Membumikan Al-Qur’an, Menguatkan Moderasi: Refleksi atas Masa Depan Islam Indonesia

Oleh : Tuan Guru Bajang Kh. Muhammad Zainul Majdi

Alhamdulillah wasalatu wasalamu ala habibina rasulillah waa alihi wasbihi matan yahuda yaumil kiamah amul masyaik kiram hul asatidah wal ustazah para profesor para guru besar para doktor dan para pimpinan dari pasca sarjana UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda yang berbahagia dan saya muliakan. berdiri di sini bersilaturahim ya silatul fikri. bersilaturahim, bersilatul fikri dengan kader-kader wasatiah, dengan kader-kader cendikiawan muslim yang insyaallah seperti tertulis akan sangat menentukan ya wajah masa depan peradaban Islam di Indonesia atau secara lebih umum peradaban kita di Indonesia.

Kalau ada pertanyaan bagaimana Indonesia ke depan? Kalau saya sebagaimana yang ada dalam Al-Qur’an, orang beriman itu tidak boleh pesimis. Orang Islam itu selalu yastafsyiru bi nikmah. Dia selalu ada bisyarah terhadap masa depan. Selalu memandang masa depan itu dengan pandangan yang positif. Atau dalam bahasa Sayidina Ya’akub Alaih Salam.  Laa tai`asụ min rauhillaah (terjemahnya : jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah)

Jadi tidak ada kata Indonesia gelap kalau bagi seorang muslim yang meyakini bahwa optimisme itu adalah salah satu karakter dari orang yang beriman. Maka kalau ditanya peradaban Indonesia ke depan atau nasib Indonesia kalau menurut saya pasti maju . Jadi peradaban kita itu pasti maju. Pertanyaannya majunya kemana? Aktor-aktor yang menggerakkan kemajuan itu siapa? Apa kontribusi kita sebagai umat Islam di dalam proses kemajuan bangsa itu? Baik itu istilahnya Indonesia emas atau apapunlah istilahnya. Kita memang pasti maju. Pasti akan ada gerak maju ya. Dan seluruh proses itu pasti akan mengakumulasikan kemajuan.

Pertanyaannya sekali lagi, kemajuan yang seperti apa? Peradaban yang hendak kita bangun itu, peradaban yang bagaimana? kita mudahkan kan katanya kalau salah satu ciri dari orang yang matang intelektualitasnya itu adalah tafsirul umur, jadi yang paling sederhana itulah penjelasan yang paling baik sesungguhnya. peradaban Islam  yang saya pahami adalah keberagamaan kita. Jadi attadayun al-Islami almustaqbali fi Indonesia. Seperti apa corak dan karakter keislaman kita? Corak dan karakter keislaman ini bukan hanya konsumen kita sebagai umat Islam.

Karena umat non muslim juga penting juga tahu bagaimana karakter Islam yang terbentuk di Indonesia yang menjadi mainstream pemikiran.  Tentang karakter beragama ya tidak pernah dalam suatu masa ada karakter tunggal. Selalu ada keragaman dalam tafsir. Tetapi yang kita baca dan kita bicarakan adalah mainstream atau atayyarul muhaimin atau almanhajus said. Jadi bahkan pada masa ketika ahlusunah wal jamaah berada pada puncaknya yaitu di tangan Hujjatul Islam Abu Hamid Alghazali, itu tetap ada tayyaratun harifah. sampai Imam Ghazali  mengarang kitab yang judulnya itu Faysal al-Tafriqa bayn al-Islam Wal-Zandaqa.

Jadi ini adalah pisau pembatas antara iman dengan zindik. kata zindik itu menunjukkan pada masa itu ada pemahaman-pemahaman keagamaan yang menyimpang dan bahkan sangat ekstrem. Sehingga Imam Ghazali menyebutkan sebagai satu bentuk kezindikan. Kita tahu kezindikan itu adalah kekufuran yang berbungkus keimanan. Yang ingin saya sampaikan dalam setiap masa  tanawu at-tafsir atau tanawu al-fahm itu pasti terjadi. jadi kalau kita bicara tentang misalnya karakter atau corak Islam di Indonesia yang kita maksudkan adalah al-manhajus said. Apa karakteristik yang mendominasi?

Moderasi ini sering orang memandangnya sebagai dahhil. addahil fi tafsir itu artinya suatu penafsiran yang sebenarnya asing daripada tradisi Islam. Misalnya contoh addahil itu adalah kisah-kisah israiliyat. Itu termasuk dahil. banyak orang mengira bahwa kata moderasi itu dahil padahal dia asir. Lawan dari itu asir. Asir itu ada orisinalitasnya, ada jejak yang kuat. jadi bukan dibuat-buat, bukan dicangkokkan, tapi memang lahir dari tanah Islam itu sendiri.

