Skip to content
Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW merupakan satu di antara beberapa keistimewaan yang diberikan oleh Allah kepada Beliau. Mayoritas warga muslim dan muslimat di Indonesia memperingatinya sebagai bagian dari keberagamaan yang mengandung banyak hikmah dan dilaksanakan dengan variasi kegiatan. Sebagai salah satu wujud keberagamaan, peringatan peristiwa Isra dan Mi’raj tidak hanya didominasi oleh warga pedesaan namun juga oleh warga perkotaan. Fenomena tahunan ini dengan keragamannya mengisaratkan bahwa peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW bukan saja selalu menarik kaum awam bahkan kelas terpelajar sekalipun.

Berikut adalah beberapa pesan sentral dari peristiwa Isra dan Mi’raj ditinjau dari berbagai perspektif:

  1. Isra-Mi’raj dapat dipandang sebagai suatu barometer abdiyyah-ilahiyyah (bobot keimanan seorang hamba kepada RabbNya). . Di sini Allah menekankan kata kuncinya memulai firmanNya dengan kalimat “SUBHANA (MAHA SUCI).” Keyakinan dan pandangan bahwa Allah berkuasa mendesain suatu super extraordinary event (perjalanan dalam bentuk isra dan mi’raj) yang super eksklusif-tak ternilai, tak terukur dan tak terbatas dalam pandagan manusia, dan merupakan suatu hal yang super sederhana, super kecil dan super enteng di sisi Allah hanya mungkin dimiliki oleh mereka yang betul-betul kokoh keimanannya.
    Sebut saja, pada waktu itu adalah respon yang diberikan oleh sahabat Nabi bermana Abu Bakar. Dengan tanpa pertimbangan, Abu Bakar langsung membenarkan apa yang dituturkan oleh Nabi kepadanya. Keyakinan Beliau akan Allah dan kebenaran Nabi Muhammad yang sosoknya sudah lama dikenal olehnya membuat Beliau tidak sedikitpun meragukan kebenaran peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW. Inilah sosok As-Siddieq. Ibarat, diberi sepotong kue oleh Nabi Muhammad dan manakala mengetahui siapa orang yang memberi sepotong kue kepadanya itu. Dia tidak berpikir lagi untuk mengunyah potongan kue dimaksud akan tetapi langsung menelannya dengan suka cita. Kondisi ini tentu bertolak belakang dan tidak identik dengan fenomena perilaku asal bapak suka yang kadang-kadang mewarnai hubungan pekerjaan antara bawahan dan atasan serta dalam relasi sosial secara umum.
    Dan reaksi kontras ditunjukkan oleh seorang yang bernama Abu Jahal. Dilatar belakangi oleh kebencian terhadap Nabi Muhammad, Abu Jahal menjadikan persitiwa yang dialami oleh Nabi sebagai bahan ejekan sekaligus kesempatan berharga untuk menjatuhkan alias mengkritisi keberanan kenabian Nabi Muhammad. Kebencian dimaksud ditambah lagi dengan kacamata kemanusiaan alias aspek kesejarahan tentang lama waktu yang ditempuh untuk suatu perjalanan dari Mesjidil Haram di Mekkah ke Mesjidil Aqsho di Palestina (Yerussalem) membuat Abu Jahal meradang dan secara spontan mendustakan peristiwa dimaksud sembari memberi label kepada Nabi sebagai pemimpi. Kritik Abu Jahal dapat dijawab oleh Nabi. Diriwayatkan bahwa Allah membuka tabir (membuka layar) tentang kondisi riil wujud Mesjid al-Aqsho, sehingga Nabi dapat memaparkan secara detail akan keseluruhan bagian Mesjid al-Aqsho. Apapun jawaban dari Nabi tidak akan mempengaruhi karakter Abu Jahal yang sudah sangat kontra produktif dengan kenabian Nabi Muhammad. Karena latar belakang kebencian, iri dengki dan status sosial, Abu Jahal adalah sosok yang tidak mau tahu dan langsung menolak mencicipi seenak apapun kue kebenaran yang diberikan oleh Nabi Muhammad. Fenomena perilaku manipulatif, cuek, alergi bahkan tidak suka atas kebenaran yang ada dalam suatu realitas relasi sosial masih menjadi salah satu indikator kejahilian Abu Jahal yang masih eksis sampai sekarang.
    Ada minimal dua analisis kesejarahan yang bisa dijadikan acuan untuk menunjukkan kejahiliahan Abu Jahal dkk tentang peristiwa Isro. Meskipun demikian, analisis ini sangat tidak sepadan dengan peristiwa Isro dan Mi’roj apalagi dengan kekuasaan penciptaan alam semesta. Pertama adalah analisis kesejarahan jauh sebelum Isro dan Mi’roj terjadi. Dan kedua adalah analisis kekinian (mewakili peradaban moderen). Jauh sebelum perisriwa Isro ada peristiwa spektakuler, di antaranya peristiwa pemindahan istana Ratu Bilqis pada masa Nabi Sulaiman dalam sekejap mata oleh seorang hamba yang diberi pengetahuan oleh Allah, yaitu “Ashif bin Barkiyah.” Peristiwa dimaksud menjadi pembuktian akan kekuasaan Allah yang tak terbantahkan yang dipertontonkan melalui kemampuan hamba yang diberikanNya pengetahuan tertentu.
