SAMARINDA, UINSI NEWS,- UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda resmi jalin kerja sama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kalimantan Timur yang dirangkai bersama Kuliah Umum dengan tema “Sultan Aji Muhammad Idris: Pembawa Perubahan dalam Peradaban Islam di Kalimantan Timur” di Aula Lt. 3 Rektorat Kampus 2 UINSI Samarinda, Rabu (18/05).
Dr. Restu Gunawan, M.Hum., Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, beserta Dr. Muslimim AR. Effendy, M.Hum, Kepala BPCB Kalimantan Timur, hadir untuk memberikan materi tentang Sultan Aji Muhammad Idris yang telah resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden RI pada November 2021 lalu.
Pada Kuliah Umum yang dihadiri oleh sivitas akademika dan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Kalimantan Timur ini, Wakil Rektor I UINSI, Dr. Muhammad Nasir, M.Ag., mewakili Rektor UINSI memberikan selayang pandang tentang alasan penggunaan nama Sultan Aji Muhammad Idris sebagai nama Universitas Islam Negeri yang sebelumnya dikenal sebagai IAIN Samarinda ini.
“UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda yang disebut sebagai UINSI adalah bentuk alih status atau transformasi dari IAIN Samarinda yang sah dan secara resmi tertuang pada Perpres Nomor 43 Tahun 2021. Perubahan nama ini membuat universitas kita memiliki cakupan ilmu yang lebih luas dan kita diberi peluang untuk membuka prodi umum,” ucapnya.
“Sekilas mengapa nama Sultan Aji Muhammad Idris menjadi nama Universitas, ini sejarahnya panjang dengan diskusi panjang serta ada saran dari beberapa Pemerintah Provinsi dan orang-orang yang dianggap mengetahui sejarah Kalimantan Timur. Selain itu, yang jelas beliau adalah Raja Kutai Kartanegara yang pertama kali menggunakan nama Islam dan gelar Sultan, sehingga nama Sultan Aji Muhammad Idris ini dipilih untuk menjadi nama kampus kita,” jelasnya.
Sultan Aji Muhammad Idris adalah Sultan ke-14 dari Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura yang memerintah mulai tahun 1735 hingga tahun 1778. Sultan Aji Muhammad Idris adalah sultan pertama yang menggunakan nama Islam semenjak masuknya agama Islam di Kesultanan Kutai Kartanegara pada abad ke-17, termasuk penggunaan gelar Sultan, bukan gelar Raja.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Dr. Nasir, Dr. Muslimin juga pertegas nilai perjuangan Sultan Aji Muhammad Idris dan pengaruhnya dalam perkembangan peradaban Islam di Kalimantan Timur.
“Sultan Aji Muhammad Idris memiliki nilai juang yang luar biasa. Semua embel-embel kerajaan dan kebangsawanannya beliau lepas untuk membaur bersama rakyat berjuang melawan penjajah,” ucapnya.
“Penggunaan gelar dari Raja menjadi Sultan juga merupakan wujud simbolis perkembangan Islam di Kerajaan Kutai Kartanegara dan Kalimantan Timur,” tambahnya.
Lebih lanjut, Dr. Restu membahas tentang sejarah Islam di Kerajaan Kutai hingga sejarah perjuangan Sultan Aji Muhammad Idris dalam melawan penjajah, termasuk ketika ia meninggalkan Kutai Kartanegara bersama 200 pasukannya untuk membantu perjuangan La Madukelleng melawan penjajahan kolonial Belanda di Wajo.
Pada kesempatan tersebut, Dr. Restu juga sampaikan tugas ilmuan dan mahasiswa muslim dalam mengkaji sejarah peradaban Islam, mengingat Indonesia adalah negara dengan penganut Islam terbanyak di dunia.
“Universitas Islam memiliki peran penting dalam peradaban Islam. Mudah-mudahan munculnya UIN seperti UINSI ini dapat menguatkan Islam dan mencetak intelektual Islam,” ucapnya.
“Wujudkan intelektual Islam yang menjadi intelektual burung elang. Apa maksudnya? Jadilah intelektual yang melihat secara keseluruhan dari atas seperti elang, jangan seperti burung pipit yang cenderung bergerombol atau burung gagak yang cenderung banyak bicara. Jangan sampai kita sebagai muslim tidak punya identitas diri dan hanya mengikuti pendapat yang ramai orang yakni padahal belum tentu benar,” jelasnya.
Diakhir Kuliah Umum hari itu, Dr. Nasir juga ikut menambahkan tentang pentingnya kurikulum muatan lokal seperti bahasa daerah, sejarah lokal, sejarah nasional, hingga sejarah dunia, apalagi yang berhubungan tentang sejarah Islam untuk memperkuat pemahaman tentang peradaban Islam. Menurutnya, sejarah peradaban Islam khususnya di Samarinda dan Kalimantan Timur belum terlalu banyak, sehingga perlu lebih dikaji dan diteliti.
(Humas, ns)