Dari mana kita bisa mengatakan bahwa moderasi itu adalah istilahun asil waisa bidakhil? Karena memang itulah bahasa Al-Qur’an di dalam ayat yang sangat masyhur, wakadzalika ja’alnakum umattan wasatha. Alwasatiah itu ditafsirkan atau diterjemahkan  dan memang ada kesesuaiannya dengan kata moderasi. Sehingga moderasi di sini adalah yang dimaksudkan dalam kurung wasatiah. Jadi wasatiah itu bukan proyek, bukan pemahaman yang tidak ada basisnya. Itu adalah mustalahun qurani ashiah. Jadi alwasatiah ya wasatiyatul Islam itu dijelaskan langsung oleh Al-Qur’an.

Dan kita tahu kalau belajar bahasa Arab ketikasatu subjek disifatkan dengan sifat yang terdiri dari isim fa’il seperti wasat itu yufir subut. Jadi ayat ini hendak mengatakan bahwa karat aslinya umat Islam itu adalah umattan wasat. Jadi, wasatiyatul Islam itu esensial. Wasatiyatul Islam itu jauhat. Wasatiatul Islam itu substansi. Dia bukan hanya sekedar tontonah. Kalau kata Imam Alusi dalam tafsirnya, tontonah itu macam retorika. Tidak. Tapi dia itu mustalahtun asir. Sesuatu yang memang sangat orisinil. Pertanyaannya adalah apa wasatiah itu? Maka kemudian para ulama menjelaskan tentang wasatiah yang memiliki beberapa karakteristik. Yang paling sederhana kita dapat tahu bahwa tidak pernah Al-Qur’an itu lepas dari akal dan realitas. Jadi sejak awal Nabi sallallahu alaihi wasallam itu selalu membumikan Al-Qur’an

Yang paling sederhana dan Anda semua tahu bahwa tidak pernah Al-Qur’an itu lepas dari akal dan realitas. Jadi sejak awal Nabi sallallahu alaihi wasallam itu selalu membumikan Al-Qur’an. Kalau ee kita ingat judul bukunya Pak Quraisy ada dua jilid kalua tidak salah membumikan Al-Qur’an. Ya memang Nabi dari awal itu membumikan Al-Qur’an jadi langsung menaruhnya di realitas. Dan kemudian Nabi sallallahu alaihi wasallam juga mempersilakan akal manusia untuk menguji validitas dari tesis-tesisnya Al-Qur’an atau aksioma atau pernyataan Al-Qur’an. Jadi bahkan ya kalau kita lihat secara teliti di dalam Al-Qur’an itu ada sampai tantangan pertama tantang tantangan untuk mendatangkan yang sama dengan Al-Qur’an 100%. Bahkan datangkan tantangan 10 % saja surah Al-Qur’an tidak mampu, bahkan tidak bisa datangkan satu surah saja dalam seperti Al-Qur’an. Enggak bisa tantangan untuk mendatangkan yang mirip dengan Al-Qur’an. Tantangan itu semua menghadapkan kepada akal.

Jadi kalau kata Imam Ghazali, saking kuatnya antara teks dengan logika dengan mantik. hal ini juga yang menjadi salah satu ciri dari atafsirul wasad. Jadi tidak pernah akal itu diparkir. Akal itu ditantang untuk menggeluti, untuk mendalami, untuk merasionalisasikan semua teks-teks Al-Qur’an termasuk juga hadis-hadis Nabi Besar Muhammad sallallahu alaihi wasallam.

Ketika akal itu ditinggalkan itulah menjadi bazrat tutatarf. Itulah menjadi nuwatut tatarf, benih-benih ekstremisme dalam berpikir. Jadi kalau kita lihat di dalam sejarah Islam ada hal yang sangat ironis. Di satu sisi Al-Qur’an itu sangat dimuliakan oleh umat Islam. Tetapi di sisi lain yang paling banyak dinistakan juga oleh umat Islam itu Al-Qur’an.

Jadi Al-Qur’an itu muqaddasun wafi nafsil waqti muftar alaih. Kalau bahasa Arab dia itu sakral. Tapi juga pada saat yang sama banyak sekali dimanipulasi. Manipulasi pertama yang tentu kalau kita baca sejarah adalah ketika orang khawarij menggunakan teks inil hukmu illa lillah untuk mengkafirkan yang beda pendapat dengan dia. tidak peduli otoritas yang dia kafirkan itu sebesar apa. Sayidina Ali bin Abi Thalib yang dalam hadis sahih disebut ana madinatul ilmi waun babuha. Bagi orang khawarij enggak ada hatinya. Kafir itu semua. Bayangkan. Bagaimana destruktifnya mengambil satu teks Al-Qur’an, melepaskannya dari konteks, lalu kemudian menggunakannya untuk melakukan kekerasan kepada orang yang berbeda pendapat.