    Dalam konteks kekinian, misalnya adalah analisis atas kemampuan seseorang yang memiliki jam. Karena dia yang berkuasa atas jamnya, tentu saja dia dapat memutar waktu untuk beberapa jam hanya dalam hitungan detik. Begitulah contoh kalau dia berkuasa. Contoh kedua adalah kecanggihan teknologi moderen. Dengan bantuan teknologi, suatu instrumen kecil seperti TV dan HP sudah dapat memindahkan kejadian di suatu negara untuk dinikmati (ditonton) oleh penduduk di negara lain hanya dalam hitungan detik. Ini menjadi bukti perjalanan lintas dimensi. Mulai dari sistem telekomunikasi, pertelevisian, hingga alat komunikasi selular yang super canggih merupakan indikasi kebenaran yang dititipkan oleh Allah kepada manusia dan kepada alam raya. Penemuan kunci kebenaran melalui proses kajian panjang dan terus menerus atas beberapa fenomena kebenaran ilahiah dalam kitab suci, kebenaran sunnatullah di alam raya dan kebenaran insaniah (misalnya temuan akan makna, nilai, fungsi, bobot dan jenis spektrum tertentu dari “angka atau simbol 0”) mendasari kemampuan manusia merekayasa “perjalanan” lintas dimensi yang semakin mudah. Bagaimana mungkin satu nomor HP, misalnya bisa berfungsi kalau tidak ada angka 0 di depannya. Angak 0 itu bisa menjadi +62 di Indonesia, +9 di Arab Saudi, dlsb yang tak terhingga.
  2. Peristiwa Isro dan Mi’roj juga dapat dimaknai sebagai suatu wujud dari kecintaan (ihtimam, ta’ziem dan mahabbah), blessing (berkah), dan kepedulian sekaligus kemahakuasaan (laa yukayyaf walaa yuhad) Sang kholiq. Dia, Allah mendesain sarana kontekstual (wasilatun uzhmaa) bagi seorang hamba pilihan (kekasihnya) menuju hadiratNya (hablun minallah). Meskipun demikian, transpormasi nilai ta’zim (hablun minannaas) dari seorang anak keturunan terhadap tetua pengemban misi (para rasul dan nabi) diajarkan rabbNya melalui transit perjalanan di Baitul Maqdis. Diilustrasikan disinilah tempat perjumpaan akbar dengan ruh para Nabi dan Rasul. Di sini pulalah dapat dimaklumkan indikasi pengukuhan Nabi Muhammad SAW sebagai Sayyidu al-anbiya wa al-mursalin. Rihlah multidimensional yang dikehendakiNya (asraa bi’abdihi) mengisyaratkan pembuktian yang krusial akan arti penting adab yang diperjalankan terhadap yang memperjalankan. Di samping itu, peristiwa dimaksud memang menjadi legitimasi (pengakuan) bahwa rasul Muhammad SAW adalah sosok yang paling berhak mendapatkan sholawat (rahmat-hidayah-pertolongan) dariNya tak terbantahkan mengingat dialah (Muhammad SAW) yang menjadi pewujud seluruh syariat yang dikehendaki Allah. Kerinduan Allah, Sang Cinta terhadap kekasihnya (al-Habib) tergambar dari bagaimana Sang Cinta menggembirakan al-Habib setelah al-Habib menikmati beberapa persitiwa, yaitu berpulangnya kedua sosok yang dicintainya: Abu Thalib dan Siti Khadijah).
  3. Isra dan Mi’raj adalah satu2nya pertunjukan spektakular sepanjang sejarah kemanusiaan yang didesain dan disuguhkan dengan berbagai atribut dan aksesoris pilihan (linuriyyahuu min aayaatina) terbaik. Dan untuk mengarahkan, menjelaskan, dan membimbing kekasihnya, sosok guide teruji sekaligus nan dikdaya (Jibril As) diutus untuk menyukseskan rekayasa (qudrat dan iradatNya) tour beyond space (perjalanan menembus ruang tak terbatas). Jibril AS diperintahkan untuk melakukan purifikasi terhadap batin al-Habib (Sang Kekasih) bukan karena batin itu dihiasi titik noda melainkan semata tunduk pada perintah dan menambahkannya dengan cahaya kasih sayang yang meliputi semesta tubuh dan sepak terjangnya. Berikutnya, Jibril membawa misi untuk mengingatkan Sang Kekasih bahwa Beliau diminta menjumpai Sang Cinta dalam kesendiriannya dan hanya memanjakan kehendakNya. Rasul menjadi figur insan paripurna di mana kehendak rabbNya tak tergadaikan oleh apapun. Untuk menjumpai RabbNya. Nabi Muhammad harus meninggalkan kekuarga, sahabat, umat dan dunianya. Begitulah juga, ketika umatnya menjumpai Rabb maka tidak boleh terhalang bahkan membawa-bawa keluarga, sahabat, dan dunia. Sampai pada wilayah yang sudah ditentukan maka Jibril AS, sebagai guide sekaligus guru yang arif, tahu diri sembari mempersilahkan sang kekasih memasuki wilayah dimana tak ada seorangpun bahkan sang guide sekalipun dapat dan pernah memasukinya.
