KESAKTIAN PANCASILA DI TENGAH KORUPSI YANG MENGAKAR : PERGULATAN ANTARA IDEALISME DAN REALITAS

Oleh : Wahdatun Nisa

Pancasila, sebagai dasar dan jiwa bangsa Indonesia, sejak awal dirumuskan untuk menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial menjadi fondasi moral bagi seluruh warga negara, mengarahkan setiap langkah menuju kehidupan yang adil dan bermartabat. Pancasila bukan hanya simbol, melainkan pijakan utama yang mengikat seluruh elemen bangsa dalam semangat persatuan dan kesejahteraan bersama.
Di tengah derasnya gelombang korupsi yang mengakar dan sistemik dalam berbagai lapisan pemerintahan dan masyarakat, muncul pertanyaan besar: sejauh mana kesaktian Pancasila mampu berdiri kokoh melawan realitas pahit ini? Ketika nilai-nilai luhur itu terkikis oleh praktik-praktik korupsi yang merusak kepercayaan publik dan merongrong keadilan sosial, pergulatan antara idealisme Pancasila dan kenyataan pahit di lapangan menjadi ujian besar bagi bangsa ini. Tantangan tersebut menuntut upaya nyata untuk menghidupkan kembali semangat Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Pancasila: Idealisme dalam Bingkai Kebangsaan
Pancasila lahir dari perjuangan panjang para pendiri bangsa yang berusaha merumuskan dasar negara agar mampu mempersatukan keragaman Indonesia, sekaligus menjadi pedoman moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap sila di dalamnya mencerminkan harapan besar terhadap terbentuknya masyarakat yang adil, makmur, dan bermartabat. Sila pertama menegaskan pentingnya ketakwaan dan moralitas dalam menjalankan kekuasaan. Sila kedua dan kelima menuntut hadirnya keadilan sosial dan kemanusiaan yang beradab. Sila ketiga menekankan pentingnya persatuan di tengah keberagaman, sementara sila keempat menjadi landasan demokrasi yang sehat, berdasarkan musyawarah dan kebijaksanaan. Dalam idealismenya, Pancasila bukan hanya norma hukum, tetapi juga pedoman etis dan spiritual bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai ideologi terbuka, Pancasila seharusnya menjadi roh dalam setiap kebijakan publik dan tindakan penyelenggara negara. Ia tidak hanya hidup dalam teks konstitusi atau pidato kenegaraan, tetapi juga harus nyata dalam perilaku pemimpin, aparatur negara, dan masyarakat. Idealisme Pancasila menjanjikan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat, tanpa kecuali. Namun, agar idealisme ini tidak menjadi impian, diperlukan komitmen kolektif untuk menjadikannya sebagai pijakan dalam mengelola negara secara jujur, bersih, dan berintegritas. Tanpa implementasi yang konsisten, Pancasila akan terus menjadi simbol yang diagungkan, tapi dijalankan setengah hati.

Korupsi yang Mengakar : Pengkhianatan terhadap Pancasila
Korupsi bukan hanya tindakan kriminal, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai Pancasila. Ketika seorang pejabat menyalahgunakan wewenang demi kepentingan pribadi, maka nilai keadilan sosial dan kemanusiaan dicampakkan. Ketika uang rakyat dikorupsi, prinsip kerakyatan dikubur dalam-dalam. Dan ketika hukum bisa dibeli, sila Ketuhanan dan moralitas menjadi simbol kosong. Indonesia terus berada dalam bayang-bayang budaya korupsi yang mengakar kuat. Transparansi Internasional dalam laporan tahunannya terus menempatkan Indonesia dalam peringkat memprihatinkan dalam Indeks Persepsi Korupsi. Ini adalah cermin kelam dari kegagalan kolektif dalam mewujudkan Pancasila sebagai nilai hidup nyata, bukan sekadar hafalan dalam upacara.
Realitas di lapangan menunjukkan kondisi yang jauh dari cita-cita ideal yang terkandung dalam Pancasila. Korupsi telah menjelma menjadi suatu fenomena sistemik yang merasuki berbagai lini pemerintahan, mulai dari tingkat lokal hingga pusat. Praktik korupsi tidak lagi sekadar merupakan tindakan menyimpang individu, melainkan telah mengakar dalam struktur birokrasi dan menjadi bagian dari kultur kekuasaan yang menyimpang. Kasus-kasus korupsi yang terus bermunculan di ruang publik menunjukkan bahwa penyalahgunaan wewenang telah berlangsung secara masif dan terorganisir, dengan dampak yang merugikan negara dalam skala besar. Keadaan ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam sekaligus kekecewaan di kalangan masyarakat, yang perlahan-lahan kehilangan kepercayaan terhadap aparatur negara dan institusi pemerintahan. Ketika para pemegang kekuasaan justru mengabaikan nilai-nilai moral dan etika publik, maka eksistensi Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa pun mulai tergerus.
Pergulatan antara Idealisme dan Realitas
Mengapa korupsi begitu sulit diberantas? Jawabannya kompleks: mulai dari lemahnya penegakan hukum, sistem politik transaksional, hingga budaya permisif di tengah masyarakat. Banyak aktor di balik layar yang menyandera sistem, membuat pemberantasan korupsi tak ubahnya seperti menggantang asap. Dalam situasi ini, Pancasila seolah menjadi tameng moral yang terus-menerus diuji relevansinya. Apakah Pancasila benar-benar sakti? Ataukah hanya menjadi simbol yang dikeramatkan tanpa daya tawar terhadap realitas yang korup?
Jawabannya terletak pada komitmen bersama—baik dari pemerintah, aparat penegak hukum, hingga masyarakat luas—untuk menghidupkan nilai-nilai Pancasila secara nyata. Ini bukan tugas mudah, karena butuh keberanian untuk melawan arus, ketegasan dalam penegakan hukum, dan kesadaran kolektif.
Membangkitkan Kesaktian Pancasila yang Nyata
Untuk mengembalikan marwah Pancasila di tengah badai korupsi, dibutuhkan lebih dari sekadar slogan. Diperlukan komitmen nyata dari pemimpin, pendidikan karakter sejak dini, dan partisipasi aktif masyarakat. Penegakan hukum harus adil, transparan, dan tidak pandang bulu. Selain itu, pembenahan sistem politik dan birokrasi juga menjadi kunci agar tidak terus melahirkan aktor-aktor korup baru.
Media, lembaga pendidikan, dan tokoh masyarakat harus menjadi garda terdepan dalam membumikan nilai-nilai Pancasila, tidak hanya dalam ucapan, tapi juga dalam tindakan. Pancasila tidak boleh dibiarkan menjadi fosil ideologis melainkan harus menjadi energi yang menggerakkan perubahan.
Penutup
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila harus menjadi momentum refleksi yang jujur: Apakah kita benar-benar mengamalkan Pancasila atau hanya memujanya di permukaan? Di tengah realitas korupsi yang mengakar, kesaktian Pancasila diuji bukan dengan senjata, tapi dengan integritas, keberanian, dan konsistensi moral.
Kesaktian sejati bukan terletak pada tahta atau simbol, tetapi pada keberanian untuk berdiri tegak di atas nilai kebenaran. Dan selama rakyat Indonesia masih percaya, berjuang, dan menghidupi nilai-nilai Pancasila, maka harapan untuk Indonesia yang bersih dari korupsi masih menyala.
“Selamat Hari Keaktian Pancasila”

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»