EKSPRESI RINDU PADA KEKASIH RUHANI

 

OLEH : WAHDATUN NISA

فَيَا أَيُّهَا الرَّاجُونَ مِنْهُ شَفَاعَةً
فَيَا أَيُّهَا الْمُشْتَاقُونَ إِلَىٰ رُؤْيَا جَمَالِهِ
Wahai para pengharap syafaat darinya (Rasulullah)
Wahai para perindu yang mendambakan untuk melihat keindahan wajahnya.(Rasulullah)
Salah satu bait muqaddimah dalam Maulid Simṭu’d-Durar karya al-Ḥabīb ʻAlī bin Muḥammad al-Ḥabshī, yang kerap dibaca dan dilantunkan pada awal pembacaan dalam majelis sholawat (maulid Habsy) serta pada peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Syair ini bukan hanya indah secara bahasa, tetapi juga mengandung makna spiritual yang dalam. Ungkapan ini tidak hanya puitis, tetapi juga merepresentasikan puncak kerinduan ruhani dan hubungan batin umat dengan junjungan mereka, sebagai kekasih Allah yang kehadirannya menjadi Cahaya dan rahmat bagi semesta.
Hari ini tepat 12 Rabiul Awwal ummat Islam merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW, dengan penuh kerendahan hati, kegembiraan tulus, dan kerinduan ruhani yang tak terbatas. Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ bukan peringatan ulang tahun namun merupakan momen istimewa dalam tradisi keislaman yang merefleksikan kecintaan umat terhadap Rasulullah ﷺ, merenungkan makna kehadiran beliau dalam sejarah kehidupan manusia serta menjadi sarana memperdalam relasi ruhani dengan sosok yang menjadi sumber hidayah dan rahmat bagi seluruh alam. Dalam lintasan sejarah, ekspresi rindu kepada Nabi ﷺ telah menjadi manifestasi spiritualitas yang luhur, terwujud dalam bentuk pujian, doa, syair sholawat dan perjalanan spiritual.

ESSENSI RASULULLAH ADALAH KEKASIH RUHANI
Dalam dimensi ruhani, Rasulullah ﷺ bukan hanya sosok manusia yang lahir di Makkah pada abad ke-6 Masehi. Lebih dari itu, beliau adalah nur (cahaya) pertama yang diciptakan Allah, sebagaimana diyakini dalam tradisi para arifin. Dari nur itulah seluruh ciptaan tercipta. Artinya, sebelum segala yang tampak ada, telah ada cinta Allah kepada Rasul-Nya. Maka, hubungan kita dengan Rasulullah bukan sekadar sebagai nabi terakhir, tetapi sebagai asal mula cinta, yang darinya ruh-ruh manusia belajar mengenal kasih sayang dan jalan menuju Allah.
Keberadaan Rasulullah dalam kehidupan batin umat bukan tergantung pada narasi keilmuan, melainkan berakar pada kehadiran ruhani yang abadi dan tak terputus. Orang yang merindukan beliau bukan berupaya untuk menatap wajah fisiknya, karena kini beliau hanya dapat dihadirkan dalam bentuk ru’ya jamaalih—penampakan keindahan suci yang hanya muncul dalam ketenangan jiwa yang bersih dan tunduk kepada Allah. Di sinilah terletak esensi sejati: Rasulullah adalah jembatan antara hamba dan Tuhan, jalan yang membimbing akal dan hati menuju keridhaan Ilahi. Beliau tidak hanya mendakwahkan ajaran agama, melainkan menanamkan roh keimanan yang hidup, membentuk jiwa yang reflektif, taat, dan penuh cinta.

Dalam setiap jiwa yang bersih, terdapat kerinduan untuk bertemu dengan sosok yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Rasulullah ﷺ, sebagai kekasih ruhani, menjadi objek kerinduan tertinggi, bukan karena rupa beliau semata, tetapi karena keindahan akhlaknya, kelembutan jiwanya, dan keagungan misinya. Kerinduan ini sering kali tidak dapat dijelaskan dengan logika, tetapi dirasakan melalui keinginan kuat untuk mengenalnya lebih dekat, meneladaninya, serta mendapatkan syafaat dan ridha Allah melalui kecintaan kepada beliau.

