Teori Kritis dalam Pendidikan Islam (Menuju Pendidikan Emansipatoris)

Uncategorized12,159 views

Teori Kritis dalam Pendidikan Islam
(Menuju Pendidikan Emansipatoris)
Oleh. Ach. Nurcholis Majid
Akademisi Program Pascasarjana (PPs) Universitas Muhammadiyah Surabaya

A. Pendahuluan

Pendidikan sebagai usaha sadar memanusiakan manusia agar dapat hidup dan bekerjasama secara imbang, sampai saat ini mengalami kompleksitas yang akut. Praktik-praktik pendidikan—terutama penyusunan kurikulum, rumusan tujuan pendidikan, sarana pendidikan—sarat dengan kepentingan politis dan mengarah pada orientasi manusia dominatif.
Bukti konkret bisa dilihat dengan jelas dalam penguatan kelas sekolah elit dan proletar, sekolah dengan kualitas dan sarana bagus, hanya bisa dirasakan oleh kaum beruang, sementara sekolah dengan sarana yang sangat miris dikenyam oleh mereka yang taraf ekonominya rendah.

Sebelum style borjuis nampak sebagai pembeda kelas, sekolah sudah pertama kali menguatkan keadaan dominatif kelas mampu terhadap kelas di bawahnya. Eksistensi kompetisi sekolah dan murid di dalamnya menjadi dasar realitas bahwa pendidikan telah menjelma kekuatan opresif dan kapitalistik, yang dalam pernyataan Dowbour, kapitalisme menempatkan hidup dalam hubungan jual beli atau bayar-membayar. Nilai-nilai sosial berubah menjadi transaksi bisnis.

Proses pendidikan yang semula merupakan usaha kemanusiaan beralih menjadi usaha meraih keuntungan. Interaksi guru dan murid berubah ke arah penjual dan pembeli. Guru mengajar hanya demi mendapatkan keuntungan dari apa yang diusahakan, sementara murid berusaha mendapatkan dari apa yang telah dibayar. Pendidikan berlangsung karena transaksi ekonomi.

Karena itu, tidak salah jika pada bidang tertentu seseorang memilih untuk ahli, agar tujuan-tujuan dominatifnya terpenuhi. Tujuan kemanusiaan diabaikan sejauh mungkin. Hal ini sesuai dengan sangkaan beberapa filsuf, bahwa dunia modern telah mencapai tahap dominasi tertinggi atas individu. Tidak terkecuali dalam pendidikan Islam.
Padahal menurut M. Amin Abdullah, pendidikan Islam terkait erat dengan dimensi praksis-sosial karena senantiasa memiliki dampak sosial dan dituntut untuk responsif terhadap realitas sosial sehingga ia tidak terbatas pada lingkup pemikiran teoritis-konseptual seperti yang dipahami selama ini.

B. Sejarah Teori Kritis

Sejarah teori kritis tidak bisa dipisahkan dari sekelompok neo-Marxis Jerman yang tidak puas dengan kondisi teori Marxian, khususnya kecenderungan ke arah determinisme ekonomi. Ia merupakan sebuah aliran filsafat yang berkembang di Institut Fứr Sozialforschung (Lembaga Penelitian Sosial) di Frankfurt am Main, Jerman. Lembaga penelitian ini seringkali disebut sebagai Mazhab Frankfurt (Die Frankfurt Schule), atau Teori Kritik Masyarakat.

Tokoh-tokoh mazhab Frankfurt di antaranya adalah Max Horkheimer (1895-1973), Pada tahun 1930 ia menjadi direktur Institute Fứr Sozialforschung tersebut. Tokoh yang kedua adalah Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969). Tokoh ketiga, Herbert Marcuse (1898-1979), adalah figur yang paling terkenal terutama karena ide-idenya memberikan inspirasi dan arah kepada gerakan “kiri baru” pada tahun 1960-an.

