Dialog tersebut turut menghadirkan pembicara yakni Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, Drs. Mulyo Hadi Purnomo, M.Hum, Wakil Rektor III UIN Samarinda, Dr. H. M. Abzar Duraesa, M.Ag, dan Ketua Majelis Ulama Indonesia, KH. Muhammad Rasyid, S.Pd.I.
Potensi penayangan radikalisme dan terorisme, tanpa disadari menurut Mulyo, sangat memungkinkan penyebarannya melalui pemberitaan.
“Bisa melalui pemberitaan, rasanya mereka hanya mengunggah fakta, tetapi sebetulnya justru kadang memunculkan nuansa seolah-olah terorisme itu jadi sosok yang heroisme,” bebernya saat menjadi narasumber dialog publik yang diselenggarakan KPID Kalimantan Timur di Aula Kantor Gubernur Kaltim.
Jadi, tayangan proses peledakan bom dan korbannya merupakan hal yang harusnya diantisipasi dalam konteks sadismenya itu, mestinya tidak dipublikasikan kepada publik.
“Jangan sampai kemudian tayangan itu memunculkan sosok teroris seolah dia jadi hero, nah tayangan ini kadang-kadang muncul saat prosesi persidangan, bisa berupa breaking news nya ataupun tayangan live, mereka (media) tidak menyadari bahwa sebetulnya ideologi itu bisa saja tersampaikan melalui proses itu, misalnya bagaimana hiruk-pikuk ruangan persidangan penuh dengan teriak-teriakan, ini malah memunculkan semangat bagi siterorisme itu sendiri,” ujarnya.
Sementara itu, KH. Muhammad Rasyid menjelaskan secara metodologis, menurutnya penyiaran dapat dimaknai dengan dakwah, artinya menyampaikan informasi secara benar kepada masyarakat.
“Kalau kita melihat masyarakat hari ini mereka punya kelompok yang berbeda-beda, misalnya ada kelompok millenial, akademisi dan birokrat. Artinya menyampaikan dakwah kepada mereka pun harus dengan cara yang bervariatif juga,” ujarnya.
Secara geografis, ada juga kemudian masyarakat yang sulit dijangkau, misalanya kelompok masyarakat yang berada di pinggiran
“Untuk itulah kita harus memakai pendekatan sebagaimana yang diajarkan melalui Al Qur’an, misalnya melakukan pendekatan bil hikmah, artinya jelas dan tegas sehingga orang tidak lagi melihat siapa yang menyampaikan, tetapi apa yang disampaikan,” jelasnya.
Terakhir, Dr. H. M. Abzar Duraesa, M.Ag turut menjelaskan Islam yang sesungguhnya ialah wasathiyah, untuk itulah menjadi hal wajib bagi setiap umat Islam untuk mengkampanyekan hal tersebut.
“Tetapi kemudian kita tidak hanya cukup menjadi wasathiyah, selanjutnya justru kita diwajibkan untuk mensosialisasikan apae makna Islam wasathiyah itu” ujarnya
Selanjutnya ia juga menilai keberadaan terorisme tidak berdiri dengan sendirinya.
“Perilaku ini sesuatu yang tidak muncul begitu saja tanpa diawali dengan sikap ataupun pandangan, karena dia tidak berdiri sendiri, makanya gerakan dia sangat sistematis,” sebutnya.
Berawal dari sikap eksklusif dimana dia tidak akan terbuka dengan perbedaan, justru ketika melihat perbedaan selalu mengkafirkan ataupun menyalahkan orang yang berbeda dengan dirinya.
“Tetapi dalam kesempatan ini saya ingin mengatakan bahwa, tidak semuanya terorisme itu disebabkan pada teologis, melainkan faktor politik dalam pada suatu tempat, untuk itulah peran media sangat diperlukan dalam menangkal berbagai isu tersebut,” tutup beliau.(humas/imukh/i)