Tahun Baru Islam 1447 Hijriah yang jatuh pada 1 Muharram 1447 H (bertepatan dengan 27 Juni 2025) tidak hanya menandai pergantian kalender dalam Islam, tetapi juga menjadi momentum refleksi dan transformasi. Peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah bukan semata perpindahan geografis, melainkan perubahan mendasar dalam tatanan sosial, ekonomi, dan spiritual umat Islam. Maka, hijrah adalah simbol perubahan—dari ketidakberdayaan menuju kekuatan, dari keterpurukan menuju kebangkitan. Inilah semangat yang harus dihidupkan kembali oleh umat Islam di tengah tantangan ekonomi global saat ini.
Krisis Ekonomi dan Dampaknya bagi Umat
Pada pertengahan tahun 2025, kondisi ekonomi Indonesia menunjukkan dinamika yang kompleks. Meskipun pertumbuhan ekonomi nasional masih berada pada kisaran 4,8–4,9%, berbagai tekanan global seperti perlambatan ekonomi China, konflik geopolitik, dan pengetatan kebijakan moneter di negara-negara maju turut memengaruhi stabilitas ekonomi domestik. Daya beli masyarakat mengalami penurunan, sementara inflasi tetap rendah namun tidak diiringi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara merata. Di sisi lain, sektor informal—yang banyak dihuni oleh pelaku usaha mikro dan kecil (UMK)—masih menghadapi berbagai keterbatasan, terutama dalam akses terhadap permodalan dan pasar. Umat Islam yang mayoritas berada di sektor ini menjadi kelompok paling rentan. Banyak dari mereka bergantung pada usaha kecil, dagang harian, atau sektor jasa informal yang sensitif terhadap fluktuasi ekonomi. Realitasnya, banyak keluarga kini harus menghadapi tantangan keuangan yang nyata, termasuk kenaikan harga bahan pokok, tarif listrik, biaya pendidikan, serta beban cicilan bulanan yang kian berat, memaksa masyarakat untuk “mengencangkan ikat pinggang”. Ironisnya, di tengah tekanan ekonomi ini, perilaku konsumtif justru makin marak. Gaya hidup yang memamerkan kemewahan di media sosial, diskon besar-besaran, tren barang bermerek, dan budaya FOMO (fear of missing out) telah menyeret sebagian masyarakat—termasuk kalangan menengah—ke dalam jeratan utang dan pemborosan yang kontraproduktif terhadap ketahanan ekonomi rumah tangga. Dalam konteks inilah, tema “hijrah finansial” menjadi sangat relevan: saatnya umat Islam melakukan perubahan nyata dalam cara mengelola keuangan, membangun usaha, dan memperkuat ketahanan ekonomi keluarga.
Makna Hijrah dalam Dimensi Ekonomi
Hijrah bukan hanya perpindahan fisik, tetapi perubahan mindset. Hijrah finansial berarti meninggalkan gaya hidup boros menuju hidup hemat dan produktif. Meninggalkan ketergantungan pada utang konsumtif menuju pengelolaan keuangan yang sehat. Dari pengusaha yang pasif menjadi wirausaha yang inovatif. Dari konsumtif menjadi produktif. Rasulullah SAW ketika sampai di Madinah segera membangun pasar yang adil, menghapus praktik riba, memajukan ukhuwah ekonomi antara kaum Muhajirin dan Anshar, serta meletakkan dasar-dasar keuangan Islam berbasis zakat, sedekah, dan kerja sama. Ini adalah model ekonomi yang mandiri, berkeadilan, dan berpihak kepada umat.
Langkah Nyata Menuju Kemandirian Ekonomi Umat
1. Literasi dan Perencanaan Keuangan Syariah
Masih banyak umat Islam yang belum memahami pentingnya pengelolaan keuangan dalam perspektif Islam. Hijrah finansial harus dimulai dari memperkuat literasi keuangan syariah: mengatur anggaran, membedakan kebutuhan dan keinginan, menghindari riba, serta memahami konsep berkah dan kecukupan (qana’ah).
2. Berdaya Melalui UMKM Berbasis Nilai
UMKM bukan hanya tulang punggung ekonomi nasional, tetapi juga medan jihad ekonomi umat. Pelaku usaha Muslim perlu meningkatkan kualitas produk, memanfaatkan teknologi digital, dan menjalankan bisnis secara etis sesuai dengan prinsip syariah: jujur, adil, dan menghindari penipuan.
3. Penguatan Ekonomi Sosial Islam
Zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) adalah instrumen yang luar biasa untuk membangun kemandirian umat. Namun sayangnya, potensi besar ini belum dikelola secara optimal. Momentum Tahun Baru Islam ini bisa menjadi panggilan untuk lebih banyak berkontribusi melalui lembaga amil yang terpercaya.
4. Hijrah Gaya Hidup
Kemandirian ekonomi tidak bisa dicapai jika gaya hidup masih terjebak dalam budaya konsumtif. Hijrah berarti menahan diri dari pemborosan, membatasi penggunaan kartu kredit, memilih produk lokal, dan lebih mengutamakan kualitas hidup daripada kemewahan semu. Gaya hidup sederhana adalah kekuatan spiritual sekaligus fondasi ekonomi yang kokoh.
5. Kolaborasi Komunitas Muslim
Kebangkitan ekonomi umat tak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Diperlukan kolaborasi antar pelaku usaha Muslim, komunitas masjid, pesantren kewirausahaan, dan lembaga keuangan syariah. Hijrah finansial adalah gerakan kolektif: saling menguatkan, saling bantu, dan saling percaya dalam ekosistem yang sehat.
Hijrah sebagai Gerakan Perubahan Sosial
Hijrah finansial 1447 H harus menjadi gerakan sosial yang ditopang oleh nilai-nilai spiritual. Sebab Islam tidak memisahkan antara ibadah dan ekonomi, antara masjid dan pasar, antara dzikir dan kerja. Seorang Muslim sejati adalah yang kuat spiritualnya, mandiri ekonominya, dan bermanfaat sosialnya. Di tengah tekanan ekonomi, umat Islam jangan sekadar menjadi korban. Jadilah pelopor solusi. Tanamkan keyakinan bahwa rezeki adalah takdir Allah, tetapi ikhtiar adalah perintah-Nya. Jangan menunggu bantuan, tapi bangkitlah untuk menciptakan perubahan. Ini adalah makna hijrah sejati.
Penutup
Tahun Baru Islam 1447 H adalah saat yang tepat untuk berhijrah—bukan hanya secara spiritual, tetapi juga secara finansial. Inilah saatnya Muslim bangkit dari krisis menuju kemandirian ekonomi, dengan menjadikan Islam sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan, termasuk cara mencari, menggunakan, dan menyebarkan rezeki.
Hijrah finansial bukan hanya pilihan, tapi kebutuhan. Bukan sekadar strategi bertahan, tapi cara hidup yang lebih berkah dan bermakna. Saatnya umat Islam berdiri tegak, tidak lagi menggantungkan nasib pada sistem yang tidak adil, tapi membangun sistem sendiri yang lebih jujur, adil, dan maslahat.
Selamat Tahun Baru Islam 1447 H. Mari berhijrah—menuju pribadi yang lebih bertakwa, keluarga yang lebih berdaya, dan ekonomi umat yang lebih mandiri.
Penulis: Dr. Hj. Norvadewi, M.Ag. (Dosen FEBI UINSI Samarinda)