Oleh: Dr. H. Achmad Ruslan Afendi, M.Ag.
Dalam ajaran Islam kita kenal sebagai muhasabah, yaitu introspeksi diri yang menjadi kunci dalam perjalanan menuju pribadi yang lebih baik. Bagi orang beriman, fenomena alam adalah ayat-ayat kauniyah, tanda kebesaran Allah SWT yang tersebar di alam semesta.
Ketika keseimbangan alam terganggu, ketika hujan menjadi sangat deras atau sebaliknya kekeringan berkepanjangan, semua itu adalah panggilan bagi manusia untuk kembali merenung: Adakah yang salah dalam cara kita memperlakukan bumi, Adakah yang perlu diperbaiki dalam hubungan kita dengan Allah dan sesama.
Fenomena Alam sebagai Ayat Kauniyah (Tanda Kebesaran Allah), Al-Qur’an berulang kali memerintahkan manusia untuk memperhatikan langit, bumi, gunung, laut, dan seluruh ciptaan-Nya sebagai sarana tadabbur (perenungan spiritual).
Merenungkan fenomena alam terdapat dalam QS. Ali Imran ayat 190–191: Artinya: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, dan pada pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.”
Dengan merenungi fenomena alam sebagai ayat kauniyah, manusia diarahkan pada:
1. ketauhidan: menyadari kebesaran dan keesaan Allah;
2. tawadhu’: rendah hati, menyadari betapa kecilnya manusia;
3. muhasabah: memperbaiki diri ketika melihat tanda-tanda Allah;
4. tanggung jawab sosial-lingkungan: menjaga bumi sebagai amanah;
5. spiritualitas yang matang: menjadi pribadi yang tenang, sabar, dan dekat kepada Allah.
Inilah proses menuju insan kamil, manusia paripurna yang memaknai alam sebagai guru kehidupan dan tanda petunjuk menuju Allah SWT. Makna Spiritualitas Pergantian Tahun adalah:
1. Waktu adalah Amanah
2. Muhasabah/Introspeksi, kalkulasi Menjadi Keperluan visi dalam hidup
3. Kesadaran Akan Kebesaran Allah
4. Dorongan Menjadi Insan Kamil
Tafakur terhadap alam membawa kita pada upaya mematangkan iman, memperbaiki akhlak, dan menjalani hidup sebagai hamba dan khalifah yang bertanggung jawab. Gerhana mengingatkan bahwa cahaya pun bisa tertutup, kekuatan bisa hilang, dan segala sesuatu dalam hidup dapat berubah sewaktu-waktu. Dari sini manusia diajak untuk:
a. tidak sombong dengan kekuatannya,
b. tidak lalai dari kematian,
c. dan selalu siap memperbaiki diri.
Fenomena langit yang menakjubkan seharusnya menumbuhkan rasa tawadhu’, kagum, dan takut kepada Allah. Dengan demikian, ketertiban langit dan bumi menjadi pengingat bahwa manusia pun harus menata hidupnya agar tidak kacau dan menjauh dari petunjuk Ilahi.
Pergantian Tahun sebagai Momentum Menuju Insan Kamil, Konsep insan kamil, yaitu manusia yang mencapai kesempurnaan spiritual, moral, dan sosial. Insan kamil bukanlah manusia tanpa dosa, tetapi manusia yang terus berusaha memperbaiki diri agar semakin dekat kepada Allah dan bermanfaat bagi sesama.
1. Manusia Paripurna: Seimbang Iman, Akhlak, Ibadah, dan Amal Sosial
Insan kamil adalah manusia yang mencapai keutuhan jiwa, bukan hanya unggul dalam satu sisi, tetapi memiliki keseimbangan dalam berbagai dimensi kehidupannya. mampu memadukan:
a. Iman yang kuat, kokoh dalam keyakinan kepada Allah, yakin bahwa setiap fenomena alam adalah bagian dari ketetapan-Nya.
b. Akhlak yang mulia, mampu menjaga hati, perkataan, dan perbuatan agar selalu berada dalam jalan yang diridhai Allah.
c. Ibadah yang istiqamah, menjalankan kewajiban agama dengan penuh kesadaran, bukan sekadar rutinitas.
d. Amal sosial yang nyata, karena kesempurnaan iman seseorang tercermin dari sejauh mana ia membawa manfaat bagi orang lain.