Tokoh-tokoh yang ada dalam Frankfurt School melancarkan kritik dan penentangan terhadap kebijakan politik nasional-sosialisme. Apalagi kebanyakan anggotanya adalah keturunan Yahudi. Karena itu, setelah sempat ditutup atas perintah pemerintah nasionalis-sosialis ketika Hitler berkuasa pada tahun 1933, institut ini pindah ke New York, yang kemudian kembali lagi ke Frankfurt pada tahun 1949.

Teori ini kemudian dikembangkan oleh generasi penerus seperti Oscar Negt, Klaus Offe, Albrecht Wellmer, Alfred Schmitt, termasuk juga yang paling dikenal, Jurgen Habermas yang mulai dikenal sejak tahun 1960-an sebagai filsuf Jerman yang paling terkemuka dengan kecenderungan istilah tindakan rasional-bertujuan (kerja) dan tindakan komunikatif (interaksi).

C. Beberapa Kritik Teori Kritis

Teori kritik sebagai aliran yang ingin mendobrak “kerangkeng besi” dominasi dan bertujuan emanspitoris, memiliki beberapa pandangan kritis terutama ditujukan kepada tradisionalisme dan masyarakat modern. Kritik-kritik tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Kritik atas Tradisionalisme

Teori kritis sebagai teori emansipatoris, pertama kali mengkritik tradisionalisme. Max Horkheimer dan teman-temannya meyakini bahwa teori-teori dalam tradisionalisme tidak berhasil dalam tujuan mereka untuk mencerahkan serta membebaskan manusia. Teori-teori itu hanya mengubah pengertian kita tentang realitas, tetapi tidak mengubah realitas itu sendiri. Realitas tetap saja, meskipun pengertian kita tentang realitas itu telah berubah. Sebabnya, teori tradisional membatasi diri pada kontemplasi.

Teori tradisional hanya memandang, tetapi tidak menjadi praktis dan mencoba untuk mengubah apa yang dipandang. Dengan pendekatan kontemplatif itu, teori tradisional sekaligus menjadi afirmatif. Artinya, dengan memberikan pengertian yang lebih memuaskan tentang realitas, kita justru menjadi puas dengan realitas itu; jadi, realitas diafirmasi atau dibenarkan. Pada tahap yang paling musykil, teori tradisional justru menjadi penguat atas apa yang terjadi termasuk dominasi dan penindasan.

Teori kritis mengambil posisinya untuk mengembangkan teori menjadi praktis. Dengan mengambil inspirasi dari Hegel dan Marx, Horkheimer dan kawan-kawannya mengambil dialektika atau kritik. Dari Marx muda, mereka mengambil paham teori kritis sendiri. Teks yang paling mereka pentingkan adalah tesis ke-11 Marx tentang Feuerbach: “Para filosof hanya memberikan interpretasi yang berbeda-beda kepada dunia; yang menentukan adalah mengubah dunia!” Marx menuntut agar teori menjadi praktis sebagai kritik.

2. Kritik atas Masyarakat Modern

Selain ketekunannya mengkritik mazhab tradisionalis, teori kritis juga memfokuskan minatnya pada masyarakat modern dan berbagai komponennya. Terutama terhadap represi kultural yang dialami individu dalam masyarakat modern.

Seperti dijelaskan oleh Trent Schroyer (1970), pandangan mazhab kritis adalah bahwa di masyarakat modern represi yang ditimbulkan oleh rasionalitas telah menggeser eksploitasi ekonomi sebagai masalah sosial dominan. Mazhab kritis secara jelas mengadopsi pandangan Weber tentang perbedaan rasionalitas formal dengan rasionalitas substansif; atau apa yang dianggap oleh teoretisi kritis sebagai rasio. Bagi para teoretisi tersebut, rasionalitas formal sudah pasti berkaitan dengan pertanyaan tentang cara terbaik untuk mencapai tujuan.

