Skip to content

MTQ: Di Balik Gengsi dan Prestise, Ada Doa dan Air Mata yang Tak Terdengar.

MTQ: Di Balik Gengsi dan Prestise, Ada Doa dan Air Mata yang Tak Terdengar.

Oleh: Bunyamin

Beberapa waktu lalu, di sela-sela kesibukan menjadi bagian dari Majelis Hakim MTQ, saya sempat mengobrol dengan seorang sopir mobil yang mengantar kami dari penginapan ke arena. Di sela-sela perjalanan yang penuh debu dan panas, ia berkata dengan senyum tulus, “Alhamdulillah, Ustaz. Tahun ini bisa bawa mobil sewaan untuk antar dewan hakim. Lumayan, bisa bantu biaya sekolah anak yang masuk SMA tahun ini.”

Di malam hari, ketika saya mengambil pakaian laundry di sekitar penginapan, ibu pemilik jasa laundry berkata, “Biasanya pelanggan saya sedikit, Ustaz. Tapi MTQ ini berkah. Selama seminggu, banyak kerjaan. Insya Allah bisa nabung buat beli mesin cuci baru.”

Itu belum termasuk pedagang es di dekat masjid arena utama, yang biasa hanya menjual belasan gelas per hari, kini laris hingga ratusan gelas per hari. Ia dengan bangga mengatakan, “MTQ ini rezeki besar buat kami. Bukan cuma lomba, tapi berkah.”

Cerita-cerita seperti ini jarang masuk headline media atau laporan akhir kegiatan. Tapi bagi para pekerja kecil ini MTQ bukan soal gengsi dan prestise, melainkan rezeki, harapan, dan semangat baru.

MTQ memang berpotensi menjadi ajang prestise bagi tuan rumah, dan itu tidak bisa dipungkiri, tapi di balik itu, ada getaran manfaat yang lebih luas, yang tak selalu kasat mata. Ada manfaat ekonomi, sosial, bahkan spiritual yang dirasakan oleh warga kecil, para peserta baru, dan masyarakat awam.

Setiap daerah yang menjadi tuan rumah MTQ memang sering berlomba menampilkan yang terbaik tapi mari kita melihat sisi baik dari ‘semangat bersaing’ itu, misalnya; pemberdayaan UKM dan pedagang kaki lima, munculnya kesadaran kolektif untuk membina kader qari-qariah, hafiz-hafizah, dai-daiyah, mufassir-mufassirah, hingga khattat-khattatah, bahkan lahirnya forum-forum silaturahmi antar daerah, antar ormas Islam, hingga lintas generasi.

Tentu saja, kritik terhadap pola “MTQ yang mewah tapi miskin pembinaan” perlu dijadikan bahan evaluasi, tetapi kita juga jangan menutup mata terhadap kerja-kerja diam-diam para guru ngaji, pelatih, relawan, dan penggerak TPQ yang mendampingi anak-anak sejak usia dini untuk bisa tampil di MTQ.

Mari kita imbangkan kritik dan apresiasi, kita doakan agar setiap MTQ tak hanya melahirkan juara lomba, tapi juga menghidupkan jiwa Qur’ani di setiap sudut kota, desa, dan rumah.

Karena sejatinya, MTQ adalah milik umat. Ia bukan sekadar milik panitia, bukan pula milik pejabat. MTQ hidup dari niat-niat yang tulus, dari kerja keras banyak pihak yang tak selalu tampak di panggung, dan dari air mata haru para orang tua yang menyaksikan anak-anaknya melantunkan Kalam Ilahi di atas mimbar yang megah.

MTQ bukan hanya ajang lomba, melainkan perayaan cinta kepada Al-Qur’an. Di dalamnya ada suara yang menyejukkan jiwa, ada hafalan yang dijaga dengan penuh kesungguhan, dan ada semangat generasi muda yang ingin menjadi bagian dari barisan pecinta Al-Qur’an.

Di sinilah kita dipanggil untuk mengambil peran, bukan sekadar menjadi penonton atau penyimak, tapi menjadi pelopor ahlul Qur’an sejati, yang hidup bersama dan untuk Al-Qur’an.

Seperti sabda Nabi Muhammad SAW, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”

Mari kita hidupkan semangat itu di MTQ XLV Provinsi Kalimantan Timur di Sangatta. Kita tunjukkan bahwa Kaltim bukan hanya mampu menggelar acara yang megah, tetapi juga menanamkan kecintaan mendalam pada Al-Qur’an dari anak-anak hingga orang tua, dari desa hingga kota.

Allah SWT berfirman, “Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu adalah tanda ketakwaan hati.”

Wallahu a’lam.

 

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn
LANGUAGE»