SAMARINDA,IAINNEWS,- Islam dan gender merupakan kata yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Keduanya merupakan suatu topik yang tidak ada habis-habisnya untuk dibahas hingga zaman modern. Islam sebagai agama Rahmatan lil’alamiin sesungguhnya diyakini membawa ajaran yang meninggikan derajat dan martabat perempuan. Sayangnya ajaran ini seringkali ditafsirkan secara dangkal, sehingga tidak jarang ditemukan penafsiran keagamaan yang justru merendahkan perempuan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Dr. Zuhairi Misrawi, MA pada acara Kuliah Umum dan Bedah Buku Gerakan Feminisme di Pesantren karya Dr. Saipul Hamdi, MA yang diselengarakan oleh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Samarinda pada, Kamis (02/02) bertempat di Aula Rektorat lantai 3 kampus II jalan HAMM Rifadin Loajanan Ilir Kota Samarinda.
Hadir pada acara tersebut sebagai narasumber adalah Dr. Zuhairi Misrawi yang juga Tokoh Intelektual Muda NU, Dr. Hj. Noor Thaibah, MA, Tokoh Perempuan Kaltim yang juga sebagai Wakil Rektor III IAIN Samarinda dan pengarang buku Pesantren dan Gerakan Feminisme Di Indonesia, Dr. Saipul Hamdi, MA.
Menurut Gus Mis (sapaan akrab Zuhairi Misrawi) laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama dihadapan ALLAH swt. Terkait hubungannya laki-laki dan perempuan, secara substansial dalam ajaran Islam, mengingatkan bahwa Allah swt sesungguhnya tidak membedakan mereka. Di mata Tuhan, laki-laki dan perempuan setara. Namun dalam tataran praksis banyak ditemukan penafsir keagamaan yang menampilkan sebaliknya, ini karena dipengaruhi budaya patriarkis yang telah mengakar di masyarakat selama berabad-abad.
Sekarang pertanyaanya adalah sudahkah praktik gender yang bias sirna dari bumi Indonesia? Agaknya, meski gerakan feminisme menuju dunia egaliter bagi sesama manusia, laki-laki dan perempuan sudah diperjuangkan sejak lama, pola hubungan gender yang bias masih kerap ditemukan di Indonesia. Selain mendapat legitimasi dari adat dan budaya yang sudah mengakar dan bahkan sekarang sudah menjadi panutan.
Barang siapa yang melakukan hal yang tidak sesuai adat maka akan mendapat hukuman sosial yaitu ejekan, celaan masyarakat bahkan bisa dikucilkan dari desanya meskipun hal tersebut merupakan pembelaan terhadap sesuatu yang bias gender. Bias gender juga terkesan mendapatkan legitimasi (sekali lagi) dari Islam (pesantren). Tak ayal, paradigma gender yang bias pun masih berurat-berakar dalam masyarakat kita.
Yang menjadi harapan sekrang adalah semoga pondok pesantren kedepannya bisa mengubah peraturan-peraturan yang cenderung bias dan mengganti peraturan yang cenderung berperspektif gender. Tapi keliatanya hal tersebut akan sulit diwujudkan melihat begitu kuatnya pengaruh pesantren di masyarakat. Tetapi ada beberapa pesantren yang berbasis gender dan juga ada banyak tokoh-tokoh besar yang lahir dari pesantren.#Muad-Humas.