Dr. Muadin: Moderasi Beragama Sudah Ada Sejak Zaman Nabi Muhammad Saw

Berita10,447 views
SAMARINDA, UINSI NEWS,- Kepala pusat Moderasi Beragama Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda, Dr Akhmad Muadin, M.Pd menyikapi tantangan implementasi moderasi beragama di Indonesia, lantaran menguatnya radikalisme, klaim kebenaran tunggal dan penolakan atas perbedaan identitas.

Hal tersebut diutarakan Muadin saat dirinya wawancara oleh Humas UINSI Samarinda di ruang kerjanya bertempat di Rektorat Kampus 2 Jl HAM Rifaddin Harapan Baru Loajanan Ilir, pada Rabu (12/1/2022).

Menurut Muadin, jika bicara Moderasi Beragama, tentu tak terlepas dari Hak Asasi Manusia (HAM)

“Saya ingin berangkat dari HAM, ini sudah dikenal sejak zaman Nabi Muhammad SAW, faktanya Islam sudah terlebih dahulu mengenal apa yang disebut dengan HAM, hal ini dibuktikan dengan adanya Piagam Madinah tahun 622 M, tahun 632 M Nabi Muhammad SAW menyampaikan pidato yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Arafah, merupakan dokumen tertulis pertama yang berisi nilai, wacana, dan konsensus HAM,” ujarnya.

Sementara itu, kata Muadin, dunia internasional baru mengenal HAM ribuan tahun setelah adanya konsep HAM dalam dunia Islam yang sudah ada sejak Abad ke VII. Secara universal, dunia internasional mengenal HAM baru pada tahun 1948. Sebaliknya Islam telah mengenalnya lebih kurang 1316 sebelumnya. Oleh karena itu sejatinya HAM bukanlah hal yang baru, Islam sudah mengenal HAM sejak ribuan tahun yang lalu.

“Sebelum hijrah ke Madinah (Yasrib), telah banyak penduduk kota ini memeluk agama Islam. Penduduk Madinah terdiri dari suku-suku bangsa Arab dan bangsa Yahudi yang saling berhubungan dengan baik. Dari bangsa Yahudi tersebut suku-suku bangsa Arab sudah mengenal Tuhan, agama Ibrahim, dan sebagainya,” jelasnya.

Dasar konsep keimanan inilah, lanjut dia, yang memudahkan mereka menerima ajaran Islam. Kedatangan Nabi Muhammad SAW bersama kaum muslimin dari Makkah disambut penduduk Madinah dengan gembira dan penuh rasa persaudaraan.Kaum muslimin mendapat lingkungan baru yang bebas dari ancaman kaum Quraisy Makkah.

Akan tetapi, lingkungan baru tersebut ternyata bukanlah lingkungan yang sepenuhnya kondusif dan tidak memiliki masalah.

Masalah mendasar yang dihadapi pada saat hijrah dari Makkah ke  Madinah adalah perbedaan latar belakang sosial dan tantangan sosial kaum Muhajirin dan Anshar, serta problem perbedaan identitas keberagamaan di dalamnya.  Kaum Anshar memang dengan ikhlas menerima kaum Muhajirin, namun kehidupan social kaum Muhajirin juga patut dikelola agar tidak menjadi beban kaum Anshar.

Nabi Muhammad SAW sendiripun memerlukan tempat tinggal yang sekaligus berfungsi sebagai pusat kegiatan bersama, dalam rangka membimbing masyarakat baru di Madinah.

Selain hal itu, Nabi Muhammad SAW dan kaum Muhajirin juga menghadapi kenyataan dan tantangan baru dengan hijrah dari Makkah ke Madinah, yakni kenyataan untuk hidup berdampingan bersama masyarakat suku bangsa Arab yang belum masuk Islam dan kaum Yahudi yang sudah menjadi penduduk Madinah.

Kaum Yahudi sebagai penduduk asli Kota Madinah, tentu kurang nyaman dengan terbentuknya masyarakat baru kaum muslimin. Potensi disintegrative dan ancaman kaum Quraisy Makkah yang sewaktu-waktu dapat datang menyerbu, merupakan kenyataan lainnya yang tidak dapat diabaikan.
Menghadapi perbedaan identitas sosial kaum Muhajirin dan Anshar, Nabi Muhammad SAW memberikan solusi “moderatisme” yang sangat tepat.

Nabi Muhammad SAW berusaha menyatukan potensi dan kekuatan yang ada dengan semangat menyusun suatu masyarakat baru sebagai kesatuan sosial dan politik yang terus berkembang untuk menghadapi segenap tantangan dan rintangan yang berasal dari dalam dan luar.

Jalan moderatisme Nabi Muhammad SAW jelaslah banyak mengalami tantangan, kaum Anshar dan kaum Muhajirin disatukan dari latar yang berbeda secara geografis, keimanan, dan adat istiadat. Sebelum bersatu membentuk masyarakat Islam baru di Madinah, kaum Muhajirin adalah suku bangsa yang terbiasa dan kerap “berselisih” dan kemudian Hijrah ke Madinah, mereka berhadapan dengan masyarakat Madinah lainnya yang belum memeluk agama Islam dan bangsa Yahudi yang merupakan masyarakat lebih awal menetap.

Bukan tidak mungkin, orang-orang Yahudi tersebut berusaha untuk merintangi, bahkan menghancurkan pembentukan masyarakat baru kaum muslimin. Begitu pula dengan kaum lainnya, yaitu kaum musyrikin Makkah yang merupakan ancaman yang harus selalu dihadapi dengan kewaspadaan penuh.

“Atas segala kerumitan relasi dan potensi perpecahan sosial tersebut, Nabi Muhammad SAW menulis sebuah perjanjian untuk membangun dan mengikat perpaduan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Kaum Yahudi Madinah (dari suku Aus dan Khazraj) juga turut menandatanganinya,” pungkas. (humas/i)