Bagaimana destruktifnya mengambil satu teks Al-Qur’an, melepaskannya dari konteks, lalu kemudian menggunakannya untuk melakukan kekerasan kepada orang yang berbeda terakad. Maka Sayidina Abdullah bin Umar mengatakan, orang Khawarij itu kerjaannya cuma satu. Mereka mengambil ayat yang sebenarnya itu untuk orang-orang musyrik lalu digunakan untuk menghukum umat Islam. termasuk inil hukmuillah yahum bimaallahumul kafirun dan seterusnya. Maka kalau kita bicara tentang masa depan atadayunul islami, pemikiran Islam di Indonesia, kita memang tidak ada jalan lain yaitu meneguhkan ya manhaj wasati di Indonesia. Kalau kita lihat kenapa kita mau meneguhkan manhaj, saya bisa kasih alasan pertama ya dari sisi asalul manhaj bahwa ini memang manhaj yang paling otentik. Inilah yang dulu dipakai oleh nabi, oleh para sahabat.

Nabi kita, Nabi Besar Muhammad sallallahu alaihi wasallam. Lalu diikuti oleh para sahabat ketika Sayidina Umar bin Khattab misalnya dalam memutuskan untuk tidak memberikan lagi almallafatu ya muallafatu qulubihim bagian dari zakat. Karena bagi Sayidina Umar Islam sudah kuat Islam. tidak perlu lagi kita kepada orang-orang yang kita wujud untuk masuk Islam. Maka bagian dari almuallafatu itu diambil oleh Sayidina Umar, dimasukkan kepada Baitul Malik. Ketika ada yang protes, diberikanlah landasan logis kepada Sayidina Umar. Landasan logistik Sayidina Umar ini berbasis pada fakta. Karena itu maka di dalam manhajul wasati juga ada dialektika atau ada kesamaan ya atau ada penggunaan yang tepat antara annassu wal bagian dari zakat. Karena bagi Sayidina Umar Islam sudah kuat Islam. Enggak perlu lagi kita kepada orang-orang yang kita wujud untuk masuk Islam. Maka bagian dari almuallafatu itu diambil oleh Sayidina Umar, dimasukkan kepada Baitul Malik. Ketika ada yang protes, diberikanlah landasan logis kepada Sayidina Umar. Landasan logistik Sayidina Umar ini berbasis pada fakta. Karena itu maka di dalam manhajul wasati juga ada dialektika atau ada kesamaan ya atau ada penggunaan yang tepat antara annassu wal aqlu dengan wal wakil. Itu tiga hal yang tidak boleh terpisah. Karena begitu annasu bila aqlin keluar khawarij. Ketika annasu wal aqlu tapi bila waqiin maka keluarlah fatwa-fatwa yang tidak relevan untuk kehidupan kita hari ini.

Contoh, ada sebagian orang mengatakan bahwa perbudakan itu boleh dengan alasan teks kita tidak pernah ada yang sahih melarang perbudakan. Lalu secara logika juga bisa saja dimungkinkan terjadi permudahan itu. Tetapi alwaqiul muas, realitas kita baik sebagai satu bangsa ataupun dalam kaitan dengan hubungan aqlu dengan wal wakil. Itu tiga hal yang tidak boleh terpisah. Karena begitu annasu bila aqlin keluar khawarij. Ketika annasu wal aqlu tapi bila waqiin maka keluarlah fatwa-fatwa yang tidak relevan untuk kehidupan kita hari ini. Contoh, ada sebagian orang mengatakan bahwa perbudakan itu boleh dengan alasan teks kita tidak pernah ada yang sahih melarang perbudakan. Lalu secara logika juga bisa saja dimungkinkan terjadi permudahan itu. Tetapi alwaqiul muas, realitas kita baik sebagai satu bangsa ataupun dalam kaitan dengan hubungan peraturan atau tatanan hubungan internasional sebagai anggota PBB itu kan semua punya piagamnya, punya standarnya di mana di situ segala macam perbudakan itu sudah dihapuskan. Maka kalaupun ada teks, kalaupun ada logika, tapi tak sesuai dengan realitas yang ada dan realitas itu termasuk almalih mursalah, maka nah sesuatu itu juga bisa dipikirkan. Jadi kalau kita bicara tentang attafsirul wasati itu tiga hal itu harus refung alqlu anasu walqil mantiq walq nah alat ya yang juga sangat penting ya di dalam peraturan atau tatanan hubungan internasional sebagai anggota PBB itu kan semua punya piagamnya, punya standarnya di mana di situ segala macam perbudakan itu sudah dihapuskan.

