SAMARINDA, UINSI NEWS,- UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda mengukuhhkan Prof. Dr. Bambang Iswanto, M.H. sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Ekonomi Syariah, di Auditorium 22 Dzulhijjah Kampus 2 UIN Sultan Aji Muhammad Idris Samarinda. Sabtu (2/3).
Pada Sidang Senat Terbuka tersebut, Prof. Bambang di hadapan Direktur PTKI Kemenag RI, Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag. sampaikan pidato pengukuhannya yang berjudul “Artificial Intelligence: Urgensi Pengaturan Dan Tantangannya Di Bidang Industri Halal”.
Prof. Bambang menekankan penggunaan Artificial Intelligence (AI) dalam industry halal. AI yang merupakan bentuk perkembangan teknologi masa kini tentu membawa kemudahan tersendiri namun di saat bersamaan memberi tantangan dalam aktivitas ekonomi khususnya Industri Halal yang perlu disikapi dengan bijak.
Ruang lingkup industri halal (halal industry) tidak hanya soal makanan, melainkan melebar pada hal-hal yang sangat luas: mulai dari wisata, obat, kosmetik, pakaian, keuangan. Keluasan tersebut menyebabkan ada yang percaya, bahwa industri halal mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dalam suatu negara.
Salah satu riset yang diterbitkan foods tahun 2023 menampilkan, terdapat peningkatan kesadaran konsumen membeli produk halal yang berimbas pada semakin pedulinya produsen menerapkan standar-standar terhadap produk yang mereka keluarkan. Sederhananya, telah terjadi semacam wabah industri halal.
Bukti wabah industri halal, salah satunya, dapat disaksikan di negara-negara yang agama Islam menjadi minoritas. Negara-negara seperti Thailand, Australia, Jepang, Inggris, kebutuhan kesediaan barang-barang halal berkembang pesat.
Negara Thailand yang mayoritas menganut agama Budha, mengekspor enam miliar dollar produk halalnya diberbagai negara, dan sertifikasi halal di Thailand diakui secara nasional. Lebih menarik, Thailand berencana menjadi Halal Kitchen of the World.
Populasi Australia yang berjumlah dua puluh lima juta jiwa, dan memiliki penduduk mayoritas Kristen mendapat julukan eksportir produk halal nomor satu di dunia. Australia memasok produk konsumsinya ke sejumlah negara muslim dan negara-negara yang tergabung dalam Organisation of Islamic Cooperation.
Berbagai fakta di atas menunjukan, bahwa industri halal bukan lagi semacam tuntutan terhadap orang-orang Islam. Industri halal menjadi komoditas tersendiri, dan setara dengan industri yang lain. Industri halal telah menjadi gaya hidup, pula memiliki nilai ekonomi dan keuntungan sangat tinggi. Secara singkat, industri halal tidak hanya sebatas bukti kepatuhan terhadap agama, melainkan upaya untuk menawarkan produk-produk baru yang pada satu sisi mengikuti nafas agama, memiliki nilai jual tinggi dan keuntungan tinggi ekonomi pada sisi lainnya.
Penentuan industri halal terletak pada sertifikasi – berikut proses yang ada di belakangnya. Di Indonesia, sertifikasi halal menjadi perhatian pemerintah sangat serius. Buktinya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah – melalui kewenangannya sebagai pemegang fungsi legislasi – melahirkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (UU 33/2014). Cetak biru UU 33/2014, mewajibkan bagi siapa saja yang bergerak di bidang produksi barang dan jasa memastikan kehalalan suatu produk. Sekalipun pernah disoalkan oleh orang di luar Islam, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah membuat putusan bahwa kewajiban yang terdapat dalam UU 33/2014 yang mengharuskan jaminan produk halal, tidak bertentangan dengan konstitusi. Bahkan hal demikian merupakan perwujudan dari tanggung jawab negara. Pada bagian lain, MK menukilkan bahwa pemastian produk halal, yang salah satunya ditandai kewajiban mencantumkan logo hal sebagaimana diatur dalam UU 33/2014, merupakan perwujudan keterbukaan informasi seperti digariskan oleh konstitusi republik Indonesia.
Sertifikasi halal menjadi palang pintu bergeraknya industri halal. Proses sertifikasi halal, menurut UU 33/2014, melibatkan tiga di tambah satu pihak secara bersamaan, antara lain: Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJH), Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan MUI (dan Komite Fatwa Produk Halal). Keempat institusi penting ini menjadi penentu arah dan status suatu produk, barang, dan jasa. Jika dianalogikan dengan organ tubuh, sertifikasi halal adalah jantung yang menentukan “hidup-mati” suatu produk. Di Malaysia, dikembangkan sistem cepat sertifikasi halal (system fast track). Pemohon dapat segara mengetahui status terhadap barang yang diproduksinya dari satu bulan, dua minggu, tiga hari, sampai satu hari.
