rendahnya literasi digital, deepfake berpotensi memperburuk polarisasi informasi dan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap media serta institusi sosial. Dengan kata lain, teknologi ini tidak hanya mengancam privasi individu, tetapi juga menggerogoti fondasi epistemik dari kehidupan bersama: kepercayaan terhadap kebenaran.

Etika Digital : Makna Baru Sumpah Pemuda

Reinterpretasi terhadap nilai-nilai Sumpah Pemuda adalah persatuan dan tanggung jawab yang tidak lagi terbatas pada dimensi politik atau geografis, melainkan juga mencakup etika digital. Hal ini penting untuk menjaga kepercayaan, keamanan, dan keharmonisan di dunia maya. Dengan maraknya konten palsu dan manipulatif, etika digital menuntun kita menggunakan teknologi secara bertanggung jawab, menghormati privasi, dan memverifikasi informasi sebelum membagikannya, sehingga tercipta ekosistem digital yang sehat dan bermanfaat.

Literasi digital menjadi sangat penting dan menjadi bentuk baru dari nasionalisme—sebuah upaya sadar untuk menjaga ruang publik digital dari manipulasi, kebencian, dan kepalsuan. Dalam kerangka etika komunikasi, partisipasi di ruang publik menuntut rasionalitas dan kejujuran. Maka, Sumpah Pemuda Digital dapat dimaknai sebagai komitmen terhadap kejujuran epistemik: berpikir kritis, memverifikasi sumber, dan tidak menyebarkan informasi palsu. Tindakan-tindakan ini merupakan manifestasi kontemporer dari semangat persatuan yang digagas pada 1928.

Penutup

Fenomena deepfake memperlihatkan bagaimana kemajuan teknologi dapat bertransformasi menjadi ancaman terhadap kepercayaan dan persatuan sosial. Dalam konteks ini, Sumpah Pemuda perlu dimaknai ulang sebagai inspirasi etis bagi generasi digital.

Semangat persatuan yang dulu diwujudkan melalui perjuangan politik kini harus diwujudkan melalui perjuangan epistemikmelawan kepalsuan dan menjaga integritas informasi. Dengan demikian, nasionalisme tidak lagi hanya berarti cinta tanah air, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga kebenaran yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa.

Sebagaimana generasi 1928 bersumpah untuk menyatukan bangsa melalui identitas, generasi 2025 perlu bersumpah untuk menyatukan bangsa melalui kejujuran digital. Di tengah arus disinformasi, menjaga kebenaran adalah bentuk baru dari perjuangan kemerdekaan. Karena pada akhirnya, persatuan bukan hanya tentang berada di tempat yang sama, tetapi juga tentang mempercayai hal yang sama yaitu “kebenaran.”

Selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda 2025

“ Pemuda Bergerak Indonesia Bersatu “

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»