Hal ini menjadi masalah bagi teori kritis. Ketika rasionalitas formal bertujuan untuk mendapatkan sesuatu dan mendominasi sesuatu, bukan mengemansipasi, maka hal itu disebut juga sebagai pemikiran teknokratis.

Kelanggengan kekuasaan menjadi hal terpenting. Padahal rasionalitas subtanstif (rasio), memberikan kontribusi penilaian atas sejumlah cara menurut nilai-nilai keadilan hakiki manusia, perdamaian, dan kebahagiaan. “Auschwitz adalah satu tempat yang rasional, namun bukan sesuatu yang masuk akal”.

Crook dalam Ritzer juga mengidentifikasi bahwa teori kritis juga melihat “modern” sebagai dunia yang sarat dengan irasionalitas. Gagasan ini disebut sebagai “irasionalitas-rasionalitas”, atau lebih khusus lagi, irasionalitas rasionalitas formal.

Maksud dari masyarakat irasional ini adalah adanya kekuatan untuk menghancurkan individu dan kebutuhan serta kemampuan yang dimiliki. Misalnya perdamaian dipelihara dengan ancaman perang; seseorang bekerja karena takut miskin, bukan untuk memenuhi kebutuhan.
Selain itu, teori kritis juga melihat bahwa ada rasionalitas-teknologi modern. Feenberg (1996) dan Marcuse (1964) mengkritik teknologi kapitalis modern mengarah pada totalitarianisme. Ia melihat bahwa teknologi kapitalis modern mengarah pada kontrol sosial. Teknologi modern dilihat sebagai sarana untuk mendominasi dan memperbudak masyarakat.

D. Teori Kritis Habermas

Habermas merupakan salah seorang tokoh teori kritis yang pemikirannya dianggap paling sulit dipahami sekaligus paling tajam menganalisa dua jenis tindakan strategis. Yakni tindakan strategis yang bersifat penipuan sadar (manipulatif) dan penipuan tak sadar (ideologi).

Dalam beberapa usahanya, Habermas melihat dua hal pokok dalam teori kritis. Pertama untuk mengatasi saintisme dan positivisme dalam teori pengetahuan. Kedua, mengatasi penindasan ideologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang represif.

Kedua hal itu, bisa diidentifikasi dengan melihat tiga tipe pengetahuan yang dirumuskan Habermas dalam pengetahuan teknis (technical knowledge), pengetahuan praktis (practical knowledge), dan pengetahuan kritis (critical knowledge).

Pertama, pengetahuan teknis. Pengetahuan ini semata menjadikan peserta didik sebagai patung yang dibuat atas kehendak pemahat. Peserta didik menjadi sekelompok manusia pasif yang hanya menerima pengetahuan tanpa harus tahu kenapa pengetahuan harus dipelajari. Misalnya, pengetahuan tentang awan mendung yang kemudian beralih menjadi hujan, hanya sekedar mengetahui bahwa jika di langit awan mendung maka akan turun hujan, tanpa perlu tahu kenapa hujan turun dari langit. Pengetahuan teknis hanya sekedar membantu peserta didik memprediksi dan mengontrol kehidupannya dalam menyikapi yang akan terjadi.

Kedua, pengetahuan praktis. Pengetahuan ini lebih menekankan pada aspek kenapa sesuatu terjadi. Misalnya jika seorang wanita merasa gelisah ketika seorang lelaki mengikuti di sampingnya, maka pengetahuan praktis bertugas untuk mengetahui motif yang melatarbelakangi kegelisahan si wanita. Hanya saja, tipe pengetahuan praktis ini tidak sampai menjawab lebih dalam persoalan tentang relasi gender, atau kekerasan dalam masyarakat urban.

Pengetahuan praktis membantu peserta didik untuk menganalisa asumsi-asumsi dan motif yang membentuk realitas. Sayang, pengetahuan praktis tidak menjawab secara mendalam, tentang hubungan pengetahuan dengan masyarakat, pengetahuan dan kekuasaan, sehingga tidak dapat mengetahui seperangkat aspek dan praktik yang memperkuat dominasi struktural tertentu.

