Oleh: Dr. H. Achmad Ruslan Afendi, M.Ag
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) merupakan salah satu instrumen sosial, keagamaan paling strategis dalam membangun harmoni lintas iman di Indonesia. Di tengah transformasi abad ke-21 yang ditandai globalisasi, kecerdasan buatan, pergeseran geopolitik, dan intensitas interaksi antarbudaya yang semakin tinggi, keberadaan FKUB bukan hanya relevan sebagai wadah dialog, tetapi juga sebagai model “civic peace-building” yang dapat menjadi inspirasi bagi dunia.
Indonesia yang terkenal dengan pluralitas agama dan etnis memberikan laboratorium sosial yang konkret: perbedaan tidak perlu melahirkan konflik, tetapi bisa menjadi modal sosial menuju peradaban damai.
Mengapa FKUB Strategis bagi Peradaban Abad 21
Ada lima alasan utama:
Globalisasi dan migrasi memperluas ruang perjumpaan antaragama: Polarisasi, konflik identitas, dan politik sektarian menjadi ancaman. FKUB menawarkan mekanisme institutionalized dialogue yang terstruktur.
Era digital menimbulkan disrupsi informasi agama: Hoaks, ujaran kebencian, dan radikalisme online membutuhkan respon berbasis edukasi lintas agama yang sistematis, yang dapat dilakukan oleh FKUB melalui literasi digital keagamaan.
Demokrasi menuntut keterlibatan masyarakat sipil: FKUB berperan sebagai mediator antara negara, masyarakat, dan otoritas keagamaan untuk merawat public sphere yang damai.
Ekonomi global butuh stabilitas sosial: Kerukunan adalah syarat perkembangan pembangunan dan investasi.
Paradigma peradaban abad 21 berorientasi pada human dignity: Nilai-nilai empati, toleransi, dan multikulturalisme menjadi inti kecakapan global citizenship.
Dengan demikian, FKUB bukan hanya forum lokal; ia adalah platform civilizational strategy: engolah keragaman menjadi aset kemajuan.
Pandangan Para Pakar Dunia yang Relevan
Walaupun para pakar global mungkin tidak secara spesifik menyebut FKUB, namun gagasan mereka mendukung prinsip yang diemban forum ini.
1. Hans Küng (Ahli Teologi dan Dialog Antaragama)
Gagasannya Global Ethic menyatakan:
“Tidak akan ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama. Tidak akan ada perdamaian antaragama tanpa dialog antaragama.” Ide Küng selaras dengan mandat FKUB: membangun platform dialog terinstitusionalisasi.
2. Amartya Sen (Ekonom & Peraih Nobel)
Sen menekankan bahwa identitas manusia bersifat plural, bukan tunggal.
Ia mengingatkan bahaya reductive identity yang mempersempit manusia menjadi satu label keagamaan. FKUB berfungsi melawan simplifikasi identitas tersebut melalui ruang interaksi antar warga lintas iman.
3. John L. Esposito (Pakar Hubungan Islam-Barat)
Esposito sering menulis tentang bridging misunderstanding antara agama melalui komunikasi publik dan kebijakan inklusif. Dalam konteks Indonesia, FKUB adalah perwujudan konkret dari pendekatan constructive engagement.
4. Kofi Annan (Mantan Sekjen PBB)
Ia mendukung Alliance of Civilizations, sebuah inisiatif global yang mirip semangat FKUB: membangun jembatan pemahaman lintas agama, etnis, dan budaya sebagai fondasi perdamaian.
5. Karen Armstrong (Teolog & Penulis Sejarah Agama)
Melalui konsep compassion, Armstrong menegaskan agama harus menjadi energi empati. FKUB bisa mengemban mandat kompas moral ini dalam ruang sosial-politik Indonesia.
Strategi FKUB untuk Konteks Abad 21
1. Transformasi Digital Kerukunan: kampanye literasi keagamaan online, kontra narasi ekstremisme digital, platform virtual interfaith dialogue.
2. Diplomasi Agama Lokal-Global: FKUB bisa bermitra dengan organisasi internasional, menjadi model Indonesian interfaith diplomacy.
3. Rekonstruksi Moderasi Beragama: bukan sekadar toleransi pasif, tetapi mutual respect dan coexistence.
4. Kolaborasi Multisektor: Pemerintah, lembaga keagamaan, komunitas akar rumput, perguruan tinggi.
5. Pendidikan Kerukunan: kurikulum multikultural, pelatihan guru dan penyuluh agama, program FKUB Goes to School/Campus, FKUB merupakan salah satu inovasi sosial paling penting di Indonesia yang memiliki potensi global.
Ia bukan sekadar forum administratif, melainkan strategi peradaban: membangun narasi bahwa keberagaman eksistensial umat manusia dapat dikelola dengan martabat, bukan curiga dan permusuhan.