Kita dapat belajar dari proses sertifikasi halal di Malaysia. Kecepatannya dalam memberi status pada suatu produk, akan berguna untuk kepentingan industri halal di Indonesia. Kecepatan dalam proses sertifikasi halal berguna meningkatkan pertumbuhan dan nilai tinggi ekonomi. Kecerdasan buatan dapat menjadi “wasilah” untuk niat tersebut. Sekalipun demikian, seberapa besar kecerdasan buatan mampu menjamin sertifikasi halal suatu produk. Selain itu, bagaimana jika AI memiliki kesalahan dalam proses analisis sertifikasi halalnya. Hingga pidato ini disampaikan, belum ada pengaturan khusus yang mendesain hal ihwal dimaksud. Untuk itu, seberapa penting sebenarnya pengaturan soal AI dikaitkan dengan sertifikasi halal.
Sekarang persoalannya, bagaimana hukum kecerdasan buatan yang dimanfaatkan mendukung industri halal, khususnya pada tahap proses sertifikasi. Jawaban dari pertanyaan ini nampak sederhana, yaitu selama, misalnya, tidak bertentangan dengan syariat maka hukumnya boleh. Tapi pertanyaan tersebut sebenarnya lebih tinggi ekspektasinya, yakni bagaimana AI salah dalam mengidentifikasi suatu produk, seperti: aslinya haram menjadi halal atau sebaliknya – contoh lain: AI tidak dapat mendeteksi apakah “ayam” telah dibacakan nama Allah sebelum disembelih. Kesalahan itu dibebankan kepada siapa? Sebab subjek yang melakukannya bukan manusia, melainkan mesin, komputer atau perangkat sejenisnya. Padahal di dalam ilmu hukum dikenal, bahwa subjek hukum haruslah orang atau badan.
Niat baik mengiringi perkembangan AI melalui hukum (undang-undang), tentu saja, mendapat catatan kritis. AI Act perlu waktu kurang lebih dua tahun sejak pertama kali diajukan tahun 2021, dan disetujui akhir tahun 2023. AI Act tidak ternyata tidak berjalan mulus. Perlu pergulatan panjang, dan dinamika sampai akhirnya disahkan. Dalam konteks Indonesia, khususnya industri halal, nampaknya pula akan mengalami jalan terjal. Hambatannya paling tidak ada dua level: proses legislasi dan penegakan.
Sekalipun jalannya berliku, usaha mengiringi perkembangan kecerdasan buatan, khususnya di wilayah industri halal, tetap harus direnungkan. Alih-alih skeptis, pergulatan gagasan dan ide harus selalu ditampilkan di atas permukaan. Sebab, pengaturan ihwal kecerdasan buatan yang dimanfaatkan demi kepentingan industri halal, belum cukup mampu mengatasi bilamana efek negatifnya muncul. KUHP dan UU ITE masih terlalu sumir untuk menangkalnya.
AI Act yang telah dilahirkan di Eropa, dapat menjadi rujukan atau pijakan dasar guna mendorong legislasi AI untuk industri halal. Agar memiliki basis legitimasi hukum yang kuat, pengaturan kecerdasan buatan yang digunakan untuk industri halal, dalam batas penalaran wajar, harus dimuat dalam bentuk undang-undang. Materi yang terkandung dalam undang-undang memungkinkan untuk, tidak hanya memuat aspek etika, melainkan pula mendesain konsep pidana dan denda yang pas. Tujuannya, agar industri halal tetap terjamin tidak menyimpang dari ketentuan syariah, sekalipun melibatkan kemampuan kecerdasan buatan. Pula menunjukan, negara tampil untuk menjaga dan menjamin warga negaranya untuk beribadah dan meyakini agamanya. Sebab hal tersebut – salah satunya industri halal – bagian dari hak yang dijamin konstitusi.
Di akhir pidato pengukuhannya, Prof. Bambang sampaikan pesan motivasi dengan kalimat “Hal yang mustahil bisa menjadi nyata”.
“Jangan putus ikhtiar sebelum takdir itu datang menghampiri, berdoa dan terus berupaya insyaallah kalau itu rejekinya maka tidak akan kemana.” (Humas/ns)