Perjalanan yang Menguras Fisik dan Batin
Ibadah haji tidak pernah mudah. Ia memang dirancang untuk menjadi latihan spiritual sekaligus fisik. Tapi tahun ini, pelaksanaannya benar-benar menguji batas kemampuan jamaah. Beberapa laporan menyebutkan bahwa puluhan jamaah dari berbagai negara meninggal karena kelelahan dan suhu panas ekstrem saat mabit di Muzdalifah dan melontar jumrah di Mina. Banyak dari mereka tersesat, kehilangan akses air, dan tidak mendapatkan penanganan cepat karena sistem informasi dan transportasi yang macet.Ironisnya, krisis juga terjadi pada jamaah furoda—mereka yang berangkat dengan visa non-kuota (mujamalah). Meski telah membayar mahal, ribuan di antaranya gagal berangkat atau ditolak masuk ke Arab Saudi karena visa tidak sah. Janji jalan pintas tanpa antrean justru berujung penipuan dan kerugian besar, baik finansial maupun psikologis.Tak kalah memprihatinkan adalah fenomena haji ilegal—jamaah yang berangkat tanpa jalur resmi, melalui visa ziarah atau umrah yang tidak diperuntukkan untuk haji. Dalam banyak kasus, mereka tidak memiliki akses legal ke layanan-layanan haji seperti maktab, tenda Arafah, atau transportasi. Akibatnya, mereka rawan tersesat, kelaparan, bahkan kehilangan nyawa. Beberapa di antaranya akhirnya ditangkap aparat dan dideportasi, meninggalkan luka mendalam bukan hanya secara fisik, tetapi juga psikis dan spiritual.Kekacauan ini bukan sekadar insiden biasa. Ini adalah alarm keras bagi dunia Islam, bahwa manajemen ibadah suci ini perlu ditata ulang dengan lebih bijaksana dan manusiawi. Haji adalah panggilan Tuhan, tetapi tanggung jawab pengelolaannya tetap di tangan manusia dan ketika manusia lalai, yang terancam bukan hanya kenyamanan, tapi juga nyawa. Kasus ini menggambarkan betapa rentannya ibadah haji jika tidak diiringi dengan pengawasan yang ketat, edukasi yang memadai, dan sistem informasi yang transparan. Haji bukan hanya soal niat dan dana, tetapi juga soal prosedur, etika, dan tanggung jawab kolektif. Ketika masyarakat mulai mencari jalan pintas yang tidak sah, maka ibadah suci berubah menjadi ladang eksploitasi.
Komersialisasi dan Ketimpangan Akses
Bagi sebagian orang, haji adalah kemewahan yang bisa dibeli. Bagi sebagian besar lainnya, ia adalah cita-cita yang diperjuangkan seumur hidup. Sayangnya, sistem kuota dan birokrasi haji saat ini tampak lebih memihak mereka yang mampu membayar lebih mahal. Fasilitas khusus, jalur cepat, dan layanan eksklusif menciptakan kesan seolah haji bukan lagi ladang penyucian jiwa, melainkan ajang eksklusif bagi kalangan tertentu.
Sementara itu, jutaan umat Islam dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, harus menunggu antrean puluhan tahun. Ketika akhirnya mendapat giliran, mereka dihadapkan pada pelayanan yang jauh dari ideal: antre panjang, kelelahan, minim fasilitas, dan ketidakpastian jadwal. Padahal, nilai fundamental haji adalah musawah—kesetaraan. Ihram yang putih dan sederhana menghapus perbedaan status, gelar, dan kelas sosial. Tapi nilai itu tampaknya mulai terkikis oleh praktik yang secara sistemik menciptakan lapisan-lapisan perbedaan.
Teknologi Tak Selalu Solutif
Digitalisasi dalam layanan haji tentu langkah maju. Aplikasi pintar, sistem pendaftaran online, hingga pemantauan kesehatan berbasis teknologi menjadi bagian dari modernisasi pelaksanaan ibadah ini. Namun, tidak semua jamaah siap. Sebagian besar jamaah Indonesia adalah lansia, banyak di antaranya gagap teknologi dan kesulitan memahami prosedur digital. Alih-alih membantu, teknologi justru menambah beban, terutama ketika terjadi kegagalan sistem atau kurangnya pendampingan di lapangan.
Maka perlu diingat, transformasi digital seharusnya bukan sekadar canggih, tetapi berempati. Sistem yang baik bukan hanya efisien, tapi juga inklusif—memudahkan yang lemah, menyapa yang terbatas.
Ujian Spiritualitas di Tengah Kekacauan
Namun di balik semua kekacauan itu, ada makna tersembunyi yang patut direnungi: ibadah haji memang tidak pernah janji akan mulus. Ia adalah miniatur kehidupan—penuh antrean, ketidaksempurnaan, bahkan konflik. Justru di tengah kondisi tidak ideal itu, ketulusan niat dan kesabaran diuji.
Apa yang dilakukan Nabi Ibrahim, Hajar, dan Nabi Ismail bukan ritual yang nyaman. Mereka diuji dengan pengorbanan, kehilangan, bahkan nyawa. Maka setiap jamaah haji masa kini juga seharusnya mampu menjadikan cobaan yang mereka alami sebagai penguat niat dan pelurusan makna.
Namun, sabar bukan berarti pasrah terhadap kesalahan manajerial. Mengkritik untuk perbaikan adalah bagian dari tanggung jawab kolektif. Karena haji bukan hanya urusan individu, tapi urusan umat. Jika ada yang perlu dibenahi, maka umat Islam harus bersuara—dengan santun, tapi tegas.
Harapan dan Jalan ke Depan
Kekacauan haji 2025 adalah pelajaran berharga. Arab Saudi sebagai penyelenggara harus membuka ruang evaluasi dan mendengar suara dunia Islam. Negara-negara pengirim jamaah pun perlu memperbaiki sistem manajemen, edukasi, dan pelatihan bagi calon jamaah, agar mereka tidak hanya siap secara spiritual, tetapi juga tahan menghadapi realitas lapangan.
Yang lebih penting lagi, umat Islam harus mengembalikan haji ke ruh asalnya: ibadah yang menghapus perbedaan, menanamkan kesabaran, dan membangun solidaritas global. Di tengah dunia yang penuh krisis dan konflik, haji bisa menjadi simbol perdamaian dan keadilan, jika dikelola dengan amanah dan niat yang lurus.
Penutup
Haji 2025 adalah pengingat, bahwa spiritualitas tidak pernah berjalan sendiri. Ia selalu berdampingan dengan realitas: politik, teknologi, ekonomi, dan manusia yang penuh keterbatasan. Justru di titik temu itulah, ibadah menjadi sempurna—ketika kita belajar bersabar, berbenah, dan tetap bersujud, meski dunia tak selalu bersahabat.
Penulis: Dr. Hj. Norvadewi, M.Ag. (Dosen FEBI UINSI)