Hakim Harus Disumpah Sebelum Membacakan Putusan

Oleh: Agung Wicaksono, S.H., M.H.
(Alumni Pascasarjana UINSI Samarinda)

Wacana mengenai perlunya hakim mengucapkan sumpah sebelum membacakan putusan kembali menghangat setelah Forum Advokat menyuarakannya dalam rapat pembahasan RKUHAP di DPR. Gagasan ini langsung memantik perhatian banyak pihak. Ada yang menilai hal tersebut tidak diperlukan karena hakim sudah mengucapkan sumpah jabatan di awal karier. Ada juga yang menganggapnya sebagai langkah mundur yang terlalu ritualistik. Ada pula yang menyambutnya dengan penuh harapan karena dianggap mampu menghadirkan kembali kesakralan peradilan di tengah derasnya kritik publik terhadap kualitas putusan.

Saya berada pada kelompok yang mendukung usulan tersebut. Bagi saya, sumpah sebelum pembacaan putusan bukan sekadar ucapan seremonial. Dalam konteks psikologi perilaku, pengulangan sumpah di saat kritis dapat menjadi pengingat kuat tentang amanah yang sedang diemban. Seorang hakim berada pada posisi yang sangat strategis, bahkan sering disebut sebagai Wakil Tuhan di muka bumi karena dari tangannya lahir keputusan yang menentukan masa depan hidup seseorang. Sebutan ini bukan untuk mengkultuskan, tetapi untuk mengingatkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah amanah tertinggi dalam sistem hukum.

Di tengah suasana peradilan yang sering diterpa isu integritas, sumpah sebelum putusan dapat berfungsi sebagai rem moral. Ketika seorang hakim berdiri dengan toga dan membacakan kalimat sumpah yang menegaskan bahwa keputusannya bebas dari tekanan, kepentingan, dan imbalan, ia sedang menyampaikan dua pesan sekaligus yaitu satu untuk dirinya sendiri, dan satu lagi untuk publik yang mendengarkan.

Bagi hakim sendiri, sumpah tersebut menjadi pintu bagi kesadaran terdalam bahwa setiap putusan akan dipertanggungjawabkan, bukan hanya di hadapan Undang-Undang tetapi juga di hadapan Tuhan. Kalimat seperti “…putusan ini saya bacakan dengan penuh tanggung jawab dan integritas” bisa menjadi suara batin yang menahan tangan dari keputusan yang tidak jujur. Ia bisa menjadi jangkar etika yang menancap kuat tepat ketika hakim berada di posisi paling menentukan.

Bagi publik, sumpah seperti itu bisa menjadi ruang kecil yang menghidupkan kembali kepercayaan. Masyarakat selama beberapa tahun terakhir tampak semakin kritis terhadap putusan pengadilan. Berbagai pemberitaan mengenai operasi tangkap tangan, skandal suap perkara, sampai putusan kontroversial yang dianggap tidak berpihak pada rakyat, membuat wibawa peradilan terasa menurun. Ketika seorang terdakwa atau keluarga korban kasus tertentu mendengar hakim mengucapkan sumpah sebelum memutus perkara, muncul keyakinan bahwa proses yang mereka jalani tidak diperlakukan seperti mesin. Ada sentuhan nurani di dalamnya.

Ada juga aspek spiritual yang jarang dibicarakan seperti sistem hukum kita yang dibangun bukan hanya dari aturan tertulis, tetapi juga nilai moral yang hidup di masyarakat. Karena itu, sumpah memiliki kedudukan yang sangat terhormat. Dalam banyak tradisi masyarakat Nusantara, sumpah tidak pernah dianggap sekadar formalitas. Ketika seorang hakim mengucapkan sumpah sebelum menjatuhkan putusan, ia sedang mengikat dirinya pada nilai tertinggi yang dipercayainya. Beberapa orang mungkin mengatakan bahwa hakim sudah mengucap sumpah jabatan sekali seumur hidup sehingga tidak perlu lagi pengulangan. Walaupun begitu, posisi hakim menuntut pengingat moral yang lebih rutin.

Sama seperti profesi kedokteran yang memiliki berbagai kode etik dan panduan profesional yang wajib dibaca ulang dalam pelatihan, profesi hakim pun membutuhkan ruang evaluasi batin yang terjadwal, apalagi mengingat bobot keputusannya bisa menyentuh nasib seseorang sampai puluhan tahun.

Di dalam ruang sidang, situasi juga sering tegang. Tekanan bisa datang dari banyak arah seperti opini publik, sorotan media, keinginan aparat penegak hukum tertentu, bahkan harapan keluarga korban. Sumpah yang diucapkan sebelum putusan dapat menjadi momen jeda singkat yang meredakan semua tekanan tersebut. Hakim berdiri, menarik napas, mengucapkan sumpah, lalu mulai membaca putusan dengan kepala yang lebih dingin dan hati yang lebih jernih. Selain itu, ada manfaat edukatif bagi masyarakat. Generasi muda yang mulai memahami peradilan melalui liputan media sering kali menilai pengadilan sebagai arena yang kaku dan jauh dari nilai moral. Jika sumpah sebelum putusan menjadi praktik umum, publik akan melihat bahwa hukum bukan hanya kumpulan pasal, melainkan juga dunia etika yang berakar pada kejujuran. Pesan ini sangat penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, terutama di era media sosial yang cepat memviralkan hal negatif.

Saya percaya usulan ini bisa memberi warna baru dalam pembaruan hukum acara pidana. Pembaruan hukum tidak selalu berarti perubahan teknis. Kadang, yang diperlukan adalah perubahan atmosfer. Sumpah sebelum putusan membawa atmosfer kesakralan, kejujuran, dan kehati-hatian. Tidak ada ruginya memberi ruang kecil untuk mengingatkan diri bahwa putusan yang dibacakan bukan sekadar hasil hitungan pasal, tetapi juga hasil perenungan batin yang harus mencerminkan nilai keadilan. Praktik ini bisa pula diatur dengan fleksibilitas. Sumpah yang diucapkan tidak harus seragam bagi semua hakim. Setiap hakim dapat menyesuaikan dengan keyakinan agamanya agar tidak terjadi pemaksaan. Yang penting adalah roh dari sumpah tersebut, yaitu komitmen pada integritas, objektivitas, dan tanggung jawab moral.

Saya membayangkan suasana ruang sidang ketika seorang hakim berdiri dan mengucapkan sumpah dengan suara mantap. Suasana itu akan menjadi titik balik kecil yang mampu menghidupkan lagi rasa hormat terhadap proses peradilan. Orang-orang yang hadir akan menyadari bahwa di balik toga, ada manusia yang sedang menundukkan diri di hadapan keadilan yang lebih tinggi. Karena itu, saya mendukung sepenuhnya usulan tersebut untuk diakomodasi dalam RKUHAP. Hukum tidak hanya memerlukan pembaruan teknis, tetapi juga peneguhan etis. Sumpah sebelum putusan adalah bentuk pengingat bahwa hakim bukan sekadar pejabat negara, melainkan penjaga keadilan yang memikul amanah ketuhanan. Dan ketika amanah itu terus diingatkan, peluang lahirnya putusan yang lebih adil akan semakin besar bagi siapa pun yang mencari keadilan di republik ini.

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»