Berqurban Karena Cinta (Menghidupkan Spirit Pengorbanan dari Hati yang Tulus)

Setiap kali Idul Adha datang, jutaan umat Islam di seluruh penjuru dunia menyambutnya dengan penuh sukacita. Takbir menggema di masjid, mushalla. Hewan-hewan ternak dipersiapkan untuk disembelih. Tapi di balik semua suasana itu, tersimpan sebuah nilai spiritual yang dalam dan sering luput dari perhatian kita nilai itu adalah  “cinta”. Ibadah qurban sejatinya bukan semata-mata tentang menyembelih hewan, melainkan tentang pengorbanan karena cinta. Cinta kepada Allah, cinta kepada sesama, dan cinta kepada kemanusiaan.

Berqurban adalah manifestasi cinta yang nyata. Ia bukan sekadar simbol, tapi bentuk pengorbanan nyata demi menguatkan empati sosial. Bayangkan, berapa banyak keluarga miskin yang jarang makan daging bisa merasakannya berkat qurban yang kita lakukan? Dalam daging yang dibagikan itu ada senyum, kebahagiaan, dan harapan.

Inilah wujud cinta yang menyentuh: bukan hanya kepada Allah, tapi juga kepada sesama manusia. Karena itu, Rasulullah SAW menyebut ibadah qurban sebagai amalan paling dicintai Allah pada hari-hari tasyrik.

Kisah Ibrahim: Cinta yang Diuji

Qurban bermula dari kisah monumental Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail. Ketika Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya, beliau tidak menolak, tidak protes, tidak menawar. Ismail pun dengan luar biasa menjawab dengan ketundukan:

“Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
(QS. Ash-Shaffat: 102)

Ini bukan sekadar kisah keluarga nabi, tapi potret ketundukan jiwa yang luar biasa. Bayangkan, seorang ayah yang diminta menyerahkan anak kesayangannya, dan seorang anak yang dengan penuh keimanan siap dikurbankan demi menaati perintah Allah.

Apa yang bisa kita pelajari? Bahwa qurban sejatinya adalah ujian cinta dan ketaatan. Apakah kita rela melepaskan sesuatu yang kita cintai demi kecintaan kepada Allah? Di sinilah qurban menjadi madrasah—tempat jiwa ditempa agar lebih kuat, lebih bersih, dan lebih ikhlas.

Berqurban karena cinta artinya menempatkan cinta kepada Allah di atas segalanya. Ini adalah cinta yang tidak minta balasan, cinta yang menjadikan kita rela berkorban demi ridha-Nya. Dalam konteks sosial, qurban mengajarkan kita untuk lebih peduli. Untuk lebih ringan tangan dalam memberi. Untuk lebih dekat dengan sesama.

Qurban: Perintah yang Penuh Makna

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Kautsar ayat 2:

“Fashalli li rabbika wanhar”
“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah.”

Ayat ini singkat tapi sangat mendalam. Allah tidak hanya memerintahkan kita untuk shalat sebagai wujud syukur, tapi juga berqurban—mengorbankan sebagian rezeki kita dengan menyembelih hewan ternak untuk dibagikan kepada yang membutuhkan. Dalam Tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menekankan bahwa perintah ini hadir sebagai bentuk syukur atas limpahan nikmat Allah, dan qurban menjadi simbol kepatuhan serta pengorbanan seorang hamba kepada Tuhannya.

Dalam ayat ini, Allah tidak menyuruh kita sekadar beribadah, tapi “untuk Tuhanmu” — li rabbika. Artinya, salat dan kurban bukan untuk mendapat pujian, bukan untuk dinilai manusia, tapi hanya karena Allah semata. Inilah bentuk cinta tertinggi: melakukan sesuatu bukan untuk apa yang kita dapat, tetapi karena siapa yang kita cinta.

Cinta yang sejati mengharuskan pengorbanan, termasuk mengorbankan ego dan keserakahan diri. Dalam qurban, bukan hanya hewan yang disembelih, tapi juga sifat kikir, sombong, dan cinta berlebihan terhadap dunia. Kita belajar untuk memberi tanpa berharap kembali, untuk berbagi dari yang kita miliki, dan untuk merelakan sebagian dari harta kita demi orang lain.

Itulah mengapa dalam Surah Al-Hajj ayat 37, Allah menegaskan:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.”

Allah tidak butuh daging. Yang Dia inginkan adalah ketulusan hati kita.

Menghidupkan Kembali Semangat Cinta

Di tengah dunia yang semakin individualistik dan materialistik, ibadah qurban mengajak kita untuk kembali kepada nilai-nilai cinta dan kemanusiaan. Ia menjadi momen refleksi: sudahkah kita mencintai Allah lebih dari apapun? Sudahkah kita mencintai sesama kita dengan tulus?

Berqurban bukan hanya untuk yang mampu, tapi untuk mereka yang mau. Mau mengikhlaskan sebagian hartanya, mau peduli, dan mau menjalani cinta dengan tindakan, bukan sekadar kata-kata. Qurban menyadarkan kita bahwa hidup bukan hanya tentang memiliki, tapi tentang memberi. Bahwa harta yang kita simpan tidak lebih berharga dari harta yang kita infakkan.

Berqurban karena cinta adalah cara kita menunjukkan bahwa cinta tidak cukup hanya diucapkan, tapi harus dibuktikan dengan pengorbanan. Kita tidak sedang membeli pahala, tapi sedang menyampaikan cinta melalui tindakan nyata.

Maka saat Idul Adha datang, tidak sekadar melihatnya sebagai kewajiban tahunan. Kita Jadikan kurban sebagai momen untuk menata hati, memperbarui cinta kepada Allah, dan memperkuat rasa syukur atas nikmat-nikmat yang terus mengalir tanpa henti. Mari kita jadikan momen qurban ini sebagai madrasah jiwa yang membentuk kita menjadi insan yang lebih matang secara spiritual, lebih tenang dalam menghadapi hidup, dan lebih tulus dalam mencintai Allah dan sesama manusia.

Semoga setiap tetesan darah yang mengalir menjadi saksi cinta kita kepada Allah.
Semoga setiap daging yang dibagikan menjadi jalan menuju surga-Nya.
Karena cinta sejati… selalu dibuktikan dengan tindakan nyata.

 

“Fashalli li rabbika wanhar”

Penulis : Wahdatun Nisa

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»