Peristiwa Isra-Mi’raj, yang diabadikan dalam Surah Al-Isra’ ayat 1, sering dipahami sebagai perjalanan spiritual Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan kemudian naik ke langit. Namun, dimensi sosial dari peristiwa ini sering kali terabaikan.
Kembalinya Rasulullah SAW dari Isra-Mi’raj bukan hanya menandai berakhirnya perjalanan spiritual, tetapi juga menjadi awal dari misi sosial yang lebih luas. Tulisan ini akan mengkaji secara mendalam bagaimana kembalinya Rasulullah dari Isra-Mi’raj dapat menjadi refleksi untuk membangun jiwa sosialita, yaitu sikap peduli, empati, dan tanggung jawab terhadap masyarakat. Selain itu, tulisan ini juga akan membahas tantangan-tantangan yang dihadapi dalam mewujudkan jiwa sosialita tersebut.
Isra-Mi’raj dalam Perspektif al-Qur’an dan Hadis.
“Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Al-Isra’: 1).Ayat ini menunjukkan bahwa perjalanan Isra’ bukan hanya bersifat fisik, tetapi juga mengandung dimensi spiritual dan sosial. Menurut Quraish Shihab (2002, hlm. 45), peristiwa Isra-Mi’raj mengajarkan tentang pentingnya melihat realitas sosial dan spiritual secara seimbang. Perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa melambangkan perpindahan dari pusat keimanan (Mekah) ke pusat peradaban (Palestina), yang menegaskan pentingnya integrasi antara keimanan dan tanggung jawab sosial.
Refleksi Kembalinya Rasulullah dari Isra-Mi’raj
- Transformasi Spiritual Menuju Kesadaran Sosial
Kembalinya Rasulullah SAW dari Isra-Mi’raj menandai transformasi spiritual yang mendalam. Namun, transformasi ini tidak berhenti pada level individu, melainkan meluas ke level sosial. Menurut M. Abul Quasem (1979, hlm. 78), kembalinya Rasulullah dari Isra-Mi’raj membawa pesan tentang pentingnya mengimplementasikan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sosial. Hal ini tercermin dalam perintah shalat lima waktu, yang tidak hanya sebagai ibadah ritual, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun disiplin dan kepedulian sosial. - Keadilan Sosial sebagai Pilar Jiwa Sosialita
Salah satu pesan utama dari kembalinya Rasulullah dari Isra-Mi’raj adalah pentingnya keadilan sosial. Dalam perjalanan Isra-Mi’raj, Rasulullah menyaksikan berbagai fenomena sosial yang menggambarkan ketidakadilan, seperti kemiskinan dan penindasan. Menurut Fazlur Rahman (1980, hlm. 112), al-Qur’an menekankan bahwa keadilan sosial adalah bagian integral dari keimanan. Kembalinya Rasulullah dari Isra-Mi’raj menjadi momentum untuk memperjuangkan keadilan sosial, sebagaimana tercermin dalam misi kenabiannya. - Empati dan Solidaritas sebagai Ciri Jiwa Sosialita
Kembalinya Rasulullah dari Isra-Mi’raj juga mengajarkan pentingnya empati dan solidaritas. Dalam perjalanan Mi’raj, Rasulullah bertemu dengan para nabi sebelumnya, yang melambangkan kesinambungan misi kenabian untuk membawa rahmat bagi seluruh alam. Menurut Seyyed Hossein Nasr (1996, hlm. 89), hal ini menunjukkan bahwa kepedulian sosial adalah bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. - Tanggung Jawab terhadap Lingkungan dan Masyarakat
Kembalinya Rasulullah dari Isra-Mi’raj juga mengajarkan tentang tanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat. Masjidil Aqsa, sebagai tujuan Isra’, melambangkan pentingnya menjaga kelestarian tempat-tempat suci dan lingkungan sekitar. Menurut Toshihiko Izutsu (2002, hlm. 67), al-Qur’an mengajarkan bahwa manusia adalah khalifah di bumi, yang bertanggung jawab untuk memelihara dan melestarikan alam.
Tantangan dalam Membangun Jiwa Sosialita
- Individualisme dan Materialisme
Salah satu tantangan terbesar dalam membangun jiwa sosialita adalah meningkatnya individualisme dan materialisme dalam masyarakat modern. Menurut Karen Armstrong (2006, hlm. 134), individualisme dapat mengikis rasa solidaritas dan kepedulian terhadap sesama. Hal ini bertentangan dengan pesan Isra-Mi’raj yang menekankan pentingnya empati dan tanggung jawab sosial. - Ketidakadilan Struktural
Ketidakadilan struktural, seperti kesenjangan ekonomi dan diskriminasi sosial, juga menjadi tantangan serius. Menurut Fazlur Rahman (1980, hlm. 115), al-Qur’an mengajarkan bahwa keadilan sosial harus diwujudkan melalui sistem yang adil dan inklusif. Namun, ketidakadilan struktural sering kali menghambat upaya untuk membangun masyarakat yang egaliter. - Kurangnya Kesadaran Kolektif
Kurangnya kesadaran kolektif tentang pentingnya kepedulian sosial juga menjadi tantangan. Menurut Quraish Shihab (2002, hlm. 60), banyak umat Islam yang masih memandang ibadah sebagai aktivitas individual, tanpa menghubungkannya dengan tanggung jawab sosial. Hal ini menghambat upaya untuk membangun jiwa sosialita yang kuat. -
Kesimpulan dan Harapan
Kembalinya Rasulullah SAW dari Isra-Mi’raj bukan hanya menandai berakhirnya perjalanan spiritual, tetapi juga menjadi awal dari misi sosial yang lebih luas. Melalui peristiwa ini, al-Qur’an mengajarkan pentingnya membangun jiwa sosialita, yang meliputi kesadaran akan keadilan sosial, empati terhadap sesama, dan tanggung jawab terhadap lingkungan. Namun, tantangan-tantangan seperti individualisme, ketidakadilan struktural, dan kurangnya kesadaran kolektif harus diatasi untuk mewujudkan jiwa sosialita yang ideal.
Harapannya, umat Islam dapat mengambil inspirasi dari kembalinya Rasulullah dari Isra-Mi’raj untuk membangun masyarakat yang lebih adil, peduli, dan bertanggung jawab. Dengan memahami dan mengimplementasikan pesan-pesan sosial dari Isra-Mi’raj, diharapkan dapat tercipta tatanan masyarakat yang lebih harmonis dan berkeadilan.