Maka kalaupun ada teks, kalaupun ada logika, tapi tak sesuai dengan realitas yang ada dan realitas itu termasuk almalih mursalah, maka nah sesuatu itu juga bisa dipikirkan. Jadi kalau kita bicara tentang attafsirul wasati itu tiga hal itu harus refung alqlu anasu walqil mantiq walq nah alat ya yang juga sangat penting ya di dalam memahami ee apa yang disebut dengan almanhajul wasati atau arratul wasatiah atau attafsirul wasati atau attadayunul wasati secara umum Selain dari tiga hal itu, ada dua lagi yang sangat penting yang namanya alghatu wal maqasid wa maqasidus syariah. Jadi ini lima hal yang harus ketemu dan harmonis. Jadi kalau belum melewati lima ee indikator ini ya, maka bisa jadi tafsir kita itu belum mencerminkan realitas kebutuhan umat dan belum sesuai dengan manhajul masad. Rukyah maqasidiah itu penting. Karena itu dulu pada saat kami pasca sarjana di Alazhar jurusan tafsir itu saya diajar oleh salah satu guru saya namanya Prof. Dr. Manim Abdul Halim itu beliau adalah fitrah tunggal dari Syekh Abdul Halim Mahmud. Syekhul Azhar. Orang yang sangat alim eh Prof. Dr. Mani Abdul Halim. Kami 1 tahun itu kebetulan saya di tingkat saya itu cuma saya sendiri. Jadi saya diajar sendiri sama dia. Kami 1 tahun itu hanya belajar tafsir at-tahm wath. Kenapa beliau minta untuk 1 tahun itu khusus mengkaji kitab atas atahrir watanwir kalangan Syekh Fahir bin Asur. Karena itulah tafsir menurut Syekh Bani Abdul Halim yang memiliki rukyatun maqasidatun nadijah. Jadi rukyah maqasidiahnya itu matang.

Teman-teman ya kalau ingin mendalami tentang rukyah maqasidiah tafsir itu juga bisa agak rajin baca tahrir wal takbir. Tahrir w takbir itu punya ada 10 mukadimah di awal itu bagus. almukadimatul asr ya 10 mukadimah di awal itu menjadi pakem untuk bagaimana menafsirkan Al-Qur’an dengan rukyah maqasidiah. Jadi tiga hal rukyah maqasidiah. Rukyah maqasidiah ini penting. Kenapa? Nah, contoh ketika kita menafsirkan firman Allah Taala khalaqakum mail ard lam di situ selalu kita katakan lil intifa. Ya, lil intifa artinya semua Allah ciptakan untuk kemanfaatan manusia itu ternyata adalah salah satu dari dua pandangan utama. Sayangnya pandangan yang kedua itu tidak populer bahwa lam di situ bukan lil intifa tapi lil iktibar. Padahal kalau kita baca Ibnu Jarir ya Attabari di dalam tafsir beliau Jamiul Bayan itu fi tafsir Quran ternyata Imam maqasidiah. Rukyah maqasidiah ini penting. Kenapa? Nah, contoh ketika kita menafsirkan firman Allah Taala khalaqakum mail ard lam di situ selalu kita katakan lil intifa. Ya, lil intifa artinya semua Allah ciptakan untuk kemanfaatan manusia itu ternyata adalah salah satu dari dua pandangan utama. Sayangnya pandangan yang kedua itu tidak populer bahwa lam di situ bukan lil intifa tapi lil iktibar.

