Oleh : Dr. Wahdatun Nisa M.A.
(Wakil Dekan III Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UINSI Samarinda)
Musibah seolah datang bertubi-tubi dari tanah Sumatera. Banjir dan longsor melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, merenggut korban jiwa, merusak rumah warga, dan memutus akses kehidupan. Musibah kerap dipahami semata sebagai takdir yang harus diterima dengan sabar. Dibalik fakta tersebut, jarang ada perenungan kolektif tentang relasi manusia dengan alam. Apakah bencana hanya peristiwa alamiah, ataukah ia juga cermin dari cara manusia memperlakukan bumi?
Dalam konteks ini, pemikiran Seyyed Hossein Nasr sangat relevan. Nasr sering dianggap bapak ekoteologi Islam modern, karena beliau menekankan bahwa menjaga alam bukan hanya kewajiban sosial, tetapi bagian dari iman dan spiritualitas. Menurutnya, krisis lingkungan yang terjadi saat ini sering kali berakar dari krisis spiritual manusia, ketika manusia memisahkan diri dari dimensi ilahiah dan melihat alam hanya sebagai objek.
Dengan demikian, bencana alam tidak hanya dimaknai sebagai kabar duka, tetapi juga sebagai panggilan untuk refleksi, evaluasi, dan restrukturisasi pola hidup manusia. Dari konteks tanah Sumatera yang terdampak musibah, Al-Qur’an seakan menyerukan umat manusia untuk kembali mendengarkan suara alam, sebelum peringatan ilahiah itu berubah menjadi kehilangan yang lebih besar.
Alam sebagai Ayat dan Amanah dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an menempatkan alam bukan semata sebagai objek, melainkan sebagai ayat kauniyah—tanda-tanda Tuhan yang hidup dan komunikatif. Al-Qur’an menegaskan bahwa alam adalah ayat-ayat Allah yang harus dibaca, direnungkan, serta dirawat.
Elemen-elemen alam seperti gunung, hujan, tanah, dan laut muncul dalam berbagai ayat sebagai manifestasi kekuasaan Ilahi sekaligus peringatan bagi manusia. Ketika keseimbangan ekosistem terganggu, Al-Qur’an menegaskan bahwa kerusakan tidak muncul secara spontan, melainkan sering berakar pada perilaku manusia yang melampaui batas moral dan ekologis. Beberapa ayat Al Qur’an mengisyaratkan (Ar-Rum (30):41, QS. Al-A’raf (7):56, Al-Baqarah (2):30 dan Al-Qashash (28):77)
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum (30):41)
Ayat ini mengingatkan bahwa keserakahan, penindasan, dan eksploitasi sumber daya tanpa batas akan berujung pada kehancuran lingkungan dan kehidupan manusia sendiri. Dalam konteks inilah ekoteologi Al-Qur’an menjadi relevan, karena kerangka ini mendorong pembacaan krisis lingkungan tidak sekadar melalui perspektif teknis atau ekonomi, melainkan juga melalui lensa iman dan etika.
Dalam perspektif Al-Qur’an, alam diposisikan sebagai amanah Ilahi kepada manusia yang ditetapkan sebagai khalifah di bumi. Khalifah mengandung makna tanggung jawab moral dan etis untuk mengelola, memanfaatkan, serta memelihara alam sesuai dengan prinsip keadilan dan keseimbangan yang telah ditetapkan Allah. Alam tidak dipahami sebagai objek eksploitasi tanpa batas, melainkan sebagai titipan yang penggunaannya harus mempertimbangkan keberlanjutan dan kemaslahatan seluruh makhluk. Dengan demikian, setiap bentuk perusakan lingkungan mencerminkan kegagalan manusia dalam menjalankan amanah kekhalifahan, sementara upaya pelestarian alam merupakan manifestasi ketaatan terhadap nilai-nilai Qur’ani dan tanggung jawab spiritual manusia.
Krisis Lingkungan sebagai Cerminan Moral dan Spiritual
Krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini dapat dipahami sebagai cerminan melemahnya moral dan spiritual manusia dalam menjalankan amanah dari Allah. Kerusakan alam tidak semata-mata disebabkan oleh faktor alamiah, melainkan berakar pada perilaku manusia yang dikuasai oleh keserakahan, ketidakadilan, dan pengabaian terhadap nilai-nilai syariat. Ketika manusia melampaui batas (isrāf dan fasād) dalam memanfaatkan sumber daya alam, keseimbangan yang telah Allah tetapkan menjadi rusak.
