Skip to content

Mengasah Pengendalian Diri dan Menumbuhkan Empati Sesama Melalui Puasa Ramadhan

Puasa bukan sekadar ritual menahan lapar dan dahaga dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Lebih dari itu, puasa adalah proses pembentukan diri, ujian ketahanan jiwa, dan latihan mengasah ketakwaan. Puasa mengajarkan kesabaran, menguatkan jiwa dalam menghadapi hawa nafsu, serta menumbuhkan empati kepada mereka yang hidup dalam keterbatasan.
Dr. H. Ashar Pagala (Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerja Sama, Fakultas Syariah UINSI Samarinda)

Allah SWT telah menetapkan kewajiban puasa sebagai sarana untuk meningkatkan ketakwaan, sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Baqarah: 183

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Ayat ini, memberi isyarat bahwa puasa bukan sekadar ibadah fisik, tetapi juga merupakan jalan menuju ketakwaan yang sempurna. Ketakwaan ini mencakup hubungan vertikal dengan Allah SWT (hablum minallah) dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (hablum minannas). Dengan kata lain, puasa bukan hanya mendekatkan diri kepada Allah, tetapi juga mempererat solidaritas sosial di antara manusia.

Puasa Sebagai Sarana Pengendalian Diri

Puasa adalah momentum untuk melatih diri dalam mengendalikan hawa nafsu, baik dalam bentuk keinginan duniawi maupun dorongan emosional. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis. (HR. Bukhari, No. 1903)

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dosa, maka Allah tidak butuh terhadap usahanya meninggalkan makanan dan minumannya.”

Hadis ini menegaskan bahwa esensi puasa bukan sekadar menahan rasa lapar dan haus, tetapi juga menjaga lisan dari kebohongan, menahan diri dari kemarahan, serta menjauhi segala bentuk maksiat. Dengan berpuasa, seorang Muslim belajar untuk lebih bersabar, lebih tenang, dan lebih mampu mengontrol emosinya dalam berbagai situasi.

Dalam kehidupan sehari-hari, pengendalian diri sangatlah penting. Berapa banyak manusia yang terjerumus dalam kesalahan karena tidak mampu mengendalikan nafsunya? Ada yang jatuh dalam perbuatan maksiat karena tidak bisa menahan godaan. Ada yang menghancurkan hubungan karena tak mampu meredam amarahnya. Ada pula yang kehilangan kesempatan berharga dalam hidup karena mengikuti keinginan duniawi tanpa batas. Puasa mengajarkan kita untuk menata diri, menekan dorongan negatif, dan melatih keikhlasan dalam menghadapi cobaan.

Puasa Sebagai Bentuk Empati terhadap Sesama

Selain sebagai bentuk ibadah pribadi, puasa juga memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. Saat berpuasa, kita merasakan bagaimana rasanya menahan lapar dan dahaga, sesuatu yang setiap hari dialami oleh mereka yang hidup dalam kemiskinan. Puasa mengajarkan kita untuk tidak hanya sibuk dengan diri sendiri, tetapi juga lebih peka terhadap penderitaan orang lain.

Rasulullah SAW adalah sosok yang paling dermawan, dan kemurahan hatinya semakin meningkat di bulan Ramadan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis. (HR. Bukhari, No. 6 dan Muslim, No. 2308)
“Rasulullah adalah orang yang paling dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi pada bulan Ramadan ketika Jibril menemuinya…”

Hadis ini, dapat diambil hikmah bahwa puasa seharusnya membuat kita lebih peduli terhadap orang lain. Jika kita merasakan lapar selama beberapa jam dalam sehari, bagaimana dengan mereka yang sering kali harus tidur dengan perut kosong? Jika kita masih bisa berbuka dengan makanan yang cukup, bagaimana dengan mereka yang bahkan tak tahu dari mana makanan berikutnya akan datang?

Puasa bukan hanya menumbuhkan rasa syukur, tetapi juga mendorong kita untuk berbagi. Inilah saatnya kita lebih banyak bersedekah, membantu mereka yang membutuhkan, dan mengamalkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari.

Puasa Sebagai Pembersih Jiwa dan Kesempatan Bertaubat

Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa, baik yang disadari maupun tidak. Ramadan hadir sebagai bulan penuh ampunan, di mana setiap orang memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri dan kembali ke jalan yang benar. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis. (HR. Bukhari, No. 38 dan Muslim, No. 760)

“Barang siapa yang berpuasa dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Hadis ini memberikan harapan bagi setiap Muslim untuk memperbaiki diri. Tidak ada manusia yang sempurna, tetapi dengan menjalankan puasa dengan penuh keikhlasan dan pengharapan kepada Allah, dosa-dosa kita yang lalu dapat dihapuskan.

Puasa juga mengajarkan kita untuk lebih mendekat kepada Allah, meningkatkan ibadah, memperbanyak doa, dan memohon ampunan-Nya. Bulan Ramadan adalah waktu yang tepat untuk bermuhasabah, mengevaluasi diri, dan bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik di bulan-bulan berikutnya.

Dengan demikian, puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, melainkan latihan spiritual yang mendalam. Ia mengajarkan pengendalian diri, memperkuat keimanan, dan membangun kepedulian sosial. Dengan menjalankan puasa, kita belajar untuk lebih sabar, lebih ikhlas, dan lebih peduli terhadap sesama.

Di penghujung Ramadan, mari kita renungkan: Apakah puasa kita hanya sebatas menahan diri dari makan dan minum, ataukah benar-benar telah mengubah hati dan perilaku kita? Apakah setelah Ramadan berakhir, kita tetap menjaga pengendalian diri dan kepedulian terhadap sesama?

Semoga puasa yang kita jalankan menjadi ibadah yang bukan hanya bernilai pahala di sisi Allah SWT, tetapi juga mampu membentuk insan yang lebih baik, lebih takwa, dan lebih bermanfaat bagi sesama.

LANGUAGE»