  4. Oleh-oleh perjalanan itu adalah suatu media (perintah sholat) yang wajib direalisasikan agar perjumpaan pada dimensi lainnya tetap berlanjut pada tujuh waktu sebagaimana hamparan yang dijelajahi dan disinggahi sang kekasih dalam perjalanan pendakiannya. Kenikmatan berada dipuncak kenikmatan (berjumpa denga Rabb) tidak membuat Sang Kekasih terlena dan melupakan misi suci. Di tengah perjalanan pulang, Sang Kekasih dipertemukan dengan Sang Kalimullah (Nabi Musa AS). Sang Kalimullah adalah figur yang dalam hidupnya sangat merindukan untuk dapat berjumpa (melihat Rabb). Mendapatkan kenyataan bahwa di depan Beliau ada Sang Kekasih yang diberikan nikmat paling besar, yakni berjumpa dengan RabbNya, maka kenikmatan menyaksikan wajah yang sudah bertemu RabbNya tidak disia-siakannya. Keinginan untuk mendapatkan kembali nikmat dibalik kemuliaan wajah yang menyaksikan RabbNya menggelora sedemikian rupa sampai-sampai harus meminta Nabi Muhammad bolak-balik menjumpai Rabb tentang perintah sholat itu. (Wallohu A’lamu bish-Showaab).
  5. (Asssholaatu mi’rajul mukminien). Di dalam sholat terdapat aktivitas yang disebut sujud. Sujud adalah salah satu bukti bahwa kita dididik untuk ikhlas dan ridha menginfaqkan diri dengan seluruh atribut aksesorisnya. Kepala (jidat alias dahi maupun sumber kekuatan hidup manusia, dalam hal ini adalah potensi fikir) sebagai lambang kehormatan diri dan keistimewaan manusia) tunduk merendah diri padanya. Berbagai simbol keangkuhanpun rontok dihadapanNya. Kemampuan untuk mendengar, melihat, berbicara dan apapun yang terdapat di wajah kita tanpa rasa sungkan dengan sendirinya tunduk menghadapnya. Pun tangan untuk berkarya dan kaki untuk melangkah merendah di hadapan Yang Maha Agung. Tangan dan kaki, keduanya merupakan kekuatan untuk membangun tonggak kehidupan seirama mengikuti gerak anggota tubuh lainnya, pasrah pada titahnya. Di sini qalbu dan pikiran mendapatkan tantangan dari waswas yang akan menodai bukti ketundukan seorang hamba.
  6. Pertanyaannya. Mengapa nilai & bukti konkret dari potret sujud kita masih belum tergambar dalam keseharian? Kualitas dan nilai sujud seperti tergambar di atas hanya mungkin terealisasi apabila seseorang sudah menegakkan tauhid dengan benar, yakni mengakui akan kebesaran dan kemahakuasaan Allah (Allaahu Akbar) sembari memohon pertunjuk dan pertolongan Allah (iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin-ihdinashshiroothol mustaqiem) dan meluruskan orientasi dan mempercantik etika dalam beribadah (menjumpai Rabb) dengan pengakuan sebagai buah dari tauhid yang mantap di atas melalui statemen: “inna sholaatie wa nusukie wa mahyaya wa maamatie lillahi rabbil ‘aalamien.” Namun kenyataannya, kita masih terlalu sombong dan malu untuk mengakui bahwa kinerja semesta tubuh (fisik) ini tak akan bermakna apabila belum berkarya sesuai kehendak dan gran desain penciptaanNya dengan cara, antara lain, membumikan nilai ibadah, nilai amanah, nilai tabsyir dan nilai rahmat dalam keseharian hablun minannaas.
  7. Akhirnya, marilah kita berlomba menjadikan seluruh potensi yang melekat dan yang diberikan sang kholiq kepada diri kita sebagai bagian dari sarana kontekstual yang senantiasa terpanggil dan dipanggilNya dengan kendaraan pilihannya (nafsul muthmainnah) untuk setiap saat menjumpaiNya, menyenangkankanNya (roodhiyyatan mardhiyyah-rodhiyallahu anhum warodhu anhu).

—Wallohu A’lamu Bish-Showaab—

LANGUAGE»
× Hubungi Kami