2. Meneladani Karakter Nabi Muhammad SAW
Dalam Islam, ukuran kesempurnaan manusia bukan berasal dari tokoh-tokoh filsuf atau pemimpin dunia, tapi dari sosok yang diutus langsung oleh Allah sebagai teladan: Nabi Muhammad SAW. Beliau disebut oleh Allah sebagai “uswah hasanah”, teladan terbaik bagi seluruh manusia. Untuk menuju insan kamil, pergantian tahun dapat menjadi momentum untuk memperkuat komitmen meneladani sifat-sifat Rasulullah, seperti:
1. Sidiq (jujur) dalam ucapan dan tindakan.
2. Amanah (dapat dipercaya) dalam pekerjaan dan tanggung jawab sehari-hari.
3. Fathanah (cerdas) dalam memecahkan persoalan hidup.
4. Tabligh (menyampaikan kebaikan) dan tidak pelit berbagi ilmu atau manfaat.
5. Rahmah (kasih sayang) kepada semua makhluk, termasuk kepada alam yang telah Allah titipkan kepada manusia.
Langkah Menuju Insan Kamil: Menjadi insan kamil bukanlah tujuan yang dicapai dalam sekejap, tetapi perjalanan panjang yang ditempuh dengan kesungguhan hati dan konsistensi amal. Pergantian tahun adalah momen terbaik untuk memperbarui tekad dan merancang langkah-langkah menuju pribadi yang lebih matang secara spiritual, moral, dan sosial. Berikut enam pilar utama yang dapat menjadi fondasi menuju insan kamil.
1. Muhasabah Diri
2. Tazkiyatun Nafs (Pembersihan Jiwa)
3. Meningkatkan Ibadah
4. Menjaga Relasi Sosial
5. Membangun Kesadaran Ekologis
6. Memperbanyak Amal Kebaikan
Optimisme Menyongsong Tahun Baru: Tauhid melahirkan optimisme karena seorang Muslim percaya bahwa seluruh kehidupan berada dalam kendali Allah Yang Maha Baik. Tidak ada takdir yang sia-sia, tidak ada kenikmatan yang datang tanpa kasih sayang, dan tidak ada musibah yang terjadi tanpa hikmah. Optimisme bukan sekadar perasaan positif, tetapi keyakinan spiritual bahwa:
a. Masa depan bisa berubah jika kita berubah.
b. Hidup akan membaik jika kita berusaha.
c. Kesulitan tidak akan selamanya, karena “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5–6)
d. Setiap langkah menuju kebaikan akan dibalas oleh Allah dengan pahala dan keberkahan.
Memasuki tahun baru, seorang Muslim harus memiliki tiga komitmen:
1. Berubah ke arah yang lebih baik. Tidak cukup berharap, tetapi harus memperbaiki kebiasaan, mengurangi kesalahan, dan memperkuat amal.
2. Membaikkan diri dan lingkungan. Orang beriman adalah sumber manfaat. Jika ia baik, keluarganya membaik; jika keluarganya baik, masyarakatnya membaik.
3. Memperkuat iman dan hubungan dengan Allah. Karena sebaik-baik bekal menyongsong masa depan adalah hati yang teguh, jiwa yang bersih, dan iman yang kuat.
Optimisme bukan berarti mengabaikan masalah hidup, tetapi melihat bahwa ada cahaya di balik gelapnya ujian. Ia adalah sikap batin bahwa selama Allah bersama kita, tidak ada yang perlu ditakutkan. Pesan Moral dan Aksi Konkret untuk Masyarakat: Fenomena bencana alam tidak hanya menjadi peristiwa fisik yang merusak lingkungan dan merenggut korban, tetapi juga mengandung pesan moral yang mendalam bagi manusia.
Dalam perspektif pendidikan dan religiusitas, setiap bencana adalah pengingat tentang keterbatasan manusia, pentingnya introspeksi, serta kebutuhan untuk menjaga alam sebagai amanah Tuhan. Oleh karena itu, pesan moral ini perlu diterjemahkan menjadi aksi nyata baik bagi individu, keluarga, masyarakat, maupun pemerintah antara:
1. Menjadikan setiap fenomena alam sebagai cermin diri.
2. Menjaga hati dari kesombongan terhadap teknologi dan pencapaian dunia.
3. Mendidik anak untuk peka terhadap lingkungan dan fenomena alam.
4. Menanamkan kesabaran, syukur, dan empati.
5. Mengurangi kerusakan lingkungan (deforestasi, sampah, polusi).
6. Memperkuat kesiapsiagaan bencana.
7. Menumbuhkan budaya gotong royong dan kepedulian sosial.
Fenomena alam yang terjadi di sekitar kita bukanlah sekadar pergerakan fisik bumi, angin, air, atau api. Lebih dari itu, setiap kejadian alam merupakan ayat-ayat kauniyah, tanda kebesaran Allah yang mengajak manusia untuk merenung, memperbaiki diri, dan menjadi insan kamil, manusia paripurna yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Dari bencana kita belajar tentang keterbatasan, dari hujan kita belajar tentang kasih sayang, dari angin kita belajar tentang kekuatan, dan dari semua itu kita temukan pesan Ilahi agar kita semakin dekat kepada-Nya.
Menjelang pergantian tahun, momen ini menjadi kesempatan emas untuk melakukan muhasabah. Ini adalah titik balik yang tepat bagi setiap insan untuk memperbaiki niat, memperbarui komitmen, dan meningkatkan kualitas hidup baik secara spiritual, moral, maupun sosial. Pergantian tahun bukan hanya tentang perubahan kalender, tetapi perubahan diri: dari lalai menjadi sadar, dari cuek menjadi peduli, dari biasa-biasa menjadi lebih baik.