Ketiga, pengetahuan kritik menempatkan posisi peserta didik untuk memahami realitas sosial agar sesuatu menjadi lebih adil (fairer). Misalnya, orang tua yang bekerja di rumah untuk bekerja mengurus rumahtangga apakah juga berhak mendapatkan gaji yang besar? Untuk menjawab ini, pengetahuan kritik melihat lebih mendalam tentang paradigma-paradigma yang membangun formasi realitas. Pekerjaan apa yang harus mendapatkan gaji, siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan dengan pekerjaan yang dilakukan.

Dengan demikian pengetahuan kritik dilakukan dengan landasan bahwa pengasuhan orang tua bukan suatu pekerjaan yang harus diberi upah—hal ini adalah pengetahuan teknis, yang hanya melihat sesuatu “biasanya terjadi” demikian—kemudian melihat “pengetahuan umum” yang menjadi alasan bahwa pengasuhan bukan pekerjaan yang sebenarnya. Selanjutnya, pengetahuan kritik menyelidiki asumsi dan kepentingan dari di belakang keyakinan commonsense, sambil bertanya secara ironis apakah sesuatu terjadi hanya demikian simpelnya?

E. Teori Kritis dalam Pendidikan Islam

Berbagai macam tawaran yang diajukan teori kritis sebenarnya juga merupakan tawaran yang dapat diaplikasikan dalam pendidikan Islam. Sebab, kondisi pendidikan Islam sampai saat ini terasa sangat elitis dan jauh dari praxis emansipatoris. Beberapa fakta berikut dapat menjadi identifikasi masalah.

Pertama, pendidikan Islam tampak sangat kapitalistik. Sebagai contoh, beberapa lembaga pendidikan dengan embel-embel “Islam Terpadu” akan lebih mahal harga pendidikannya dibanding sekolah negeri konvensional.

Dalam kondisi seperti ini, pendidikan Islam menjadi sangat kapitalistik bersifat elitis dan eksklusif. Pendidikan hanya dapat diakses oleh orang-orang dengan kemampuan ekonomi yang mapan dan memutuskan harapan dan kesempatan belajar bagi mereka yang berada tingkat ekonomi rendah (miskin).

Padahal menurut Lebowitz, pengetahuan merupakan pengetahuan yang bersifat langsung tanpa mediasi uang. Pengetahuan merupakan milik publik. Pengetahuan harus dibagi-bagikan tanpa ada pembatasan. Usaha menjadikan pengetahuan sebagai hak milik pribadi dan sumber keuntungan pribadi bertentangan dengan konsep dan etos pengetahuan.

Pendidikan sebagai usaha produktif mewujudkan kesetaraan dan keadilan seharusnya menjadi konsen dan dasar pendidikan Islam. Sebab, dalam doktrin agama pun demikian. Seseorang yang berkesempatan memperoleh ilmu tidak didasarkan atas kelas ekonomi, tetapi lebih pada usaha mengenali dan menemukan pelajaran.

Pada tingkat lanjut, pendidikan Islam seharusnya mempresentasikan ciri manusia khalifah Allah yang kreatif, etis, dan kritis. Tidak hanya secara normatif-teologis, tetapi juga pada tahap empiris. Dalam bahasa teori kritis Habermas, kepentingan adalah kondisi berada di antara kutub empiris dan transendental. Kepentingan manusia yang diapit oleh norma-norma etis.

Untuk mencapai predikat khalifah Allah tersebut, seorang muslim yang berpengetahuan minimal melakukan empat hal. Pertama, terjun di tengah-tengah alam dan masyarakat sehingga dapat memahami Allah, manusia dan alam sekitar. Kedua, ia berkewajiban membentuk lingkungan bukan sebaliknya. Ketiga, mempunyai watak dan nilai mulia sebagai komponen fundamental dari eksistensinya. Keempat, mempunyai kesadaran dan sifat kreatif untuk menjadikan bumi sebagai surga kedua.

