Perempuan yang Berlawan

Prof. Dr. Abzar Duraesa

(Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah UINSI Samarinda)

Dalam setiap momentum Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK), yang dulu dikenal dengan nama OSPEK, tersimpan semangat besar tentang lahirnya generasi baru intelektual muda. Di balik riuh rendah suara dan barisan mahasiswa baru yang berbaris rapi, ada tradisi luhur pewarisan nilai-nilai idealisme kaum muda yang terus dijaga oleh para senior mereka.

Semangat yang sama juga tampak begitu kuat dalam PBAK Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) Universitas Islam Negeri Sultan Aji Muhammad Idris (UINSI) Samarinda, yang digelar pertengahan mulai 18-19 dan 25-26 Agustus 2025 lalu.

Kegiatan yang berlangsung di Auditorium 22 Zulhijjah Kampus UINSI tersebut mengambil tema “Revitalisasi Ideologi Mahasiswa yang Bebas, Kreatif dan Berintegritas”, dan diikuti 300-an orang peserta.

Di sana, saya menyaksikan betapa mahasiswa baru disambut bukan hanya dengan agenda akademik, tetapi juga dengan penguatan nilai perjuangan, kebersamaan, dan kepedulian sosial yang menjadi identitas sejati dunia kemahasiswaan.

Seruan lantang seperti “Hidup Mahasiswa!”, “Hidup Rakyat!”, hingga “Hidup Perempuan yang Berlawan!” bukan sekadar jargon kosong yang diteriakkan di lapangan, melainkan gema sejarah panjang pergerakan mahasiswa yang selalu berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan.

Tulisan ini secara khusus ingin memberi perhatian pada jargon “Hidup Perempuan yang Berlawan”. Bukan tanpa alasan, jargon tersebut merepresentasikan sebuah kesadaran kritis tentang pentingnya peran perempuan dalam perjuangan menegakkan nilai-nilai utama kehidupan.

Seruan ini juga beririsan dengan nilai keislaman yang kuat. Sejarah mencatat bagaimana Rasulullah SAW datang membawa risalah Islam dengan mengikis habis tradisi jahiliyah yang merendahkan martabat perempuan dan menempatkan mereka sekadar sebagai objek.

Islam kemudian mengangkat harkat dan derajat perempuan, memberi mereka hak untuk berilmu, berpendapat, dan berperan dalam ruang sosial. Dalam konteks itu, semangat perlawanan yang dimaksud bukanlah melawan secara membabi buta, tetapi melawan segala bentuk ketidakadilan, diskriminasi, dan penindasan.

Dengan demikian, jargon ini sejalan dengan misi Islam yang menegakkan kemanusiaan dan keadilan, sebagaimana yang diperjuangkan Nabi Muhammad SAW di masa awal dakwahnya.

Ini menyimpan pesan mendalam tentang energi yang memantik keberanian perempuan untuk menolak segala bentuk penindasan, sekaligus menegaskan posisinya sebagai subjek aktif dalam perubahan sosial.

*Cahaya Islam*

Dalam sejarah peradaban manusia, zaman jahiliyah dikenal sebagai potret kelam, terutama di jazirah Arab pra-Islam. Moralitas masyarakat ketika itu berada pada titik terendah, yang ditandai dominasi fanatisme kesukuan yang melahirkan pertikaian tanpa ujung. Darah manusia dapat ditumpahkan dengan mudah, bahkan hanya oleh persoalan kecil.

Di masa itu, nilai keadilan tidak dikenal dan kekerasan menjadi jalan utama penyelesaian konflik. Dalam situasi ini, nilai kasih sayang dan penghormatan terhadap martabat manusia hampir-hampir tidak mendapat tempat.

Di tengah kondisi yang suram itu, perempuan adalah pihak yang menanggung beban paling berat. Mereka dipandang rendah, tidak memiliki hak untuk berbicara. Bayi perempuan sering dikubur hidup-hidup karena diyakini membawa aib keluarga: sebuah praktik biadab yang menunjukkan betapa bobroknya moral masyarakat jahiliyah.

Perempuan juga hanya dijadikan (maaf) objek pemuas syahwat atau komoditas yang (bahkan) bisa diwariskan dan diperjualbelikan. Gambaran ini menunjukkan betapa timpangnya struktur sosial ketika itu, dengan menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat terpinggirkan.

Kedatangan Islam menjadi cahaya yang menghapus kegelapan jahiliyah. Rasulullah SAW menegakkan ajaran tauhid dan membawa risalah keadilan yang mengangkat harkat perempuan sebagai manusia yang bermartabat.

Dalam sejarah Islam, kita mengenal sosok Khadijah RA yang menopang perjuangan Nabi dengan keteguhan dan hartanya, serta Aisyah RA yang menjadi rujukan utama ilmu pengetahuan (sebagai perawi hadist terbanyak). Ini pertanda Islam bukan hanya menolak diskriminasi, melainkan justru menghadirkan kesetaraan yang berkeadilan.

Spirit inilah yang sesungguhnya terkandung dalam jargon “Hidup Perempuan yang Berlawan”. Jargon ini tidak berhenti pada seruan emosional mahasiswa, melainkan mengakar pada nilai keislaman untuk menolak segala bentuk penindasan dan diskriminasi.

Perlawanan yang dimaksud adalah perlawanan terhadap ketidakadilan, budaya yang merendahkan perempuan, dan sistem yang mengekang kemanusiaan. Dengan demikian, jargon tersebut merupakan kelanjutan dari misi Islam yang sejak awal membebaskan manusia dari belenggu kezaliman menuju cahaya peradaban.

Dalam kaitannya dengan konsep “Lizzakari mitslu hazzil untsayaini” (bagi anak laki-laki bagian dua kali lipat dari perempuan), perlu dipahami bahwa Islam tidak pernah bermaksud merendahkan perempuan. Konsep itu hadir dalam konteks sistem sosial-ekonomi Arab kala itu, di mana laki-laki memikul tanggung jawab nafkah keluarga secara penuh.

Konsep tersebut justru menghadirkan keadilan proporsional: laki-laki diberi bagian lebih karena beban tanggung jawabnya lebih besar, sementara perempuan tetap terjamin hak-haknya tanpa kewajiban menafkahi. Ini tentu sangat kontras dengan era jahiliyah, di mana perempuan bukan hanya tidak berhak atas warisan, bahkan mereka menjadi harta warisan itu sendiri.

Maka, jargon “Hidup Perempuan yang Berlawan” dapat dimaknai sebagai upaya meneguhkan kembali nilai Islam yang otentik—bahwa perempuan harus dilindungi, dimuliakan, dan diberi ruang berperan, bukan ditindas atau dipinggirkan. Dengan pemahaman ini, semangat yang bergelora dalam momentum PABK itu menemukan pijakan religius sekaligus historis yang kokoh. (Wallahu a’lam bis shawab).***

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»