Tahun Baru Islam, yang ditandai dengan datangnya 1 Muharram, bukan sekadar penanggalan baru dalam kalender Hijriyah. Lebih dari itu, ia adalah simbol dari perjalanan spiritual, sosial, dan intelektual umat Islam. Momen ini menjadi titik tolak refleksi diri dan ajakan untuk hijrah berpindah dari kondisi yang kurang baik menuju kondisi yang lebih baik.
Hijrah adalah kata yang sangat akrab dalam khazanah Islam. Ia bukan sekadar perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain, melainkan simbol perubahan mendasar, perubahan dari gelap menuju terang, dari kesesatan menuju petunjuk, dan dari kekacauan hidup menuju keteraturan spiritual. Dalam sejarah Islam, hijrah Rasulullah ﷺ dari Mekkah ke Madinah menjadi titik balik dalam pembangunan peradaban Islam.
Namun, bagaimana kita memaknai hijrah dalam konteks kekinian terutama di era yang oleh banyak ahli disebut sebagai era Post-Truth? Apakah hijrah masih relevan? Bagaimana umat Muslim, bisa melakukan hijrah batiniah dalam zaman yang semakin sulit membedakan antara kebenaran dan kebohongan?
Menggali makna Hijrah
Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan fenomena “hijrah” merebak luas di kalangan anak muda Muslim. Di media sosial, kita melihat deretan publik figur memakai gamis, menghadiri kajian, hingga mengganti gaya hidupnya. Banyak komunitas hijrah bermunculan offline maupun online mengajak kembali kepada Islam yang lebih kaffah. Ini semua tentu menjadi angin segar bagi kehidupan beragama. Tapi di balik semaraknya fenomena hijrah ini, perlu digali lebih dalam essensi hijrah itu sendiri.
Tidak ada yang salah dengan tampilan luar: jubah, cadar, sorban, atau istilah-istilah Islami. Tetapi Islam bukan tentang simbol semata. Hijrah bukan tentang menampilkan “kesalehan” dalam bentuk visual saja, tetapi soal transformasi batin, soal membentuk akhlak, memperdalam ilmu, dan menata kembali orientasi hidup.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah pernah mengatakan:
“Hijrah itu bukan hanya berpindah tempat, tetapi berpindah dari kebodohan menuju ilmu, dari lalai menuju sadar, dari dunia menuju akhirat.”
Sejak peristiwa monumental Rasulullah SAW dan para sahabatnya berpindah dari Mekkah ke Madinah untuk membangun peradaban Islam yang lebih kuat, hijrah telah menjadi simbol perjuangan, transformasi, dan pencarian makna hidup yang lebih luhur. Secara spiritual, hijrah adalah perjalanan menuju Tuhan. Ia tidak hanya berbentuk perubahan gaya hidup, tapi juga perubahan hati. Dari hati yang penuh ego menjadi hati yang lapang. Dari kecenderungan untuk menilai orang lain, menjadi kesadaran untuk mengoreksi diri.
Berhijrah di Era Post-Truth
Istilah “Post-Truth” pertama kali menjadi perbincangan luas pada tahun 2016, ketika Oxford Dictionaries menobatkannya sebagai Word of the Year. Dalam definisi sederhananya, “Post-Truth” menggambarkan situasi di mana fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.
Di era ini, kebenaran bisa dikalahkan oleh narasi, data bisa diabaikan jika tak sesuai dengan selera mayoritas, dan hoaks bisa menyamar sebagai realitas. Media sosial mempercepat penyebaran disinformasi dan algoritma memperkuat bias. Akibatnya, banyak orang hidup dalam “gelembung informasi” yang membuat mereka sulit membedakan mana yang benar dan mana yang hanya sekadar terlihat benar.
Mengapa penting mengaitkan hijrah dengan era Post-Truth? Karena dalam dunia yang penuh manipulasi informasi, berhijrah berarti meninggalkan kebiasaan ikut-ikutan arus tanpa kritis. Ia menuntut kemampuan untuk memilah mana yang benar dan mana yang hanya ilusi kebenaran.
Beberapa tantangan besar hijrah di era ini antara lain :
1. Dominasi Emosi atas Nalar
Banyak orang mudah terpengaruh oleh narasi yang menyentuh emosi tanpa mengecek validitas informasinya. Hijrah di sini berarti melatih diri untuk tidak gampang terbakar emosi, tapi tetap tenang dan objektif dalam menilai sesuatu.
2. Fenomena “Hijrah Instan”
Media sosial mendorong budaya instan, termasuk dalam soal spiritualitas. Hijrah menjadi konten viral: dari testimoni “mantan”, perubahan gaya hidup, hingga selebritas hijrah. Namun, jika tidak dibarengi dengan pemahaman yang mendalam dan pembentukan karakter, hijrah bisa menjadi ritual tanpa ruh.
3. Komodifikasi Agama
Di era digital, agama juga menjadi komoditas. Ada yang menjual produk “syar’i”, ada pula yang menggunakan istilah hijrah untuk membangun merek pribadi atau bisnis. Dalam kondisi ini, hijrah bisa kehilangan makna sakralnya.
4. Polarisasi Sosial dan Budaya
Beberapa kelompok memanfaatkan narasi hijrah untuk memperkuat identitas kelompok dan menghakimi yang berbeda. Hijrah sejati seharusnya memperluas empati dan dialog, bukan mempersempit pergaulan sosial.
Maka di era sekarang, hijrah tidak cukup hanya dimaknai sebagai transformasi spiritual pribadi, tetapi juga sebagai proses berpikir ulang tentang peran kita di tengah masyarakat digital yang penuh narasi palsu dan krisis kebenaran.
Hijrah sejati tidak berhenti pada kesalehan individual, tetapi pada kesalehan sosial. Di tengah maraknya ujaran kebencian, penipuan digital, dan eksploitasi emosional. Orang yang berhijrah harus menjadi penyejuk yang menghadirkan ketenangan, membela yang lemah, dan menyuarakan kebenaran.
Penutup: Menjaga Makna Hijrah
Hijrah bukanlah tujuan akhir. Hijrah adalah proses yang berlangsung seumur hidup. Tidak ada manusia yang sempurna, tapi selama ia terus bergerak menuju kebaikan, maka ia termasuk orang yang berhijrah. Hijrah di era Post-Truth membutuhkan keberanian, kesabaran, dan ketekunan. Ia bukan sekadar tren atau simbol, melainkan panggilan untuk menjadi manusia yang lebih utuh: jujur pada diri sendiri, kritis dalam berpikir, dan lembut dalam bersikap. Ia bukan jalan pintas menuju surga, tapi jalan panjang yang penuh liku, karena kebenaran tidak selalu disukai, dan kejujuran kadang dianggap naif.
Namun, justru di tengah zaman yang membingungkan inilah, makna hijrah menjadi sangat relevan. Ia menjadi cahaya dalam gelap, kompas dalam kebingungan, dan harapan di tengah keputusasaan informasi. Mari kita jaga agar hijrah tetap bermakna bukan hanya sebagai perpindahan fisik atau penampilan luar, tapi sebagai proses mendalam untuk menjadi manusia yang lebih baik, dalam pikir, laku, dan rasa.
Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H
Penulis: Dr. Wahdatun Nisa, M.A. (Wakil Dekan III FEBI UINSI)