Ciri-ciri tersebut dalam Al-Quran digambarkan dalam Q.S. Al-Hujurat 49: 6. “Wahai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Pendidikan Islam dalam teori kritik tidak bertugas sebagai doktrin semata, tetapi lebih pada kesadaran fungsi khalifah yang emansipatoris. Kepentingan dogma agama, tidak menjadi komoditas ulama untuk mendominasi kelompok lain, atau untuk melanggengkan pemikiran dan ideologi tertentu.

Jika cita-cita kritis ini tidak benar-benar dipikirkan, maka akibatnya apa yang disebut Marcuse sebagai “masyarakat satu dimensi” akan lahir, dan rasionalitas-irasionalitas menjadi sesuatu yang lumrah, manusia hanya berpikir bahwa suatu doktrin benar walaupun sebenarnya tidak rasional dalam tahap praxisnya. Dogma agama Islam sama sekali tidak menganjurkan keadaan yang demikian.

Hal lain yang bisa dilihat dengan kacamata teori kritis dalam memandang pendidikan Islam, adalah formalisasi persaingan untuk mendominasi. Peserta didik dalam pendidikan Islam dituntut untuk mengungguli peserta didik yang lain dengan prestasi-prestasi akademik semata, tanpa mempertimbangkan spirit untuk berprestasi bersama yang saat ini dikenal dengan pendidikan kooperatif (cooperative learning).

Keadaan seperti ini terus menjadi-jadi, sehingga orang-orang menjadikan kondisi unggulnya untuk menindas orang-orang yang tidak unggul. Pada puncaknya, mereka yang memiliki kompetensi tertentu dan spesialis pada bidang tertentu, diglorifikasi dengan bayaran yang jauh lebih mahal, walaupun tidak banyak memberikan kontribusi. Praktik semacam ini menjadi suatu kepalsuan yang formal dan menjadi rasional dalam irasionalitas.

F. Kesimpulan

Teori kritis dibangun oleh mazhab Frankfurt sebagai jalan untuk mendobrak dominasi, tindakan yang represif dan membodohi. Konsentrasinya atas keadaan yang dianggap rasional dalam ketidakrasionalan menjadi suatu pijakan agar “kerangkeng besi” yang melingkupi manusia tidak semakin rasional dan terlembagakan.

Maka dalam pendidikan Islam, teori kritis merupakan suatu kacamata yang perlu dipakai, demi meningkatkan mutu pendidikan, selain juga untuk kembali pada sejarah pendidikan Islam dilihat dalam kaca mata agama yang transendental untuk kemuliaan Islam dan keselamatan manusia.

Kepalsuan-kepalsuan dan komunikasi yang reifikatif dapat dibendung sedemikian rupa untuk mencapai tujuan pendidikan yang humanis dan menempatkan manusia pada posisi yang diinginkan Allah, yakni menjadikan khalifah di bumi yang emansipatoris.


DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LkiS, 2008.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Barat Abad XX; Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia, 1990.
Freire, Paulo. Pedagogi Hati. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Gilbert, Rob. Studyng Society and Environment: A Guide for Teachers. Melborne: Thomson Social Science Press, 2004.
Habermas, Jurgen. Knowledge and Human Interest. Boston: Beacon. 1971.
Hardiman, Fransisco Budi. Kritik Ideologi, Menyingka Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik, 2003.
Kartono, Lubang Kecil Menuju Teori Kritis. Surakarta: Pustaka Cakra, 2004.
Lebowitz, Michael A. Sosialisme Sekarang Juga. Yogyakarta: Resist Book, 2009.
Nasir, M. Ridlwan. Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Ritzer, George & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008.
Suardi, Moh. Ideologi Politik Pendidikan Kontemporer. Yogyakarta: Deepublish, 2015.
Suseno, Franz Magnis. Pijar-pijar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 2005.