SHALAWAT ADALAH EKSPRESI RINDU
Dalam tradisi spiritual Islam, shalawat bukan hanya sekadar bacaan ritual, melainkan merupakan ekspresi rindu yang paling dalam kepada Nabi Muhammad ﷺ. Ketika seorang mukmin bershalawat, ia sesungguhnya sedang menyampaikan cinta, kerinduan, dan penghormatan kepada pribadi yang telah menjadi cahaya petunjuk dan penuntun hidup. Tidak heran bila dalam hati para pecinta Rasul, shalawat menjadi pelipur lara, penghibur jiwa, dan jembatan batin untuk merasa dekat dengan sang kekasih ruhani.
صَلَاةً يَتَّصِلُ بِهَا رُوحُ الْمُصَلِّي عَلَيْهِ بِهِ

“Shalawat yang dengannya ruh orang yang bershalawat tersambung dengan beliau.”
Syair ini mengandung makna yang dalam, bahwa shalawat bukan hanya lantunan lisan, tetapi juga sarana penyambung ruh antara yang mencintai (muṣallī) dan yang dicintai (Rasulullah ﷺ). Di saat lidah melafalkan shalawat, ruh seseorang ikut bergerak menuju Rasulullah ﷺ—merasakan kehadiran beliau, mencintai tanpa melihat, dan merindukan meski terpisah zaman.
Shalawat adalah bahasa ruhani. Ia adalah pancaran rasa rindu yang mengalir dari dalam jiwa. Seorang mukmin yang mencintai Rasulullah ﷺ akan merasakan ketenangan saat bershalawat, karena melalui dzikir tersebut, ruhnya merasa terhubung dengan sosok yang dirindukan. Bahkan, banyak ulama menyatakan bahwa semakin sering seseorang bershalawat, semakin dalam pula cintanya kepada Nabi ﷺ tertanam, hingga ia merasa seolah hidup dalam kedekatan yang tak terlihat namun sangat nyata.
Shalawat kepada Nabi ﷺ bukan hanya datang dari manusia, tapi juga dari Allah dan para malaikat. Allah Ta‘ala sendiri berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَـٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ
ۚ
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi…” (QS. Al-Aḥzāb: 56)

Ayat ini menunjukkan bahwa shalawat kepada Nabi ﷺ adalah perintah Allah. Allah bershalawat kepada Nabi dalam bentuk pujian dan pengagungan di sisi-Nya, dan para malaikat serta manusia diperintahkan untuk mengikuti shalawat tersebut sebagai wujud penghormatan dan sambungan ruhani kepada Rasulullah ﷺ. Maka, ketika seorang hamba bershalawat, ia sesungguhnya sedang menyelaraskan dirinya dengan kehendak Allah dan memasuki barisan makhluk-makhluk Allah yang paling mulia.

PENUTUP
Rindu kepada Rasulullah ﷺ bukan sekadar nostalgia sejarah, bukan pula sebatas kagum terhadap sosok besar dalam perjalanan umat manusia. Rindu ini adalah bagian dari iman. Rindu ini adalah rasa haus spiritual yang hanya bisa terobati dengan mendekat kepada ajarannya, meneladani akhlaknya, dan menghidupkan sunnahnya dalam keseharian.
Sebagaimana dikatakan para arif billah, cinta kepada Rasul bukan sekadar kata, tetapi perjalanan ruhani. Ia menyucikan jiwa yang kotor, melembutkan hati yang keras, dan menenangkan jiwa yang gelisah. Dalam rindu itu, seorang hamba menemukan hakikat dirinya bahwa hidup ini adalah perjalanan menuju Allah, dan Rasulullah adalah penunjuk jalannya.
Maka, peringatan maulid bukan sekadar acara, melainkan ritual penyadaran: bahwa Rasulullah masih hidup dalam ruh umatnya. Bukan dalam bentuk jasad, tetapi dalam rasa, dalam teladan, dan dalam kerinduan yang tak pernah padam. Sesungguhnya, esensi keberadaan Rasulullah ﷺ tidak hanya dapat dikenang dalam lembaran sejarah masa lalu, melainkan senantiasa hadir secara ruhani dalam kehidupan umat pada masa kini sebagai sosok yang menghidupkan hati, menumbuhkan cinta yang murni kepada kebenaran, serta membangkitkan kesadaran jiwa-jiwa yang telah lama terbelenggu oleh kelalaian.
Pada akhirnya, ekspresi rindu kepada Rasulullah ﷺ bukanlah semata-mata perasaan emosional yang bersifat sesaat, melainkan sebuah ikatan ruhani yang terus hidup dalam hati orang-orang beriman. Rindu itu diekspresikan melalui shalawat, melalui pengamalan sunnah, melalui akhlak yang mencerminkan ajaran beliau, serta melalui doa dan harapan akan syafaat beliau di akhirat kelak. Rasulullah ﷺ adalah kekasih ruhani yang kehadirannya tidak terbatasi oleh ruang dan waktu; beliau hidup dalam hati umat yang mencintainya, menyebut namanya, dan meneladani jalannya. Semoga setiap kerinduan yang terucap dan setiap shalawat yang kita lantunkan menjadi bukti cinta sejati yang menghubungkan ruh kita kepada beliau, dan menjadi sebab kita dikumpulkan bersamanya di hari yang tiada naungan selain naungan Allah.

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَالْعَمَلَ الَّذِي يُبَلِّغُنِي حُبَّكَ

“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu, dan amal yang dapat mengantarkanku kepada cinta-Mu.”

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»