Padahal kalau kita baca Ibnu Jarir ya Attabari di dalam tafsir beliau Jamiul Bayan itu fi tafsir Quran ternyata Imam Ibnu Jarir itu mentarjih memperkuat pandangan pendapat bahwa lam itu liltib bukan lil intifa dan ternyata untuk kepentingan hal ini untuk kesesuaian dengan rukyah maqasidiah maka menurut saya pendapat bahwa la itu bukan inti tapi liltibar itu justru lebih bagus. Kenapa lebih bagus? Kalau lam itu lil intifa maka cenderung membuat manusia semau-maunya berkspolitasi Allah. Gara-gara alasan semua diciptakan untuk manusia, pohon-pohon kita bagi semua ya, sungai segala macam rusak semua. Hutan juga habis, semua sumber daya habis untuk memenuhi kerak manusia. Jadi ketika ditafsirkan intifa tanpa ada dawabit ya yang mengatur intifa yang boleh, maka yang terjadi adalah ee eksploitasi al-istidlal alm eksploitasi yang destruktif. Maka coba kita sekarang majukan pandangan kedua bahwa lam itu bukan liltifa, tapi liltifa. Apa artinya? Dia menjadikan bumi ini untuk engkau selalu setiap saat mampu mengambil ibrah terhadap adanya Allah Subhanahu wa taala. Kalau ditafsirkan seperti itu, maka kita akan tertantang. Kita akan merasa punya kewajiban untuk menjaga bumi Allah sebaik-baiknya supaya dia bisa tetap menjadi alam orang beriman kepada Allah. Kalau orang yang tidak beriman melihat betapa bumi ini diciptakan dengan keindahan oleh Allah dan dia bisa memandang keindahan itu setiap saat, maka bisa jadi dengan itu akan sampai dia kepada Allah. Tapi kalau dia melihat bumi ini hancur lebur ya, maka tidak bisa dia mengambil iktibar dari bumi ini. Bahkan bisa jadi dia akan mengatakan kalau Allah memang yang menyukai keindahan kebaikan kok dibiarkan bumi ini hancur. Nah, karena menjaga bumi Allah sebaik-baiknya supaya dia bisa tetap menjadi alam orang beriman kepada Allah. Kalau orang yang tidak beriman melihat betapa bumi ini diciptakan dengan keindahan oleh Allah dan dia bisa memandang keindahan itu setiap saat, maka bisa jadi dengan itu akan sampai dia kepada Allah. Tapi kalau dia melihat bumi ini hancur lebur ya, maka tidak bisa dia mengambil iktibar dari bumi ini. Bahkan bisa jadi dia akan mengatakan kalau Allah memang yang menyukai keindahan kebaikan kok dibiarkan bumi ini hancur.

Nah, karena itu kalau kita bicara rukyah maqasiah sebagai bagian dari tafsir yang wasati itu maka bagus ya teman-teman kalau membaca tafsir tahrir wa tanwir dan mencoba di masing-masing ayatnya untuk melihat tadi ilustrasi saya itu menggambarkan betapa huruf lam saja ketika kita arahkan maknanya kepada satu makna yang berbeda dari yang sudah ya itu bisa merubah ee apa namanya ee world view kita, pandangan kita terhadap dunia. Jadi begitu ini kita pahami lilin kita, tapi ada yang macam-macam kita akan mengatakan, “Ya Allah, iya saya harus jaga ini supaya dia selalu bisa mencerminkan supaya dia selalu membuat orang bertafakur bisa sampai kepada beriman padamu. Saya enggak berani merusaknya.” Itu kalau kita maknakan lil., kalau orang lain bisa, masa saya enggak bisa. Kalau orang lain dapat, masa saya enggak dapat. Akhirnya berlomba-lomba untuk mengambil dan menghancurkan apa yang ada. Nah, ini contoh ya, bahwa rukyah maqasidiah itu penting.

Dan empat hal ini harus juga memilikilughah yang kuat. lughah banyak sekali tafsiran ekstrem ya yang ada di tengah-tengah kita karena kelemahan dalam memahami bahasa contoh. Nah, ini bulan Maulid ya. Kalau bulan Maulid itu orang yang suka Maulid paling banyak itu mengutip hadis masuk neraka semua yang mau masuk. Kenapa bisa begitu? karena memang pemahaman bahasanya lemah. Kalau semua berarti kan maulid masuk berarti termasuk kita dolalah. Kalau dolalah masuk neraka berarti semua yang maulid masuk neraka. Kalau dia punya pemahaman bahasa Arab yang cukup maka dia akan tahu bahwa kullun itu qakunu baqian ala umumi waqunu alam yakunu aman bim waqunu alam maksus kan begitu. begitu kullun tetap pada maknanya, tidak ada pengecualian. Kullun itu bisa dikecualikan dengan dalil yang nyambung atau dalil yang pisah. Dan tidak jarang juga. Kullun itu adalah kullun amun bihi khusus, yaitu umum. Tetapi yang dimaksudkan adalah khusus. Itu dalam segi ilmu bahasa Jadi attasyahud atau ekstremisme beragama juga karena kelemahan penguasaan bahasa. Kalau bahasa dia ketahui misalnya belajar usul fiqh dalalatul alfaz mana yang mantub mana yang mafhum mana dalil mutabaqah manail apa iltizam mana apalagi itu iqtidan macam-macam fahwal hitab lahnal hitab dia tidak akan mudah untuk jatuh pada pemahaman yang salah.

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»