Peringatan Hari Kebangkitan Nasional setiap tanggal 20 Mei merupakan momentum historis yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Ia menandai lahirnya kesadaran kolektif tentang pentingnya persatuan, pendidikan, dan semangat kemajuan. Namun, lebih dari sekadar mengenang masa lalu, Hari Kebangkitan Nasional juga menuntut kita untuk merenung: apakah semangat kebangkitan itu masih hidup dalam diri kita, khususnya di tengah arus deras kehidupan digital saat ini?
Di era ketika gawai menjadi perpanjangan tangan manusia dan media sosial menjadi ruang utama interaksi sosial, kita dihadapkan pada sebuah fenomena baru yang diam-diam melemahkan daya pikir masyarakat, terutama generasi muda: brain rot.
Brain Rot: Gejala Penurunan Kecakapan Berpikir
Istilah brain rot secara harfiah berarti “pembusukan otak.” Dalam konteks modern, istilah ini digunakan secara populer untuk menggambarkan kondisi di mana seseorang mengalami penurunan kemampuan berpikir kritis, fokus, dan kreativitas akibat konsumsi berlebihan terhadap konten digital yang dangkal dan repetitif—seperti video pendek hiburan yang viral, hingga konten sensasional yang hanya memicu emosi sesaat.
Fenomena brain rot sering kali tidak disadari karena hadir dalam bentuk kebiasaan kecil yang dilakukan berulang kali, seperti scrolling media sosial berjam-jam tanpa tujuan yang jelas. Otak manusia, yang seharusnya terus diasah dengan berpikir mendalam, menganalisis, dan berkarya, kini justru terjebak dalam rutinitas konsumsi instan. Dalam jangka panjang, ini menciptakan generasi yang rentan apatis, mudah terprovokasi, dan kehilangan arah intelektual.
Jika tidak disadari, generasi muda bisa terjebak dalam pusaran konten tanpa makna, hanya mengejar sensasi dan hiburan tanpa menyisakan waktu untuk belajar, membaca, atau berdiskusi. Daya tahan intelektual pun melemah. Apa-apa harus cepat, instan, dan mudah. Hal-hal yang membutuhkan waktu dan kesabaran, seperti membaca buku atau menulis esai, menjadi beban yang tak lagi diminati.
Fenomena ini bukan hanya soal gaya hidup digital, melainkan persoalan masa depan bangsa. Ketika generasi mudanya kehilangan semangat belajar dan berpikir, maka semangat kebangkitan yang diwariskan para pendiri bangsa berada dalam bahaya.
Ancaman Nyata bagi Kebangkitan Bangsa
Jika pada awal abad ke-20, kebangkitan bangsa Indonesia dimulai dari gerakan intelektual—Budi Utomo, Sarekat Islam, hingga pergerakan pemuda yang sadar akan pentingnya pendidikan dan persatuan—maka tantangan kita hari ini bukan lagi penjajahan fisik, melainkan penjajahan mental. Brain rot adalah bentuk kolonialisme baru yang menyusup lewat layar ponsel dan algoritma.
Dalam konteks Hari Kebangkitan Nasional, brain rot adalah antitesis dari semangat kebangkitan itu sendiri. Bagaimana mungkin kita bicara soal pembangunan, inovasi, dan kemajuan bangsa, jika nalar publik justru melemah, diskusi publik dipenuhi ujaran kebencian, dan budaya berpikir mendalam digantikan oleh budaya viral?
Melawan Brain Rot dengan Kebangkitan Nalar
Momentum Hari Kebangkitan Nasional harus dijadikan titik balik untuk menyuarakan kebangkitan nalar—sebuah gerakan sadar untuk menghidupkan kembali semangat belajar, membaca, berpikir kritis, dan berdiskusi sehat di tengah era digital yang serba instan. Berikut adalah langkah-langkah strategis untuk membangkitkan kembali nalar dan melawan kemalasan berpikir:
- Membangun Literasi
Literasi digital bukan hanya soal bisa menggunakan internet, tetapi mampu menilai informasi secara kritis, memilah konten yang mendidik, serta mengenali pola manipulatif dalam algoritma media sosial. Sekolah dan perguruan tinggi harus menjadi pusat pendidikan literasi digital yang membebaskan pikiran, bukan membiuskannya. - Mendorong Produksi Konten Bermakna
Para kreator konten memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk kultur digital. Sudah saatnya media sosial dipenuhi dengan konten edukatif, inspiratif, dan membangun, bukan sekadar hiburan kosong. Pemerintah dan komunitas juga perlu memberi dukungan konkret terhadap kreator yang menyebarkan ilmu dan nilai-nilai kebangsaan. - Menghidupkan Ruang Diskusi dan Literasi
Di era digital, penting untuk kembali menghidupkan ruang-ruang diskusi seperti klub buku, forum intelektual, hingga podcast edukatif. Kebangkitan nalar harus ditopang oleh budaya membaca, menulis, dan berdialog yang sehat, baik di dunia maya maupun dunia nyata. - Menjadikan Keluarga sebagai Basis Kebangkitan
Keluarga adalah unit pendidikan pertama. Orang tua harus memberi contoh penggunaan gawai yang sehat, mendorong anak untuk membaca buku, berpikir kritis, dan berdiskusi. Waktu layar (screen time) perlu dibatasi dengan kegiatan lain yang merangsang pemikiran dan empati sosial. - Menata Ulang Kurikulum Pendidikan
Sistem pendidikan nasional harus menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Kurikulum harus memberi ruang bagi pengembangan nalar kritis, pemecahan masalah, dan keterampilan digital berbasis etika. Pendidikan karakter juga harus diarahkan untuk membentuk generasi yang mandiri secara intelektual.
Penutup: Bangkit atau Terlena?
Kebangkitan Nasional adalah tentang semangat untuk menjadi bangsa yang merdeka, tidak hanya secara fisik, tapi juga secara mental dan intelektual. Di tengah badai konten digital yang mengancam ketajaman akal, kita perlu menghidupkan kembali api kebangkitan dalam bentuk baru: kebangkitan nalar.
Brain rot adalah tantangan nyata yang hanya bisa dilawan dengan kesadaran kolektif, kebijakan strategis, dan aksi nyata dari seluruh elemen bangsa. Generasi muda Indonesia tidak boleh dibiarkan menjadi korban pasif dari algoritma digital. Mereka harus menjadi agen perubahan yang mampu menggunakan teknologi untuk mencerdaskan, bukan membodohi.
Mari jadikan Hari Kebangkitan Nasional bukan hanya sebagai seremoni, tapi sebagai panggilan untuk membangkitkan kembali tradisi berpikir, semangat belajar, dan etos intelektual bangsa. Karena hanya bangsa yang berpikir yang bisa benar-benar bangkit.
(Sebuah Refleksi di Hari Kebangkitan Nasional)
Penulis: Dr. Wahdatun Nisa, M.A. (Wadek III FEBI UINSI)