Dari sudut pandang keislaman, krisis lingkungan juga mencerminkan menurunnya kesadaran tauhid, yaitu pengakuan bahwa Allah adalah Pemilik mutlak alam semesta, sementara manusia hanyalah pengelola yang akan dimintai pertanggungjawaban. Ketika dimensi spiritual terabaikan, alam diperlakukan semata-mata sebagai objek eksploitasi, bukan sebagai ayat-ayat Allah yang harus dihormati dan dijaga.
Oleh karena itu, penyelesaian krisis lingkungan menuntut tidak hanya pendekatan teknis dan kebijakan, tetapi juga pembenahan iman, akhlak, dan kesadaran spiritual, agar manusia kembali menempatkan alam sebagai amanah Ilahi yang harus dipelihara demi kemaslahatan seluruh makhluk dan generasi mendatang.
Pengelolaan sumber daya alam secara bijak
Pengelolaan sumber daya alam secara bijak merupakan prinsip penting dalam ajaran Islam yang berangkat dari pemahaman bahwa seluruh kekayaan alam adalah milik Allah, sementara manusia hanyalah sebagai khalifah dan pemegang amanah. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan secara proporsional, adil, dan bertanggung jawab, dengan menghindari sikap berlebihan (isrāf) dan perusakan (fasād). Islam menekankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dan upaya menjaga kelestarian alam, sehingga pemanfaatan sumber daya tidak menimbulkan kerugian bagi lingkungan maupun makhluk lain.
Lebih jauh, pengelolaan sumber daya alam secara bijak juga mencerminkan ketaatan moral dan spiritual manusia kepada Allah. Setiap tindakan eksploitasi yang melampaui batas pada hakikatnya merupakan pengingkaran terhadap amanah yang telah diberikan. Sebaliknya, pengelolaan yang berkelanjutan dan berorientasi pada kemaslahatan bersama merupakan wujud nyata dari akhlak Islami dan kesadaran akan pertanggungjawaban di hadapan Allah. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya alam tidak hanya berdimensi ekologis dan ekonomis, tetapi juga memiliki dimensi ibadah dan tanggung jawab akhirat.
Penutup
Sebagai penutup, krisis lingkungan yang terjadi saat ini perlu dibaca melalui pendekatan ekoteologi Al-Qur’an, yang menempatkan alam sebagai ciptaan Allah yang sarat dengan nilai spiritual dan amanah. Al-Qur’an mengajarkan bahwa kerusakan lingkungan merupakan konsekuensi dari penyimpangan manusia dari nilai tauhid, akhlak, dan tanggung jawab kekhalifahan.
Bumi bukan sekadar tempat berpijak, melainkan titipan suci dari Allah yang dipasrahkan kepada nurani manusia. Ketika manusia menjaga alam dengan penuh kesadaran dan akhlak, sesungguhnya ia sedang menjaga kehormatan amanah Ilahi. Namun ketika alam diabaikan dan dirusak, yang terluka bukan hanya bumi, melainkan juga nilai kemanusiaan dan spiritualitas itu sendiri.
Dengan demikian, solusi atas krisis lingkungan menuntut reorientasi kesadaran keislaman yang menyeluruh, yakni dengan mengembalikan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Allah. Upaya pelestarian lingkungan harus dipahami sebagai bagian dari ibadah dan manifestasi ketaatan kepada perintah-Nya, bukan semata agenda teknis atau pragmatis. Melalui internalisasi nilai-nilai ekoteologi Al-Qur’an, diharapkan lahir perilaku ekologis yang berlandaskan iman, akhlak, dan tanggung jawab, sehingga manusia mampu menjalankan perannya sebagai khalifah yang amanah demi terwujudnya kemaslahatan bumi dan seluruh makhluk.
Maka, marilah kita kembali merawat bumi dengan iman, menata langkah dengan hikmah, dan menimbang setiap tindakan dengan tanggung jawab di hadapan Allah. Sebab alam yang terjaga adalah saksi ketaatan, dan lingkungan yang lestari adalah doa yang hidup bagi generasi mendatang. Dengan menjaga bumi, manusia tidak hanya memelihara kehidupan, tetapi juga meneguhkan perannya sebagai khalifah yang amanah dan berakhlak mulia.
Wallahu A’lam bisshawab




