Merawat Amanah Kemerdekaan melalui Kesetaraan Gender

Setiap tanggal 17 Agustus, kita merayakan kemerdekaan Republik Indonesia dengan gegap gempita. Namun, di balik semangat itu, pertanyaan penting muncul: Apakah kemerdekaan yang kita rayakan sudah benar-benar dirasakan semua warga bangsa, termasuk di ruang-ruang kampus? Kemerdekaan sejati tak hanya berarti terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga terbebas dari diskriminasi, termasuk diskriminasi gender di dunia pendidikan tinggi.

Pada 1945 lalu, bangsa ini memperjuangkan kemerdekaan dari kolonialisme. Hari ini, perjuangan kita bergeser ke medan yang berbeda: memastikan semua warga, tanpa memandang gender, memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, mengajar, dan memimpin di perguruan tinggi. Kampus, sebagai pusat ilmu dan pemikiran kritis, seharusnya menjadi contoh nyata dari kemerdekaan yang inklusif.

Berdasarkan Statistik Pendidikan Tinggi Kemendikbud 2023, mahasiswa perempuan kini mencakup ±52% dari total populasi mahasiswa, bahkan di beberapa program studi sosial jumlahnya mendominasi. Sedangkan menurut data Statistik Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam 2023, jumlah mahasiswa Perempuan ±58% dari jumlah mahasiswa PTKIN. Namun, data yang sama menunjukkan hanya ±14% profesor di Indonesia adalah perempuan. Penelitian Marini & Andriany (2024) mengungkapkan bahwa posisi strategis seperti rektor atau dekan perempuan hanya berada di kisaran 18–22%. Di bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika), partisipasi perempuan hanya ±30% (UNESCO, 2022) sedangkan di bidang Pendidikan dan sosial keagamaan jumlahnya bisa mencapai ±70%. Hambatan ini bukan sekadar masalah jumlah, tetapi juga mencerminkan bias struktural, beban ganda, dan minimnya akses ke jejaring profesional yang dihadapi perempuan di kampus (Suryadi & Priyanto, 2021).

Tantangan di lapangan banyak kampus di Indonesia masih terikat oleh budaya patriarki yang menempatkan perempuan pada peran tradisional. Sistem promosi akademik kerap tidak mempertimbangkan beban domestik yang sering kali lebih besar bagi perempuan (Hakim & Utami, 2020). Hal ini menghambat perempuan untuk naik ke posisi puncak, meski secara akademik mereka setara atau bahkan lebih unggul.

Jika kita mengingat Sejarah yang tercatat bahwa perjuangan kemerdekaan RI tidak hanya diisi oleh laki-laki. Tokoh seperti Cut Nyak Dien, Rasuna Said, dan Kartini membuktikan bahwa perempuan memiliki peran vital dalam membentuk bangsa ini. Semangat mereka relevan dengan perjuangan perempuan masa kini yang berjuang untuk kesetaraan di ruang akademik.

Sebagai kampus yang berlandaskan nilai-nilai Islam, Perguruan Tinggi Keagamaan memikul amanah ganda: mengembangkan ilmu pengetahuan dan menegakkan prinsip-prinsip ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Al-Qur’an telah menegaskan kesetaraan martabat manusia dalam QS. Al-Hujurat:13 bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari asal yang sama dan yang paling mulia di sisi Allah hanyalah yang paling bertakwa. Sejarah Islam pun mencatat perempuan-perempuan ulama yang berperan besar, seperti Aisyah r.a., yang menjadi rujukan utama hadis dan fiqih, atau Fatimah al-Fihri, pendiri universitas tertua di dunia (Al-Qarawiyyin, Maroko). Dengan menghidupkan kembali semangat tokoh-tokoh ini adalah bentuk dakwah intelektual yang memperkuat citra Islam sebagai agama yang adil dan inklusif.

Solusi & Saran: Menuju Kampus Responsif Gender dan Inklusif Sosial

Integrasi Gender Mainstreaming dalam Kebijakan Kampus

Memasukkan perspektif gender dalam semua kebijakan akademik dan non-akademik, mulai dari penerimaan mahasiswa, rekrutmen dosen, RPS Pembelajaran, hingga promosi jabatan, dengan menunjuk gender focal point di setiap fakultas.

Kebijakan Afirmasi Kepemimpinan Perempuan

Menetapkan target minimal keterwakilan perempuan di posisi strategis dan memberikan pelatihan kepemimpinan khusus bagi dosen perempuan.

Fasilitas Pendukung Kesetaraan

Menyediakan ruang laktasi, penitipan anak, jam kerja fleksibel, dan dukungan penelitian bagi dosen perempuan, terutama support bagi dosen yang kembali aktif setelah cuti melahirkan.

Pelatihan Kesadaran Gender & Inklusi Sosial

Mendukung terselenggaranya workshop rutin tentang bias gender, pelecehan seksual, dan diskriminasi berbasis identitas, serta memperkuat Unit Layanan Kekerasan Seksual dan menjalankan SOP yang jelas.

Penguatan Data & Monitoring

Membangun sistem data gender kampus untuk memantau rasio mahasiswa, dosen, kepemimpinan, dan publikasi berdasarkan gender, dengan laporan tahunan yang transparan atau data pilah Gender.

Kolaborasi & Jejaring Inklusif

Menghubungkan kampus dengan organisasi perempuan, LSM, dan jaringan internasional untuk pertukaran best practices, serta menyelenggarakan forum tahunan kesetaraan gender.

Pendekatan Interseksional

Memastikan kebijakan kampus mempertimbangkan keragaman latar belakang mahasiswa dan dosen, termasuk disabilitas, etnis minoritas, dan status ekonomi.

Kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun seharusnya menjadi momentum untuk menegaskan kembali komitmen kita terhadap kesetaraan. Sebagai Perguruan Tinggi keagamaan, komitmen ini bukan hanya tuntutan sosial, tetapi juga panggilan iman. Kemerdekaan sejati bukan hanya tentang terbebas dari penjajahan, tetapi juga tentang bebas untuk bermimpi, belajar, dan memimpin tanpa dibatasi oleh gender. Kampus yang responsif gender dan sosial inklusif adalah wujud nyata dari Islam yang membawa iko rahmat bagi semesta.

Penulis : Rumainur, M.Pd.I

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»